• Opini
  • Kegelisahan dan Hal-hal yang Belum Selesai

Kegelisahan dan Hal-hal yang Belum Selesai

Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap (Pasal 6, Kode Etik Jurnalistik).

Muhammad Akmal Firmansyah

Mahasiswa Ilmu Sejarah UIN SGD Bandung dan Jurnalis BandungBergerak.id sejak 12 Juni 2022

Cuplikan diskusi film dokumenter Pewarta Melawan Rasuah, hasil kerja sama Watchdoc dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Klub Jurnalis Investigasi (KJI). (Sumber foto: tangkapan layar Youtube Sahabat ICW)

24 Februari 2023


BandungBergerak.id – Begini, aku terangkan saja bahwa sebelum tulisan ini dibuat aku baru saja membaca sebuah tulisan Linda Christanty di dalam buku Dari Jawa Menuju Atjeh:  Kumpulan Tulisan tentang Politik, Islam dan Gay (2009) dengan judul tulisan, “Jurnalisme dalam Sepotong Amplop,”.

Menariknya tulisan Linda itu dekat denganku saat ini, dan perasaan gelisah ini semakin menjadi, perasaan yang berkecamuk. Ya aku gelisah, dan itu tidak bisa aku jelaskan dalam tulisan ini sebab kegelisahanku. Suatu hari kelak, aku akan menulis memoar seperti Soe Hoek Gie atau Ahmad Wahib, atau seperti Ajip Rosidi, iya suatu hari nanti. Kelak!

Tapi mari balik lagi pada tulisan Linda. Tulisan itu adalah pembuka setelah pengantar dan daftar isi, Linda menceritakan bagaimana suatu media yang mengirimkan proposal agar mendapatkan uang tambahan untuk wartawan dan itu dialami sendiri oleh dirinya saat melamar pada salah satu perusahaan media, para pejabat yang punya wartawannya, dan pro kontra masalah amplop bagi wartawan.

Linda menulis seperti ini, “Jatah, kata lain untuk menyebut amplop,” tulisnya.

Mengenai kata jatah, jujur saja saya jadi teringat dengan buku Politik Jatah Preman (2021) ditulis oleh Ian Douglas. Toh, bukan lagi menjadi aib bagi kita ada banyak hal yang melakukan pengamanan, seperti yang dituturkan oleh Ian mengutip dari Tilly bahwa kini kata pengamanan seperti pisau bermata dua. Selain membangkitkan imajiner terlindung dari bahaya ancaman, juga membangkitkan bayangan tentang, ”jatah preman," di mana sang jago memaksa pedagang setempat untuk menghindari kerusakan.

Tanpa maksud membiaskan, tapi jujur saja kata jatah yang diungkapkan oleh Linda di atas mengingatkan saya pada Jatah Preman yang ditulis Ian Douglas.

Lalu Linda melanjutkan, “Selama menjalani pekerjaan ini sejak 1999, saya jadi banyak berpikir melarang wartawan menerima amplop tidak sama dengan melarang orang melahap jajanan penuh sambal atau makan bersama lalat di pinggir jalan, yang bisa membahayakan pencernaan sendiri. Menghilangkan aktivitas tersebut butuh keterlibatan banyak pihak.”

Menurutnya, pihak yang tentu harus bertanggung jawab adalah media, pendidikan bagi wartawan, dan serikat buruh yang mampu membela keberanian kepentingan wartawan. “Harus ada pihak industri media yang mampu mengaji dengan layak, harus ada pendidikan wartawan yang memadai, harus ada serikat buruh yang berani membela kepentingan wartawan dalam berhadapan dengan manajemen surat kabar, radio, atau televisi,” katanya.

“Wartawan hanya simpul kecil dari gurita industri media.”

Kemudian Linda mengutip perkataan ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nezar Patria, “Intinya menolak Amplop untuk sikap jurnalistik independen, bisa saja kita ganti-ganti media tapi karya ini dipandang sebagai karya individu.”

Tidak berhenti di situ, Linda kemudian menampilkan penelitian EH Kartanegara pada 1989 sekitar 92,68 persen wartawan di Indonesia menerima amplop. Dengan tegasnya, Kartanegara menyebut bahwa “amplop" adalah “obat mujarab" buat wartawan.

Ada juga yang berpandangan bahwa menerima amplop itu tidak apa-apa. Linda menampilkan sosok ini, dalam tulisannya, bahwa pelarangan amplop disebut tidak ada dasar hukumnya. Tapi sosok ini juga tidak setuju dengan pemerasan pada narasumber, sementara urusan amplop itu lain hal. Bisa jadi uang transpor. Bahasa halusnya.

Selain Linda Christanty, ada Zacky Yamani yang mencoba merekam sepotong amplop  ini dalam kumpulan esainya yaitu buku Blues Untuk Marcos : Kumpulan Tulisan Tak Lekang Waktu (2022), ia menuturkan bagaimana fenomena hijrah yang waktu itu ramai di kota Bandung. Banyak wartawan yang hijrah dari yang tadinya berandalan jauh dari Tuhan jadi semakin dekat pada Tuhan. Lalu ia bertanya pada seorang ustad, apakah pemberian Amplop itu dibenarkan, ustad perlu waktu untuk memberikan jawab, ternyata hal itu dilarang oleh agama. Sementara, orang-orang hijrah itu tetap mencari pembenaran.

Baca Juga: Sebuah Percakapan Dengan Kecerdasan Buatan Mengenai Negara yang Terlambat Hadir
Sampah di Gunung, yang Mengungkung Tanpa Mengenal Tempat
Mimpi Youtuber
Satu Abad NU, Menagih Keberpihakan Organisasi Pada Rakyat

Berdoa pada Tuhan

Sebetulnya aku selalu berdoa pada Tuhan agar dijauhi dengan hal seperti ini,  namun entah mengapa, entah harus apa, aku sekarang ada di tingkat gelisah. Ternyata rasa yang sama, yaitu gelisah dirasakan juga oleh  salah seorang teman, ia merasa hari-hari ini tak bergairah. Ia menceritakan banyak hal padaku, bagaimana dulu ia menjadi ahli gebuk melalui pemberitaan, bahkan ada pabrik yang dengan setor pada dirinya agar lolos dari pemberitaan negatif.

keur kapoekan haritamah, tapi ayeuna mah henteu ges sadar,” kata dia dengan dialek bahasa Sunda. Bahkan dalam satu Minggu dirinya bisa mengantongi uang yang cukup lumayan fantastis, serta bisa mengganti kendaraan. Mengagumkan.

Di sisi lain aku melihat salah seorang teman yang memang sengaja melakukan hal itu, padahal secara finansial agak terdukung alih-alih mencari tambahan. Justru orang seperti ini membuatku bertanya-tanya, mengapa ada yang seperti ini.

Hal ini yang membuat aku gelisah setiap harinya, apakah pemberitaan aku tidak melanggar kode etik, apakah aku sudah melakukan kesalahan. Aku semakin gelisah setiap harinya ternyata aku menemukan teman dengan kegelisahan yang sama, dan di sisi lain ada yang terlampau nyaman.

Aku berdoa pada Tuhan, sekali ini saja, jauhilah aku dari sepotong Amplop dan cukupkan aku. Aku berdoa pada Tuhan jauhilah aku dari sifat ahli gebuk. Aku percaya menulis adalah menelanjangi diri. Dan aku berdoa pada Tuhan. Ampunilah.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//