MAHASISWA BERSUARA: Menukas Politik Identitas, Kritik pada Partai Politik dan Pemuka Agama
Mengatasi persoalan politik identitas agama bukanlah hal yang mudah mengingat pluralismenya masyarakat Indonesia, tetapi bukan berarti itu mustahil untuk dilakukan.
Eky Zupaldry
Mahasiswa Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta
21 Maret 2023
BandungBergerak.id – Politik identitas adalah permasalahan lama yang saat ini masih ada di Indonesia. Persoalan ini perlu menjadi perhatian kita bersama, apalagi mengingat pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang yang makin dekat.
Tak dapat dimungkiri, keberadaan masyarakat Indonesia dengan segala kemajemukannya menjadikan persoalan identitas (khususnya agama) sebagai sebuah isu yang “seksi” untuk “digoreng” demi mewujudkan ambisi politis. Akibatnya, masyarakat saling berselisih serta memberi label-label negatif satu sama lain, sehingga perpecahan tak dapat dihindari. Sementara itu, pasangan calon (Paslon) dari Partai Politik (Parpol) yang memanfaatkan isu tersebut menjadi pihak utama yang diuntungkan. Oleh karena itu, sangat penting untuk meninjau sudah sejauh apa kesadaran Paslon dalam menyikapi politik identitas agama tersebut.
Tak perlu diragukan lagi, mencari suara menggunakan isu agama dengan negatif sejatinya malah menciderai integritas partai. Di samping itu, perlu juga dipertimbangkan mengenai peran para pemuka agama. Upaya-upaya mereka dalam menyosialisasikan Pemilu bebas politik identitas agama kepada umat agamanya masing-masing mesti dipertanyakan. Kritik terhadap kedua institusi ini bersifat esensial, sebab keduanya merupakan perwakilan dari dua bidang yang menjadi topik permasalahan ini. Parpol mewakili “politik” dan “agama” diwakili oleh para pemuka agama.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mengulas Budaya Menyalahkan Korban yang Mengakar dalam Masyarakat
MAHASISWA BERSUARA: Subsidi Kendaraan Listrik hanya Memindahkan Polusi
MAHASISWA BERSUARA: Indeks Persepsi Korupsi dan Politik Demokrasi Indonesia yang Terkartelisasi
MAHASISWA BERSUARA: Menggugat Menara Gading
Politik Identitas Agama: Siapa yang Berselisih?
Dalam perhelatan Pemilu di Indonesia, tercatat terjadi beberapa peristiwa perselisihan yang ditimbulkan oleh politik identitas agama. Biasanya perselisihan ini bisa terjadi dalam dua bentuk kasus. Pertama, perselisihan bisa terjadi antarumat beragama yang berbeda. Hal ini dipicu karena masing-masing umat beragama memilih Paslon yang seagama dengannya. Misalnya, umat Nasrani memilih Paslon yang beragama Kristen dan umat Muslim memilih Paslon yang beragama Islam. Akibatnya terjadi perselisihan di antara pemilih yang berbeda agama tersebut.
Kedua, perselisihan bisa terjadi antarpemeluk agama yang sama. Di antara pemeluk agama tersebut terdapat pemilih yang memilih Paslon di luar agamanya. Misalnya, ada umat Muslim yang lebih memilih Paslon beragama Kristen, meskipun ada Paslon lain yang beragama Islam. Hal ini kemudian menjadi sebuah perselisihan yang dikait-kaitkan dengan agama.
Kita dapat melihat contoh konkretnya pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) provinsi DKI Jakarta tahun 2017 yang lalu (Affan, 2017). Perselisihan juga bisa terjadi meskipun para Paslon dalam sebuah Pemilu menganut agama yang sama. Hal ini tampak misalnya dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2019 yang ditandai dengan munculnya narasi “partai setan vs. partai Allah” (Ardipandanto, 2020).
Politik identitas agama tidak hanya identik dengan sebuah agama tertentu saja. Dalam kontestasi Pemilu, pemenangnya adalah Paslon yang berhasil meraih suara terbanyak dari kelompok masyarakat mayoritas.
Mengingat konteks Indonesia yang mayoritas warga negaranya adalah Muslim, maka wajar saja jika kita lebih mudah menemukan narasi politik identitas agama yang dikaitkan dengan Islam. Oleh karena itu, perlu kita pahami bahwa pola-pola yang diterapkan dalam politik identitas agama bukan berarti semata-mata demi atau hendak memajukan suatu agama tertentu.
