Mimpi Youtuber

Riset menyebut mimpi terbesar orang Indonesia adalah jadi Youtuber. Yang jangan sampai lupa, Youtuber tidak bisa berjaya tanpa konten-konten bernas dan berkualitas.

M. Fasha Rouf

Mahasiswa Magister Komunikasi untuk Perubahan Sosial, The University of Queensland.

Seorang kreator mengembangkan ide dengan kreativitasnya untuk membuat karya yang dipublikasikan melalui platform digital. Konten bernas jadi yang utama. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

15 Februari 2023


BandungBergerak.idAs I look to the sky before me/ Rainbow as stairs to the stars/ Wishing lights float above/ Carrying our dreams/ Into the light…

Sepenggal lirik lagu Sarariman’s Dream dari Duara bisa menjadi gambaran mengenai mimpi bagi banyak orang. Mimpi, seperti selalu berada di awang-awang. Banyak orang terus mencoba menjangkaunya, meraihnya. Mimpi menjadi tenaga untuk bertahan hidup di antara dua kutub tegangan: kelahiran dan kematian. Ia menjelma doa, suka, dan duka bagi manusia. Termasuk mimpi untuk menjadi Youtuber.

Riset dari Remitly, perusahaan multinasional bidang migrasi dan pekerjaan, menyebut bahwa mimpi terbesar orang Indonesia adalah jadi Youtuber. Remitly memanfaatkan big data dari mesin pencarian Google, dengan mengidentifikasi ketikan kalimat tanya “how to be a” atau “bagaimana caranya menjadi” pada tiap-tiap negara. Dominasi pencarian how to be a Youtuber juga terjadi di Jepang, Republik Ceko, Meksiko, Peru, dan negara lainnya. Di level global, mimpi jadi Youtuber memiliki total angka pencarian mencapai 195.070. Meskipun metode riset Remetly bisa diragukan, hasilnya cukup memotret cita-cita generasi muda Indonesia.

Kondisi di negara tertangga Indonesia beragam. Sebagian besar cita-cita warga Singapura, Myanmar, dan Kamboja ingin menjadi penulis, Brunei Darussalam dan Malaysia menjadi guru, Vietnam menjadi penyanyi, dan Timor Leste menjadi dokter. Di Papua Nugini banyak yang mencari cara untuk menjadi pilot. Seperti banyak negara lain di dunia, pilot tetap menempati posisi pertama dengan angka pencarian sejumlah 930,630. Disusul posisi kedua dengan mimpi jadi penulis (801.200) dan ketiga menjadi seorang penari (278.720).

Cita-cita yang banyak diidamkan orang-orang segenerasi saya sebenarnya masih masuk dalam 20 besar. Programmer di posisi kedelapan, guru di posisi kesepuluh, dokter di posisi ketiga belas, dan profesor menempati posisi empat belas. Namun, mengapa cita-cita ini seolah bergeser ke suatu profesi yang sebelumnya belum pernah terbayangkan?

Kiblat Masa Kini

Sesungguhnya cita-cita ialah pilihan individu atas masa depan yang dibayangkannya. Namun sependek pengetahuan penulis, terdapat beberapa hal penting yang dapat dicatat mengenai fenomena mimpi jadi Youtuber ini. Indonesia ialah salah satu negara dengan pengguna internet terbesar, sehingga figur atau tokoh di dunia maya menonjol. Perkawinan antara demokrasi yang lumayan terbuka, demografi raksasa, dan akses telekomunikasi yang mulai merata di Indonesia menjadi faktor pendorong. Data We Are Social dan Meltwater tahun 2023 menyebut bahwa penetrasi internet di Indonesia sebesar 77 persen dari total penduduk, serta pengguna media sosial berjumlah 167 juta jiwa dengan pengguna Youtube sebesar 139 juta.

Tak salah jika sebagian besar generasi kita ingin menjadi perhatian dan keberartian bagi 139 juta orang. Sama seperti cita-cita yang hidup sejak dulu, semua orang sebenarnya ingin menjadi sosok penting sesuai persepektif masing-masing. Saat kecil, saya ingin menjadi pilot biar bisa diteriaki anak-anak kampung “kapal minta uang, kapal minta uang”. Teman saya ingin menjadi Tarzan, katanya untuk melindungi hutan besarta flora dan faunanya.

Tak banyak yang percaya bahwa Youtube bisa menjadi kiblat kebudayaan masa kini,  dan menjadi imamnya cukup diidamkan. Padahal Youtube, sebagaimana media sosial lainnya, telah melekat dalam keseharian kita. Kemudahan akses dari beragam mobilitas, diferensiasi konten, sajian audio visual menarik, internet murah, dan berbagai variabel lainnya menjadi ekosistem yang baik bagi kebudayaan maya ini.

Segalanya ada di Youtube. Bisa belajar Islam dari Quraish Shihab, mendengar ocehan Gita Wirjawan dengan berbagai tokoh dunia, belajar sains dengan asyik lewat animasi dari Kurzgesagt atau Kok Bisa, menonton gerutuan Rocky Gerung soal bangsa, atau sekadar mendengar musik idola dengan gratis.

