• Opini
  • Kebijakan Menunggu Viral

Kebijakan Menunggu Viral

Netizen Indonesia setidaknya telah merombak gaya komunikasi pemerintah. Yang kaku tak lagi laku. Mendorong pemerintahan yang lebih akuntabel dan demokratis.

M. Fasha Rouf

Mahasiswa Magister Komunikasi untuk Perubahan Sosial, The University of Queensland.

Ilustrasi. Teknologi gawai memudahkan manusia untuk menyuarakan pendapatnya di media sosial, 12 September 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

27 Februari 2023


BandungBergerak.id – Senin malam, 20 Februari 2023, seorang lelaki bernama Mario Dandy Satriyo menghajar anak SMA dengan membabi buta, David korbannya. Namun ternyata yang dihajar Mario tak hanya David. Netizen Indonesia meminjam tangan dan kaki Mario yang kotor itu untuk membongkar aib yang selama ini disembunyikan Ayahnya sendiri. Berlumur cemoohan kini seorang Ayah, Ibu Menteri Keuangan kena getah.

Peristiwa tersebut awalnya mungkin terbatas pada peristiwa kriminalitas. David yang menjadi korban, koma di Rumah Sakit. Netizen pun memanjatkan doa dan meramaikan tagar #KamiBersamaDavid yang dicuitkan sebanyak lebih dari 23 ribu kali. Tak berhenti di situ, di era keterbukaan informasi, data-data dari unggahan personal maupun lembaga publik dapat diulik dan diolah sedemikian rupa. Netizen bahu membahu mengonsolidasikan data, informasi, dan kenyinyiran menjadi sebuah wacana. Seperti sebuah fakta di persidangan rakyat yang siap dihakimi siapa pun.

Melalui kejelian dan keuletan Netizen, terbongkarlah mobil mewah Rubicon yang dikendarai Mario menunggak pajak sekitar lebih dari enam juta, menggunakan nomor polisi palsu, serta tidak dimasukkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ayahnya, Rafael Alun Trisambodo. Netizen terus ngintel, terbongkar dari LHKPN bahwa kekayaan ayahnya fantastis, sebesar Rp56,10 miliar. Angka itu lebih besar dari kekayaan menterinya sendiri, sedikit lebih sugih dari Bapak Joko Widodo.

Netizen skeptis akhirnya terus menyingkap keborokan-keborokan lain di Kementerian Keuangan. Mulai dari keanehan mengapa Inspektorat Jenderal tak mencurigai dan mengawasi sumber kekayaan pejabat Eselon III yang aneh, tunjangan kinerja dan bonus besar pegawai Ditjen Pajak yang dihadiahkan negara, hingga 13 Ribu pegawai Kementerian Keuangan yang tak lapor kekayaan. Seorang netizen menggerutu, “Kita disuruh-suruh naik angkutan umum, kerja capek dipotong pajak. Anak pejabatnya naik RUBICOOOON!”.

Lebih jauh, gerakan tersebut memunculkan tagar penolakan bayar pajak, seperti #PajakKitaUntukPejabat, #MalasBayarPajak hingga #PajakKitaUntukBeliRubicon. Seorang netizen dengan satir mengunggah kembali sebuah foto papan protes di tengah jalan berlubang bertuliskan “pajak telat didendo, dalan rusak dijarno” atau “telat bayar pajak didenda, jalan rusak dianggurin”. Bu Menteri pun akhirnya harus repot meminta maaf dan memberi penjelasan kepada publik, apalagi kejadian ini di tengah waktu pelaporan pajak.