Mungkin para pemilih merasa bahwa mereka sedang membela agamanya. Namun, bagi mereka yang dengan sengaja menggaet para pemilik suara dengan isu ini, kepentingannya murni bersifat politis, yakni untuk mendapatkan suara saja atau kepentingan pribadi lainnya. Sementara itu, agama hanya digunakan sebagai alat untuk menjustifikasi tindakan mereka. Agama dikait-kaitkan sedemikian rupa, sehingga seolah-olah mengabsolutkan kebenaran bahwa memilih Paslon yang berbeda agama adalah haram. Masyarakat ditakut-takuti agar tidak memilih Paslon yang berbeda agama dengan mencomot ayat-ayat kitab suci. Selain itu, tampak pula bahwa bahasa religius juga bermain dalam hal ini.
Upaya Mengatasi Persoalan Politik Identitas Agama
Mengatasi persoalan politik identitas agama bukanlah hal yang mudah mengingat pluralismenya masyarakat Indonesia, tetapi bukan berarti itu mustahil untuk dilakukan. Pertama-tama, mari kita lihat dari perspektif para Paslon itu sendiri.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pemenang Pemilu adalah Paslon yang berhasil meraih suara terbanyak dari kelompok masyarakat mayoritas. Namun, berpikir bahwa cara terbaik untuk mendapat suara dari kelompok masyarakat mayoritas ialah dengan menggunakan isu agama merupakan sikap apriori.
Kemenangan Hendrata Thes-Zulfahri Abdullah pada Pilkada kabupaten Kepulauan Sula tahun 2015 menjadi salah satu contoh yang mencelikkan mata. Paslon ini berhasil tampil sebagai pemenang, meskipun Hendrata Thes berasal dari agama, bahkan etnis minoritas di sana. Mereka menggunakan beragam strategi yang akhirnya berbuah manis (Pora et al., 2021). Para Paslon di Pemilu pada masa-masa yang akan datang bisa berkaca dari sini dan membuat strategi sendiri. Mereka tidak sendiri, ada Parpol dan tim sukses yang mendukung. Pada intinya, meraih suara kelompok mayoritas itu bicara soal memikat dengan visi, misi, dan program yang rasional, alih-alih menggunakan isu agama dengan cara yang negatif.
Selanjutnya, mari menganalisis dari perspektif para pemuka agama. Teori Otoritas dan Legitimasi dari Max Weber menyatakan bahwa setiap pemimpin memiliki otoritas tradisional, karismatik, dan legal-rasional (Wrong, 2003). Hal ini juga berlaku pada pemuka agama.
Para pemuka agama punya potensi untuk menggerakkan hati umat agamanya agar memilih Paslon tertentu. Oleh sebab itu, integritas mereka diuji. Para pemuka agama harus benar-benar bersih dari unsur mencari keuntungan pribadi lewat kontestasi Pemilu. Anjuran untuk menggunakan hak suara dalam Pemilu adalah baik adanya. Namun, anjuran untuk memilih Paslon tertentu patut dihindari. Para pemuka agama tidak melulu harus menunggu ajakan kerja sama, tetapi juga bisa “menjemput bola” dengan menggandeng pemerintah untuk melakukan sosialisasi terkait hal ini.
Narasi yang dikembangkan mestinya agama mendukung politik bersih. Mereka juga harus mengkonseptualkan bahwa sebuah kehidupan bernegara yang layak terjadi bukan karena pemimpin negara tersebut menganut agama mayoritas. Kualitas dari seorang pemimpin dilihat dari caranya memimpin bukan dari kuantitas umat yang menganut agama yang sama dengannya.
Penutup
Politik identitas agama hanya akan mengakibatkan perpecahan. Kita telah melihat bahwa ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan. Mereka yang diuntungkan akan menikmati hasil dari permainan kotornya tersebut. Sementara yang tersisa di tengah-tengah masyarakat sebagai pihak yang dirugikan hanyalah persoalan belaka.
Perpecahan ini tidak hanya terjadi di dalam kalangan pemilih dengan agama yang berbeda, tetapi juga terjadi pada kalangan dengan agama yang sama. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya-upaya konkret dalam menyelesaikannya, khususnya oleh Paslon Parpol dan para pemuka agama itu sendiri. Keduanya adalah kunci untuk mengatasi permasalahan politik identitas di negara kita ini, bahkan bisa jadi tidak hanya soal agama, tetapi juga identitas lainnya.
Hidup sebagai bangsa Indonesia harusnya sejalan dengan tindakan yang mencerminkan cita-cita persatuan di tengah-tengah perbedaan. Politik menjalankan pemerintahan dan agama punya peran signifikan dalam konteks masyarakat Indonesia mengenai persatuan itu Agama mengajarkan perdamaian dan politik merupakan salah satu wujud nyata dari pengejawantahannya dalam berbangsa dan bernegara.