“Terlalu Bangga” pada Indonesia
Overproud atau kebanggaan berlebihan cenderung menimbulkan persaingan dengan negara lain. Jika dilakukan berlebihan bahkan sampai menjelekkan negara lain.
Alysa Reyhan Maharani
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
4 Februari 2023
BandungBergerak.id – Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, kerap terjadi fenomena yang disebut “overproud Indonesian” atau kebanggaan berlebih yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Overproud sendiri merupakan istilah yang mengacu pada penyampaian rasa bangga yang cenderung melebih-lebihkan hingga menimbulkan persaingan dengan negara lain (Farah Reginda, 2021). Hal ini semakin merebak karena adanya pengaruh globalisasi dan didukung oleh sejarah kelam Indonesia pada masa penjajahan.
Banyak warga Indonesia yang sangat bersemangat mengungkapkan identitasnya di kolom komentar ketika melihat orang dari negara lain memberikan reaksi terhadap produk yang berbau Indonesia. Tidak hanya itu, ketika warga negara lain mencoba berbicara bahasa Indonesia secara sederhana, para warganet langsung memberikan reaksi positif yang cenderung berlebihan terhadap postingan tersebut.
Salah satu fenomena overproud yang pernah terjadi ialah saat Indonesia menjadi tuan rumah ajang Asian Games, banyak komentar yang dilontarkan oleh warganet Indonesia yang terlalu membanggakan negaranya hingga menjatuhkan negara lain. Hal tersebut menimbulkan keresahan bagi banyak orang karena menganggap hal tersebut terlalu berlebihan bahkan sering kali banyak hal yang dibanggakan adalah hal yang tidak terlalu penting. Selain itu, fenomena ini juga dimanfaatkan oleh para pembuat konten luar yang sering kali memasukkan unsur Indonesia seperti dengan memasang bendera Indonesia dalam sampul video Youtube untuk memancing para warganet agar menonton video tersebut.
Tidak hanya produk budaya, sifat overproud ini bahkan juga dapat dijumpai dalam hal militer di mana banyak masyarakat yang merasa militer Indonesia sudah sangat bagus dibandingkan dengan negara lain. Fenomena ini terjadi karena adanya faktor globalisasi dan sejarah Indonesia yang dapat membentuk karakter masyarakat sehingga menjadikannya terlalu bangga terhadap negara sendiri.
Baca Juga: Melawan Intoleransi dan Diskriminasi dengan Mengurangi Prasangka
Menakar Ambisi Manusia dalam Menjelajahi Ruang Angkasa
Tanda Bahaya Penanganan Gangguan Kesehatan Mental di Indonesia
Pembahasan
Terjadinya fenomena ini dilatarbelakangi oleh sejarah Indonesia yang merupakan negara bekas jajahan, sehingga Indonesia tumbuh dengan situasi erosentrisme yang mengarah pada sifat inferioritas terhadap negaranya sendiri (Vissia Ita Yulianto, 2019). Sehingga, ketika produk negaranya mendapat perhatian atau diakui oleh negara lain, muncullah sifat kebanggaan yang berlebih oleh masyarakat Indonesia. Dalam pengertian singkat, erosentrisme merupakan cara pandang global yang menganggap bahwa bangsa Eropa sebagai bangsa yang paling maju, sehingga banyak orang yang melihat sesuatu dari sudut pandang Eropa (Arun Kumar Pokhrel, 2011).
Kenangan kelam masa lalu itu menjadikan masyarakat Indonesia merasa lebih rendah dibandingkan bangsa lain terutama bangsa Eropa. Rasa inferioritas tersebut merupakan hasil dari perlakuan para penjajah yang seringkali mengekspresikan rasisme mereka terhadap bangsa Indonesia. Sehingga, validasi yang diberikan bangsa lain terhadap Indonesia sangatlah penting dalam meningkatkan percaya diri warganya (Vissia Ita Yulianto, 2019).
Perlakuan tersebut dapat dilihat dari adanya undang-undang tentang pembagian strata sosial pada masa penjajahan. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa warga negara Hindia Belanda merupakan masyarakat kelas pertama. Selanjutnya diikuti oleh warga negara Cina, Arab, dan India menjadi masyarakat kelas kedua. Dan yang terakhir merupakan warga negara Indonesia yang menjadi masyarakat kelas ketiga.
Masyarakat Indonesia yang sering disebut “pribumi” ini kerap mendapat perlakuan yang tidak baik bagi para warga kelas atas, terlebih lagi bagi pribumi yang beragama Islam (Detha Arya Tifada, 2020). Hal tersebut menjadikan munculnya proses mengikat persamaan bagi sesama “pribumi” dan di saat yang sama terjadi proses pemisahan bagi warga kelas atas. Sampai saat ini, masih sering ditemukan mental yang lebih memandang bangsa lain jauh lebih baik dibandingkan bangsa Indonesia sendiri.