Baca Juga: Kegelisahan dan Hal-hal yang Belum Selesai
Sebuah Percakapan Dengan Kecerdasan Buatan Mengenai Negara yang Terlambat Hadir
Sampah di Gunung, yang Mengungkung Tanpa Mengenal Tempat
Mimpi Youtuber

Partisipasi Netizen sebagai Proses Demokratisasi

Gerakan netizen ini sebenarnya bukan hanya pertama kali di Indonesia. Sudah cukup banyak gerakan-gerakan pengawasan kebijakan publik yang dikawal netizen hingga akhirnya mendapat keadilan. Kasus teranyar misalnya Sambo. Jenderal polisi yang memiliki kekuatan baik karena kuasa struktur maupun kuasa lainnya, mampu dihukum adil dengan sokongan kekritisan dan kawalan netizen dari awal kasus. Kondisi netizen ini menggambarkan ada kebijakan yang diambil berbasis kasus viral di masyarakat. “Mau ada kebijakan berkeadilan? Viralin dulu dong!” Mungkin demikian iklan layanan publik yang tepat di kondisi saat ini. Salah satu akun twitter berseloroh dengan ringan, bahwa sepertinya pejabat dan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia harus diberikan tunjangan kinerja berbasis viral based performance.

Tindakan-tindakan netizen yang telah digambarkan itu tentu tak salah, bahkan sudah tepat dan perlu didorong untuk menghasilkan pemerintahan yang lebih akuntabel dan demokratis. Menurut Elske Van de Fliert (2023), partisipasi dapat mendorong hak demokrasi warga dengan mengekspresikan pendapat, memengaruhi kebijakan, hingga membuat kebijakan sendiri untuk mendorong redistribusi kekuasaan. Merujuk tangga partisipasi rakyat dari Arnstein’s (1969) dalam buknya The Citizen’s Handbook, saya melihat bahwa media sosial dapat mendorong ke dalam tahapan puncak, yaitu delegasi kekuasaan hingga kontrol masyarakat (citizen control). Contoh sederhananya ialah pengawasan dan pengawalan keluhan, kasus, dan masalah yang terjadi di masyarakat oleh netizen yang disuarakan melalui media sosial tanpa barrier, bebas dari peran aparatus, atau calo yang mengharap token dan koin.

Mengamati aktivisme netizen Indonesia di media sosial, ada beberapa hal yang berpotensi didorong menjadi partisipasi organik. Media sosial memang telah menjadi ruang publik yang lebih terbuka. Habermas sempat meragukan ruang publik di media massa yang sebenarnya sangat tertutup, karena lebih dominan dikuasai oleh penguasa. Di Indonesia, jari kita bisa menunjuk pada politisi yang menguasai media massa, atau kepada pengusaha yang mampu beriklan atau membeli wacana. Di media sosial, harapan itu muncul karena siapapun bisa menyuarakan suaranya secara langsung. Terutama melalui tindakan komunikatif (communicative action) yang berpeluang untuk memantik diskusi tanpa diskriminasi.

Hal tersebut telah diuji oleh cukup banyak peneliti, misalnya Clay Shirky (2011) yang membuka artikelnya dengan cerita gerakan-gerakan perlawanan rakyat yang dikonsolidasikan dan disebarkan melalui media sosial, seperti di Filipina, Spanyol, dan Amerika Serikat. Ia kemudian menyebutkan, “Populasi yang berjejaring memiliki akses yang lebih baik terhadap informasi, kesempatan lebih banyak dalam berbicara di ruang publik, serta meningkatkan kemampuan untuk mengambil aksi kolektif”.

Netizen Indonesia, setidaknya telah merombak gaya komunikasi pemerintah. Pemerintahan yang kaku tak lagi laku. Lembaga pemerintahan dituntut untuk membuka pelayanan digital. Kantor tanpa akun media sosial dianggap tak hadir buat mereka. Kemudian, akun lembaga tersebut dituntut untuk dapat berinteraksi dengan cair, responsif, dan sekaligus informatif dengan netizen. Akun Twitter Ditjen Pajak sebenarnya sangat terkenal dengan kecairan komunikasinya, misalnya dengan respons “ninuninuninu” sebagai onomatopoeia sirine jika ada orang yang mengunggah barang mewah di media sosial dan viral. Saat kasus Mario kembali terungkap, akun Ditjen Pajak tersebut pun diserang netizen dengan gaya komunikasi yang sama, dengan kejulidan serupa. Hal ini menggambarkan bahwa akuntabilitas pemerintahan tetap harus hadir terlebih dahulu dibanding branding. Sebab keborokan dan kepalsuan tentu tak akan bisa ditutupi oleh sekadar unggahan gambar dan kata-kata di media.

