• Opini
  • Raja dan Tombaknya

Raja dan Tombaknya

Pemimpin sebisa mungkin harus dapat mengontrol jarinya sendiri, alih-alih mengontrol jari rakyatnya.

M. Fasha Rouf

Mahasiswa Magister Komunikasi untuk Perubahan Sosial, The University of Queensland.

Potret kampung berusia puluhan tahun di bantaran Sungai Cikapundung di Lebak Siliwangi sebelum lenyap oleh penggusuran pada September 2015. Ratusan warganya dipindahkan ke rusunawa Sadang Serang. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

17 Maret 2023


BandungBergerak.id - Saya mulai mengerti bagaimana relasi media sosial dan kekuasaan justru bukan dari hasil mengamati layar kaca media sosial. Namun, saat berada di lapangan advokasi. Relasi tersebut cenderung cukup menakutkan bagi saya, meski sekaligus memberi harapan. Saya akan menceritakannya.

“Kau tahu? Mengapa dulu seorang Raja seringkali pawai keliling kota dengan membawa berlapis pasukannya?” kira-kira demikian tanya Bang Ucok, sapaan Aminudin Siregar, saat kami bertemu di Kampung Kolase, Bandung.

Kampung kolase adalah gerakan aktivis lintasdisiplin untuk menyelamatkan rumah berisi ratusan hati dan manusia (40 keluarga) yang akan digusur proyek Teras Cikapundung. Sebuah tempat estetik banget yang katanya saat ini senyap sepi.

Dulu, lanjut Bang Ucok, Raja membawa pasukan bertombak keliling kota dan desa itu untuk membangun jarak dengan rakyatnya. Di alam bawah sadar rakyat yang berkerumun melihat iring-iringan tersebut akan tertanam pengertian bahwa untuk menyentuh dan mengkritik Sang Raja, seorang rakyat harus melewati berbagai lapis pasukan. Terciptalah ketakutan (fear of the power).

Mungkin karena Bang Ucok dosen seni rupa di Tamansari, ia meminjam potret tradisi itu sebagai metafora yang sangat kuat dan apik soal bagaimana Raja di era media sosial membangun jarak dengan rakyatnya. Menurutnya, di era media sosial ini, Sang Raja tak lagi butuh tombak dan lapisan pasukan lainnya. Ia cukup membutuhkan fans garis keras ataupun buzzer yang aktif di media sosial. Jika seorang rakyat kecil yang kebetulan punya media sosial ingin mengkritik rajanya, dia akan berpikir takut diserang oleh pasukan bertombak dunia maya.

Tak percaya omongan Bang Ucok, beberapa teman saya menguji teorinya. Mereka mengkritik penggusur di akun Instagramnya. Benar saja, alih-alih tercerahkan karena kami memberikan sudut pandang lain soal penggusuran Kampung Kolase, netizen dan buzzer di akun tersebut malah menyerang tanpa basis argumen jelas.

Pengalaman lain saya dapatkan saat ikut mengadvokasi pedagang kaki lima (PKL) Purnawarman yang terancam digusur. Setelah audiensi dan agitasi gagal, tim memutuskan untuk turun ke jalan, berdemonstrasi dengan mendorong gerobak dari depan BEC (yang saat itu baru direnovasi menjadi lebih luas) ke Balai Kota. Setibanya di Balkot, dari siang hingga sore kami hanya ditemui oleh polisi dan anjing galaknya. Sementara itu, setelah magrib, Sang Wali Kota malah mengunggah sebuah gambar ala-ala mind-map mengenai konsep kolaboratif di pemerintahannya. Kolaboratif hanya di gambar karena demonstran tetap harus menunggu di luar pagar. Kami baru ditemui saat larut malam.

Baca Juga: Negeri Klarifikasi
Kebijakan Menunggu Viral
Mimpi Youtuber

Gambar sebuah rumah dengan latar Kampung Kolase di bantaran Cikapundung yang tergusur oleh proyek pemerintah. (Foto: M. Fasha Rouf)
Gambar sebuah rumah dengan latar Kampung Kolase di bantaran Cikapundung yang tergusur oleh proyek pemerintah. (Foto: M. Fasha Rouf)

Jarak Kekuasaan di Media Sosial

Jarak kekuasaan (power distance), meminjam istilah pola budayanya Hofstede (2010), semakin bergeser ke arah kekuasaan yang sangat hierarkis. Alih-alih menciptakan jarak kekuasaan yang egaliter dan dialogis, penguasa di media sosial sepertinya mencoba untuk menebalkan dan memperumit hierarki kekuasaan dengan adanya lapisan buzzer dan fans garis keras.

Kerumitan hierarki itu juga terlihat dari penggunaan bahasa. Dalam bahasa Sunda yang memiliki tingkatan (undak-usuk) warisan Mataram, seseorang yang memiliki kuasa lebih rendah harus mengkritik seseorang di pucuk kekuasaan yang tinggi dengan bahasa yang sopan. Boleh mengkritik asal sopan! Masalahnya, bagaimana ukuran kadar kesopanan? Bahasa Sunda di Cianjur dengan di Banten berbeda. Begitu pun antara bahasa Sunda di Bandung dan Cirebon, misalnya.

