Negeri Klarifikasi
Di Negeri Klarifikasi, kebijakan yang penting diketok dulu, kalau ada kesalahan tinggal klarifikasi dan menyebutnya sebagai uji coba. Juga undang-undang.
M. Fasha Rouf
Mahasiswa Magister Komunikasi untuk Perubahan Sosial, The University of Queensland.
14 Maret 2023
BandungBergerak.id - Seorang pria kurus berdiri dengan muka pasrah karena bersalah. Istrinya berdiri di belakang, memantau memegang sapu. Lelaki itu gemetar.
“Saya suaminya Riri, saya mau klarifikasi sekaligus meminta maaf bahwasannya tadi malam saya telah mengajak teman baik istri saya untuk melakukan perbuatan yang tidak senonoh di hotel, dan saya juga telah mengajaknya jalan-jalan. Walaupun itu terjadi di dalam mimpi istri saya, saya tetap lakukan klarifikasi.”
Adegan dan narasi dari video tersebut saya temukan di Twitter. Saya tertawa sekaligus mengernyitkan dahi. Menonton lawak bapak-bapak tersebut, saya tibat-tiba teringat betapa bejibun klarifikasi-klarifikasi yang telah saya amati dan lewati di media sosial. Hingga 12 Maret 2022, di Instagram terdapat tagar #klarifikasi sejumlah 17,3 ribu. Sementara di Youtube terdapat 9,2 ribu video dengan tayangan tertinggi adalah klarifikasi Aa Rizky Billar dalam kasus kekerasan rumah tangga terhadap Dede Lesti.
Kajian komunikasi menekankan pentingnya kemampuan klarifikasi bagi manusia, baik sebagai komunikan maupun sebagai komunikator. Apalagi dalam bentuk komunikasi yang termediasi (mediated communication) seperti media sosial. Komunikasi yang melibatkan lebih banyak indra, akan mudah terjadi dan terhindar dari distorsi (noise). Sebaliknya, dalam komunikasi melalui perantara, terkadang kita menangkap dan menyampaikan pesan dengan salah makna karena tidak tahu bagaimana sebenarnya hati dan indra berbicara. Kita harus mengaktifkan klarifikasi sebelum menerima dan menyampaikan informasi.
Pentingnya Klarifikasi dalam Komunikasi
Klarifikasi menjadi sangat penting dalam komunikasi lintasbudaya. Pengalaman saya di Brisbane, frasa “pardon me” sebagai bentuk permohonan klarifikasi sering jadi jurus pamungkas. Maklum, saya yang belum wasweswos berbahasa Inggris harus berbicara dengan orang Australia yang kecepatan dan aksennya seperti sedang kumur-kumur.
Tanpa klarifikasi, komunikasi lintasbudaya berpotensi jadi konflik. Misalkan seorang mojang Cianjur merajuk “saya pengen gedang,” dapat berbuah amarah ketika pacarnya yang berasal dari suku Jawa malah membawakan setandan pisang. “Ini kan gedang, Sayang!” “Bukan atuh, Aa!” Gedang dalam bahasa Sunda berarti pepaya, tetapi dalam bahasa Jawa berarti pisang.
Selanjutnya, klarifikasi diperlukan dalam komunikasi dengan relasi kuasa berbeda. Seseorang dengan power lebih rendah, seringkali terlihat bodoh karena melakukan klarifikasi berkali-kali. Sementara orang dengan posisi lebih tinggi cenderung irit bicara kepada bawahan, mungkin setiap kata adalah mutiara. Super.
Saya teringat cerita Kabayan saat dimarahi majikannya karena sekam gabah padi turut dimasak menjadi nasi. Juragan berbicara dengan nada tinggi: “Lain kali, semua yang mengambang itu dibuang! Gak berguna!”. Tibalah waktu Kabayan mencuci beras lagi di kolam belakang rumah Sang Juragan. Ia membuang semua sekam dengan cekatan. Setelah selesai, Kabayan melihat angsa-angsa mengambang di atas air kolam. Angsa-angsa dibuang oleh Kabayan. “Dasar soang! Gak berguna!” teriak Kabayan meniru suara majikan.
Lebih serius, klarifikasi juga menjadi strategi komunikasi yang penting dalam mencapai tujuan kolektif. Saat Tiongkok dilanda Covid-19, penelitian Ning dkk. (2021) menyebutkan bahwa klarifikasi atau koreksi resmi yang dikeluarkan pemerintah Tiongkok dalam bentuk berita mampu mengurangi rumor-rumor dan hoaks ilmiah yang merebak di masyarakat.
Situs turnbackhoax.id yang dikelola oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) sejak Juli 2015 hingga Maret 2023 telah merilis sejumlah 10.418 berita klarifikasi atas informasi yang salah. Melalui tim relawan dan tim tetap yang terlatih dan memiliki kriteria tertentu, Mafindo menggunakan berbagai cara dan teknologi untuk menangkal misinformasi, disinformasi, dan hoaks dari masyarakat serta menyampaikannya dalam tulisan-tulisan yang logis (Satyawati, Utari & Hastjarjo, 2019). Gerakan klarifikasi atas berbagai informasi yang salah, seperti yang dilakukan Mafindo, disebut mampu mengaktifkan masyarakat sebagai warga negara yang kritis (Nurhadi, Muchtarom & Winarno, 2019).
