Sampah di Gunung, yang Mengungkung Tanpa Mengenal Tempat
Nilai-nilai yang hidup dan bertahan di lingkungan masyarakat gunung terlampau berharga bila suatu saat terdegradasi akibat sampah. Kesakralan gunung mesti lestari.
Rudi Agus Hartanto
Mahasiswa Program Magister Linguistik FIB Universitas Sebelas Maret, pegiat Komunitas Kamar Kata dan Sanggar Bima Suci
20 Februari 2023
BandungBergerak.id – Keindahan gunung banyak bertebaran di media sosial. Panorama sunrise, sunset, sabana, bunga edelweis, dan kicau burung menjadi daya pikat tersendiri bagi generasi muda untuk mendaki. Di samping itu, gunung merupakan salah satu tempat yang tersisa kenaturalannya di tengah menjamurnya industri pariwisata buatan.
Meski begitu, yang timbul atas menggeliatnya aktivitas mendaki gunung adalah persoalan sampah. Bila di kota sering terdengar istilah “gunung sampah”, lantas apa sebutan yang tepat dengan yang terjadi di gunung? Jika pertanyaan tersebut tidak terlontar di kepala pendaki, maka imbauan yang terpampang di setiap basecamp atau pos pendakian akan sia-sia.
Begitulah obrolan yang terjadi antara saya dengan seorang kawan ketika mendaki Gunung Merbabu via Suwanting beberapa waktu lalu. Persoalan sampah memang sudah menjadi masalah laten di Indonesia. Bahkan tempat setenang gunung pun mendapatkan dampak yang begitu besar.
Seiring semakin tingginya aktivitas pendakian gunung, tidak sedikit yang mengingatkan kepada pendaki untuk kembali membawa turun sampahnya. Namun atensi prioritas para pendaki belum pada ranah itu. Sebab kebutuhan utama pendaki ialah konten yang berorientasi popularitas semata. Sementara itu, kepentingan keberlanjutan ekologi malah terkesampingkan, sehingga membuat ekosistem gunung menjadi terancam.
Obrolan itu mengingatkan diskusi saya dengan Prof. Wakit Abdullah Rais . Bahwa aktivitas membuang sampah sembarangan memiliki ikatan historis dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Artinya, pendapat tersebut tepat bila digunakan untuk mengukur polah “kita” sekarang ini.
Dahulu—sebelum digunakan bahan anorganik—masyarakat cenderung langsung membuang sampah hasil aktivitas domestik. Secara tidak langsung, faktor tersebut memengaruhi pola pikir masyarakat hari ini. Hal itu kemudian menjadi masalah lain yang belum benar-benar tersentuh.
Kenyataan historis yang begitu tentu harus diperhatikan. Apalagi plastik sekali pakai telah menjelma masalah serius. Gunung tidak bisa ditinggalkan sebagaimana wacana pengelolaan sampah di kota sebelum menjadi akut. Nilai-nilai yang hidup dan bertahan di lingkungan masyarakat gunung terlampau berharga bila di suatu saat terdegradasi akibat sampah.
Gunung merupakan tempat manusia untuk menemukan ketenangan. Terutama di tengah tuntutan nilai material yang semakin menguasai sendi-sendi kehidupan. Mendaki gunung menjadi salah satu cara “temporer” untuk menanggalkan kekuasaan tersebut. Pengambilan jarak perlu dilakukan guna menengok kembali tujuan awal manusia mengejar materi, yakni keberhasilan, kebahagiaan, serta pemaknaan bahwa kehidupan berjalan baik (Hati, 2005).
Dalam narasi yang berkembang di masyarakat, baik pandang historis-mistik maupun kepercayaan, gunung kerap dijadikan tempat oleh spiritualis untuk bersemadi dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Sementara itu, masyarakat gunung juga menyimpan kekayaan folklor yang mengakomodasi kepentingan budaya dan ekologi.