Cara-cara penguasa memanfaatkan media sosial untuk memperkokoh legitimasinya (sebagaimana pelajaran yang saya petik di Cikapundung dan Purnawarman) semakin hari sepertinya semakin canggih dan telah menjadi pola. Atau inikah watak penguasa di era media sosial? Sebagaimana yang terjadi dalam kasus kritik seorang guru yang berujung pemecatan kemarin.

Sependek yang saya renungkan, melihat kondisi ketimpangan power yang dimiliki tersebut, ada beberapa hal yang sebenarnya patut diperhatikan. Pertama, rakyat yang aktif di media sosial seharusnya memiliki kesadaran kolektif yang penuh bahwa mereka berada dalam posisi yang rentan karena kesulitan menjangkau kekuasaan. Melalui kesadaran tersebut, seharusnya rakyat media sosial bisa lebih berhati-hati dalam mencibir cuitan atau komentar warga yang mengkritik pemerintahnya. Siapa tahu kesulitan hidup yang disebabkan kinerja pemerintahan bakal menimpa kita suatu hari. Itulah saatnya kita mengumpulkan keberanian dan keyakinan untuk menyuarakan keluhan dan kritik pada jantung kekuasaan melalui media sosial. Bersatu netizen teguh, bercerai netizen runtuh.

Namun, untuk mencapai kondisi tersebut tentu sangat rumit. Masyarakat kita memiliki literasi digital dengan rentang berbeda. Juga preferensi politik yang berbeda-beda. Tangangan besarnya adalah bagaimana masyarakat mampu mendukung atau melawan penguasa secara objektif berbasis data dan pengalaman empiris, bukan pada sentimen gelap.

Keadaan itu sengaja dibuat semakin rumit oleh ulah tombak-tombak digital penguasa. Kritik sedikit dianggap kadrun, memuji sedikit dianggap cebong. Melelahkan. Dampaknya, polarisasi di Indonesia sangat tinggi. Maulana dan Situngkir (2020) dalam artikel risetya menyebutkan bahwa pada pemilu 2019 telah terjadi polarisasi yang cukup ekstrem di Indonesia, terutama di jagat Twitter. Masing-masing kubu melalui media partisan yang dipercayainya menjadi echo-chamber (ruang gema) yang menguatkan kepercayaan masing-masing. Di sinilah informasi yang kredibel, terutama melalui media massa arus utama yang kredibel, sangat diperlukan.

Hal kedua yang mesti diperhatikan adalah sisi penguasanya itu sendiri. Melalui peranti kekuasaan (kepengaturan dan suntikan kesadaran) kepada rakyatnya, posisi penguasa di media sosial tetap lebih tinggi dibandingkan masyarakat. Misalnya, cara penguasa mengirim pesan langsung kepada sebuah institusi, bisa saja ditafsirkan sebagai pesan “bertombak” tertentu. Apalagi, institusi tersebut berada dalam power jauh lebih rendah dibanding pengirimnya. Penerima pesan bisa jadi merasa takut sehingga menghasilkan tindakan institusional yang gegabah. Pemimpin sebisa mungkin harus dapat mengontrol jarinya sendiri, alih-alih mengontrol jari rakyatnya. Bagaimanapun, jari seorang Raja menggenggam tombak yang lebih kuat dan lebih tajam daripada jari tumpul rakyat di bawahnya.

Lalu, masihkah ada harapan bahwa media sosial bisa menjadi ruang publik dan politik yang baik? Tentu harapan itu masih ada dan harus terus dinyalakan. Bagaimanapun, media sosial telah menjadi kepanjangan tubuh dan pikiran manusia di abad ini. Jika dua hal yang saya sebutkan sebelumnya terwujud, sepertinya harapan itu bisa kembali lebih hidup.

Clay Shirky (2011) dalam tulisannya The Political Power of Social Media: Technology, the Public Sphere, and Political Change telah mengingatkan bahwa pemanfaatan media sosial untuk pertarungan wacana di ruang publik memiliki tantangan, yang dia sebut sebagai dua skeptisisme. Skeptisisme pertama menempatkan media sosial sebagai alat yang tidak efektif. Penyebabnya, semakin banyaknya aktivis yang “malas”, yang beranggapan telah menyelesaikan masalah hanya dengan bergabung di media sosial. Skeptisisme kedua dipicu argumen bahwa media sosial justru sangat membahayakan dan melahirkan kekerasan demokrasi. Penyebabnya, rezim yang otoriter dan sangat represif lebih pandai memanfaatkan teknologi ini untuk merepresi setiap perbedaan pendapat dengan pemerintah.

Jika kedua skeptisisme itu mampu dijawab oleh gerakan netizen yang lebih solid, bukan tidak mungkin tombak raja berpindah ke cengkeraman rakyat. Tombak yang digunakan bukan untuk menggali kuburan massal kehancuran, melainkan untuk menggali lubang tanam bagi harapan masa depan. 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//