Tantangan Demokratisasi Akses dan Wacana

Namun, kondisi-kondisi gerakan netizen tersebut sekali lagi belumlah dalam kondisi ideal, saya mengatakannya sebagai peluang yang baik untuk demokrasi di Indonesia. Masih terdapat beberapa tantangan nyata yang perlu dirombak dan diperbaiki. Kesatu, aktivisme media sosial masih terbatas pada kelompok masyarakat tertentu, tidak merata untuk kaum termarjinalkan baik secara teknologi maupun wacana. Cornwall (2008) menyindir bahwa ruang-ruang partisipatif, sebenarnya sering kali dinikmati oleh mereka yang berada pada kelas menengah atas. Dibanding rapat berlama-lama dalam program partisipasi publik, kelas menengah tinggal mengunggah keluh-kesahnya di media sosial. Kelas menengah atau kelompok yang telah mampu menggunakan media sosial untuk aktivisme mereka, harus mampu turut membantu menyuarakan orang-orang yang termarjinalkan baik secara akses teknologi maupun akses diskursus.

Kedua, sebenarnya ruang aktivisme media sosial itu masih cair dan tidak terlalu terorganisir. Sehingga, keterlibatan publik secara kolektif hanya pada titik-titik momentum tertentu saja. Netizen Indonesia belum terlihat mengoordinasikan isu-isu advokasi yang secara konsisten dipelihara. Ruang-ruang tambahan dan kepanjangan dari media sosial perlu diperkuat, seperti ruang diskusi virtual hingga fisik.

Ketiga, masih terjadi kesempitan isu yang diperjuangkan. Netizen Indonesia masih cenderung bergerak serempak pada isu-isu yang secara umum telah menjadi konsensus jelas, seperti kekerasan atau kriminalitas, kekerasan seksual, hingga keadilan hukum. Namun, isu-isu yang lebih kompleks dan membutuhkan riset lebih jauh, netizen Indonesia masih belum solid untuk bergerak dalam satu irama perjuangan. Masih terlihat adanya gerakan-gerakan rakyat yang hanya berbunyi di akar rumput, tak didukung secara massif di media sosial. Misalnya betapa heroiknya masyarakat adat Toba dalam TIM 11 Ajak Tutup TPL. Mereka berjalan sejauh 1.758 kilometer dari makam Raja Sisingamaraja menuju Istana Negara selama 45 hari pada tahun 2021. Atau meninggalnya Yuk Patmi yang menolak pabrik semen, dan Salim Kancil yang meninggal dalam penolakan terhadap tambang pasir. Diskursus isu yang kompleks, berkaitan dengan tafsir kebenaran juga relasi kekuasaan, masih cenderung belum mendapatkan dukungan seragam dan kuat dari netizen Indonesia. Cara berjuang langsung di lapangan yang memakan korban jiwa karenanya masih ada. Ini menjadi tantangan untuk kelompok masyarakat sipil di akar rumput.

Terakhir, celakanya, isu-isu yang masih dalam ranah abu-abu tersebut bisa dimanfaatkan oleh politisi, pemerintah, maupun pengusaha untuk memenangkan pertarungan wacana. Jangankan yang abu-abu, yang sudah jelas hitam pun masih mampu dan diusahakan dipelintir di ruang publik. Meskipun demokratisasi saluran media lebih hadir di era media sosial, tetapi kelompok yang lebih berkuasa bisa menciptakan senjata melalui akun robot dan massa bayaran untuk mendominasi wacana. Sebagaimana kembali mengutip Cornwall (2008), bahwa terlibat dalam proses partisipasi bukan sama artinya dengan memiliki suara. Suara perlu dipelihara. Orang perlu merasa mampu mengekspresikan diri tanpa takut akan pembalasan atau harapan tidak didengarkan atau dianggap serius.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//