Lalu, apakah masyarakat kita mengonsumsi Youtube untuk hal-hal positif? Data dari Social Blade menunjukkan, salah satu akun Youtube paling terdepan di Indonesia ialah akun Zuni and Family. Akun tersebut memuat konten pendidikan yang seru dengan pelanggan sebanyak 17,4 juta. Pada satu bulan terakhir, saluran ini telah ditonton lebih dari 93.228.000 kali, sementara secara keseluruhan ditonton 6.456.494.970 kali. Saluran ini jauh mengalahkan saluran hantu-hantuannya Nessie Judge yang total videonya ditonton sebanyak 1.525.113.429 dengan pelanggan sebanyak 9,81 juta akun.

Memang bisa hidup layak hanya mengandalkan Youtube? Pendapatan tiap bulan akun Zuni and Family menurut Social Blade ditaksir paling rendah sebesar Rp460.188.825 dan terbesar sebanyak Rp7.363.021.200. Sebaliknya, Youtuber pun mampu mendorong pergerakan grafik suatu entitas ekonomi. Riset Oliver Budzinskia and Sophia Gaenssle (2020) dalam Journal of Media Economics bahkan menyebutkan bahwa social media superstars (SMS) yang kini telah menggantikan peran dari fenomena superstar jadul dunia pemasaran, memiliki pengaruh penting terhadap pasar. Intensitas dan strategi unggah dari SMS berpengaruh baik dalam promosi.

Sebaliknya, pengalaman dan durasi di pasar memiliki pengaruh terhadap kesuksesan dalam promosi media sosial. Karena siapapun bisa menceritakan pengalaman konsumsi mereka secara langsung dan terbuka, baik pujian hingga umpatan. Setali tiga uang, menjadi Youtuber juga seringkali dipersepsikan menjadi praktis untuk sejahtera di tengah impitan dan keputusasaan.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Sebuah Sayembara Esai, Sebuah Ajakan Terlibat
Satu Abad NU, Menagih Keberpihakan Organisasi Pada Rakyat
“Terlalu Bangga” pada Indonesia

Menatap Masa Depan dari Layar

Menjadi Youtuber bisa jadi memang salah satu profesi penting untuk masa depan Indonesia. Sama seperti kebanyakan warga Tiongkok yang dilaporkan Remetly bercita-cita menjadi ahli diet (dietician). Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), asupan garam dan minyak yang tinggi berdampak buruk pada kesehatan orang dewasa. Laporan dari The Lancet (2021) juga menyebut bahwa Tiongkok yang dulu dikenal memiliki masyarakat yang terlalu kurus kini telah memiliki masalah dalam kelebihan berat badan dan obesitas. Atau mengapa masyarakat Korea Selatan dilaporkan banyak yang ingin menjadi pegawai kepolisian? Salah satunya adalah jumlah kasus kriminal yang pada tahun 2020 meningkat 3.62 persen dari 2019 (Macrotrends), serta kasus kekerasan seksual yang cukup merisaukan dengan 19.217 kasus pada 2021 (Statista).

Jadi, dengan ratusan juta penonton dengan durasi konsumsi internet hampir 8 jam setiap hari, profesi Youtuber bisa jadi penting dalam perjalanan bangsa ke depan. Tak ayal, sebagaimana cita-cita pragmatis dalam sistem kapitalis yang harus dikejar dengan pendidikan setinggi mungkin, berbagai perguruan tinggi di Indonesia merespons fenomena ini. Kampus UPN Veteran Jakarta sejak 2021 menerima mahasiswa baru jalur prestasi Youtuber. Seorang kawan dosen di kampus PTS di Yogyakarta bercerita, kampusnya membuka program studi Digital Humanities dengan salah satu alasannya adalah merespons fenomena Youtuber.

Lembaga pendidikan sebenarnya sah saja merespons hal tersebut. Namun, hal yang paling penting dan tak boleh dilupakan adalah bahwa Youtuber tak akan bisa berjaya tanpa konten-konten bernas dan berkualitas. Karenanya, kecakapan digital (produksi konten dan distribusinya) bisa menjadi materi pembelajaran yang diberikan kepada siapapun. Sementara urusan konten, tetap harus bertumpu pada ragam kebijaksanaan ilmu pengetahuan dengan keahlian yang tertentu.

Kepakaran tak boleh semakin mati di Indonesia. Harapannya, justru akan lebih banyak ahli dari Indonesia yang berbicara melalui platform media sosial di masa depan, bahkan mungkin dengan bahasa internasional. Bisa saja cita-cita Indonesia sebagai salah satu kekuatan besar dunia tak dimulai dengan mempersiapkan senjata nuklir, tetapi dengan mempersiapkan para ahli Indonesia yang dipercaya banyak pengguna sosial media di berbagai belahan dunia. Apakah bisa? 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//