Cahyono (2012) mengemukakan bahwa budaya dan kepercayaan masyarakat terhadap gunung pada dasarnya merupakan sistem pengetahuan tentang lingkungan alam. Dengan begitu, dapat dipahami bila apa yang sudah ada di kehidupan masyarakat gunung dapat mencakupi berbagai kepentingan ekologi.
Kontekstualisasi antara aktivitas pendakian dan kebudayaan masyarakat gunung menjadi sebuah diskursus yang memikat untuk didedah. Keduanya dapat menjadi alternatif kala imbauan, aturan, maupun kebijakan mengenai sampah kurang memperoleh perhatian dan tindakan konkret.
Tradisi spiritual dan kesenian yang tumbuh di masyarakat saya kira perlu tersalur menjadi pengetahuan pendaki. Dalam konteks ini, perlu melibatkan berbagai pihak supaya gunung dapat terjaga kelestariannya. Penggunaan media sebagai sarana promosi wisata juga mampu dimanfaatkan untuk menyelipkan pesan-pesan konservasi.
Dengan begitu, gunung yang dalam beberapa waktu ke belakang dipahami sebagai tempat rekreasi dapat berubah. Sebagaimana pemahaman masyarakat yang tinggal di gunung, bahwa tempat tersebut merupakan penyedia kehidupan. Keramaian yang berhak di tempat itu adalah bebunyian alam, kondisi demikian tidak boleh terganggu keberadaan suara music box.
Kesakralan gunung yang tumbuh sebagai narasi besar mesti terus lestari. Sebab generasi selanjutnya akan menagih wujud material dari narasi tersebut. Di sisi lain, pendaki tentu akan mendapatkan pengalaman yang berbeda jika aktivitasnya disertai pengetahuan budaya setempat.
Gunung yang berada di tepian hiruk-pikuk kehidupan lekas memberi pengertian pendaki perihal menepi. Keramaian yang biasa membersamainya, dengan mendaki gunung, setidaknya memberi secuil ketenangan yang utuh.
Baca Juga: Mimpi Youtuber
Satu Abad NU, Menagih Keberpihakan Organisasi Pada Rakyat
Inovasi Daur Ulang Sampah Plastik Menjadi Filamen
Gerutu Persoalan
Mendaki bagaimanapun adalah kegiatan yang berisiko tinggi. Kondisi alam tidak bisa ditebak sekalipun sebelum berangkat telah melihat prediksi cuaca. Keamanan dan keselamatan adalah hal utama bagi pendaki. Di sisi lain, hal itu juga berlaku bagi tempat yang mereka kunjungi.
Pijakan sebelum melewati gerbang pendakian ialah manajemen perjalanan dan konsekuensi. Terlebih dalam asa tersebut terselip harapan bila masalah ke-diri-an yang dibawa berangsur berkurang. Konsekuensi yang dimaksud, apakah aktivitas tersebut membawa sebuah kesadaran, terkhusus mengenai gunung sebagai wilayah konservasi.
Selama perjalanan, pendaki akan melewati jalur satwa dan berbagai jenis vegetasi. Ekosistem yang “mungkin” jarang ditemui di kehidupan sehari-hari. Di mana mereka merupakan penghuni tetap sebenarnya, yang pantas dihormati sebagai pemilik dan penjaga tempat.
Pendaki sebagai tamu di gunung baru dikatakan sah jika mengatakan secuil surga di bumi apabila telah menjaga kelestarian lingkungannya. Sebab, kalau tidak disertai kesadaran, pesan menjaga kelestarian gunung justru terdengar utopis.
Andaikata memang konten dan popularitas yang dituju, maka pertanyaan sebelum produksi berlangsung apakah mungkin membawa dampak kelestarian? Bahwa pendakian yang tuntas sebaiknya hanya meninggalkan jejak dan pengertian. Bila tidak, sesungguhnya yang justru menjadi tanda tanya adalah siapa yang sebenarnya dimaksud sampah. Bahkan sekalipun secara teknis seseorang membuang sampah dengan benar, belum tentu permasalahan tersebut teratasi.
—Hal itu juga berlaku penuh untuk saya.