Selain itu, terbentuknya stereotip yang beranggapan bahwa Indonesia merupakan belahan dunia ketiga juga mendukung sifat inferioritas bagi masyarakat Indonesia. Adanya kategorisasi dunia pertama, kedua, dan ketiga ini berlatar saat terjadinya perang dingin. Walaupun sekarang sudah tidak relevan, banyak yang beranggapan bahwa pembagian ini merujuk pada kelas ekonomi pada masing-masing negara. Di masa sekarang, peringkat dunia ketiga mengacu pada negara-negara yang masih berkembang, tertinggal, atau belum cukup maju seperti negara barat (Detha Arya Tifada, 2020).
Adanya stereotip tersebut berdampak langsung pada cara kita melihat dimensi sosial budaya terhadap tatanan dunia saat ini. Dapat dilihat bahwa unsur sejarah dalam hal ini menjadi fondasi pengikat bagi seluruh warga Indonesia yang dilatarbelakangi atas dasar kesamaan nasib, sehingga muncullah rasa nasionalisme.
Munculnya rasa nasionalisme yang terlalu berlebihan ini dapat kita lihat ketika Indonesia menjadi tuan rumah ajang Asian Games 2018. Dalam kanal Youtube resmi 18th Asian Games 2018, banyak warganet Indonesia yang mencerminkan sifat overproud dalam kolom komentar di kanal tersebut. Beberapa komentarnya seperti "bahkan opening piala dunia kalah sama opening ini" dan “Di setiap nonton opening ceremony di luar negeri. Pasti ke inget opening asian games 2018 indonesia tidak ada yg semeriah opening ini. Ini sangat indah. Tidak bosen-bosen saya nonton opening ini”.
Kepopuleran tersebut menjadi peluang bagi pembuat konten luar untuk mendapatkan views tinggi dengan menargetkan masyarakat Indonesia. Salah satunya ialah video Youtube yang berjudul “Reaksi Pelajar INGGRIS nonton PEMBUKAAN ASIAN GAMES 2018” yang di unggah oleh kanal Youtube Nadia Valerie. Reaksi yang diberikan oleh pelajar Inggris ini banyak menarik perhatian warganet Indonesia hingga meraih viewers sebanyak 3,1 juta penonton.
Karena apresiasi positif yang diberikan terhadap karya Indonesia ini, banyak warganet yang merasa tervalidasi dengan diakuinya negara Indonesia oleh negara lain. Ditambah lagi karena pengalaman penjajahan di Indonesia dan berbagai stereotip buruk yang diberikan, apresiasi sederhana tersebut sangat berarti bagi masyarakat Indonesia. Selain unsur sejarah, pengaruh globalisasi yang semakin berkembang ini juga memainkan peranan penting bagi meluasnya sifat overproud yang dilakukan warganet Indonesia. Berkembangnya teknologi yang kita rasakan sekarang ini akan mengakibatkan kaburnya batas-batas negara baik secara politik, ekonomi, maupun sosial. Sehingga, kehidupan saat ini cenderung mengarah kepada terbentuknya suatu masyarakat global.
Sesuai dengan pandangan Martin Albrow, yaitu globalisasi mengacu pada semua proses di mana orang-orang di dunia dimasukkan ke dalam satu masyarakat global (Sheila L. Croucher, 2004). Karena mudahnya mendapatkan informasi tersebut, cakupan budaya Indonesia dapat dengan mudah dikenal oleh negara lain.
Kesimpulan
Sifat nasionalisme dan kebanggaan terhadap negara sendiri tentu saja merupakan suatu hal yang positif, karena itu merupakan bentuk kita sebagai masyarakat Indonesia dalam mengekspresikan diri. Tetapi hal itu akan mengganggu stabilitas negara jika dilakukan secara berlebihan bahkan sampai menjelekkan negara lain.
Adanya sifat overproud ini secara tidak sadar menyebabkan penjajahan halus bagi masyarakat Indonesia. Hal tersebut dapat kita lihat dari semakin banyaknya warga negara asing yang cenderung menganggap remeh warga Indonesia karena melihat dari mudahnya menarik apresiasi para warganet Indonesia. Memperdalam pemahaman terhadap budaya bangsa negara sendiri juga sangatlah penting, sehingga kita tidak harus menunggu apresiasi dari bangsa lain untuk merasa bangga atas budaya sendiri.