Baca Juga: Kebijakan Menunggu Viral
Mimpi Youtuber
Hidup di Negeri Klarifikasi
Saking banyaknya klarifikasi di jagat maya Indonesia, saya berpikir apakah saya hidup di Negeri Klarifikasi? Seperti di negeri dongeng, hidup di Negeri Klarifikasi tak selalu membahagiakan. Saya melihat beberapa gelagat bahwa klarifikasi juga menjadi proses ganjil di media sosial.
Proses klarifikasi bukan dianggap sebagai proses koreksi dan rekonsiliasi dari proses pencapaian tujuan. Netizen Indonesia seringkali asal menyebarkan konten informasi tanpa berpikir panjang. Setelah kontennya bermasalah dan direspons negatif, dengan enteng mereka tinggal melakukan klarifikasi. Seperti basa-basi. Tak peduli bahwa kontennya telah merugikan atau bahkan membahayakan pihak lain. Ada cuitan pengguna Twitter yang cocok untuk kondisi ini: “Tunggu viral dulu banyak yang protes, dia dipanggil oleh polisi. Baru pihak polisi klarifikasi.”
Kondisi ini tampaknya risiko dari produksi informasi yang seketika (instantaneous communication). Pesan disampaikan dan direspons secepat mungkin tanpa peduli bobot dan akurasinya. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi ideal media massa yang masih memiliki filter keredaksian (mulai dari penulis, editor, hingga pimpinan redaksi) dan diluncurkan dalam waktu tertentu, tidak seketika. Melalui penjaringan dan penyaringan di ruang redaksi, pesan dapat diolah dengan cover both sides, klarifikasi dari semua informan atau data sebelum hal tersebut menjadi wacana publik.
Parah benar situasi jika media massa yang diharapkan tetap menjaga mutu jurnalismenya, malah ikut memberitakan apa yang disampaikan netizen apa adanya. Seperti yang dilakukan oleh sebagian homeless media (media yang hanya eksis di media sosial). Mereka seringkali menyampaikan ulang topik yang trend di jagat maya, dan tangkapan layar dianggap sebagai produk jurnalisme. Menyedihkan! Atau, siniar-siniar masa kini yang dengan sengaja atau karena ketidakmampuannya, hanya menghadirkan salah satu pihak informan yang berkonflik.
Tsunami klarifikasi di dunia gosip selebriti bisa jadi tak masalah. Namun, ini juga agaknya berdampak pada logika bagaimana keadilan di masyarakat bekerja sebab penegakan keadilan, saya kira, adalah sebuah konsensus yang ditopang narasi keberhasilan-keberhasilan kecil. Jika ada kasus yang merugikan sebagaian kelompok atau individu, kini netizen dengan sigap mengangkatnya dan menuntut klarifikasi melalui media sosial. Setelah itu, orang yang bermasalah membela diri dengan klarifikasi tandingan atau diam tak berdaya. Netizen juga seringkali meminta klarifikasi dari proses hukum atau pengambilan keputusan yang tengah berlangsung dengan berharap kebijakan dan proses hukum itu pun bisa diperbaiki.
Fenomena tuntutan keadilan melalui media sosial tersebut bisa saja baik, bisa juga buruk. Baiknya adalah ketika suara netizen menjadi gema yang kuat dalam menuntut terwujudnya keadilan. Tidak ada lagi sekat, bahkan ketika harapan semakin layu pada wakil rakyat. Sementara itu, buruknya adalah bahwa segala persoalan seolah-olah dapat diselesaikan hanya dengan klarifikasi. Tanpa ada tindak lanjut konkret. Seperti cuitan seorang netizen: “Kita yang dongkol marah sama orang tersebut. Kalau kena tangkap hanya berapa menit di kantor polisi, klarifikasi dan minta maaf, lalu pulang. Udah gitu aja. Budaya +62.”
Sebenarnya saya ingin bertanya lebih jauh lagi, apakah proses klarifikasi gampangan yang ditampilkan di ruang digital tersebut menggambarkan bagaimana kebijakan di Negeri Klarifikasi berlangsung akhir-akhir ini? Kebijakan yang penting diketok dulu, kalau ada kesalahan tinggal klarifikasi dan menyebutnya sebagai uji coba. Undang-Undang diundangkan saja dulu, kalau ada kesalahan dan penolakan tinggal klarifikasi dan bilang: “Gugat saja di Mahkamah Konstitusi!”.
Daripada tulisan ini bertambah panjang dan nanti saya dituntut klarifikasi, saya pungkas tulisan ini dengan sebuah klarifikasi yang sangat penting nan tulus dari netizen Indonesia:
“Kami segenap warga miskin yang sering butuh pinjaman mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas kelakuan orang miskin yang suka marah-marah kalau ditagih utang. Sebenarnya kebanyakan dari kami, kalau ditagih utang, yang pertama dilakukan adalah ngumpet. Kalau ada yang marah-marah, berarti itu cuma oknum orang miskin yang ketika ditagih utang tidak keburu ngumpet. Sekali lagi saya ucapkan mohon maaf.”