• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Indeks Persepsi Korupsi dan Politik Demokrasi Indonesia yang Terkartelisasi

MAHASISWA BERSUARA: Indeks Persepsi Korupsi dan Politik Demokrasi Indonesia yang Terkartelisasi

Tatkala praktik kejahatan korupsi tersinyalir dari sebuah sistem politik demokrasi yang terkartelisasi adalah menguatnya kecenderungan “autocratic legalism”.

Muchamad Dicky Rachmawan

Mahasiswa Hukum Tata Negara (Siyasah) Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Peserta demonstrasi mengusung spanduk penolakan perpanjangan masa jabatan presiden di Bandung, tahun 2021. Mereka menuntut Pemilu 2024 tetap digelar. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

18 Maret 2023


BandungBergerak.id – Di penghujung tahun 2022, Transparansi Intenasional mengumumkan Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi/IPK) Indonesia berada di peringkat 110 dari 180 negara dengan nilai 34. Hasil yang bisa dibilang cukup buruk dan menegaskan pada kita bahwa komitmen atas penegakan hukum terhadap korupsi dan tata kelola pemerintahan bergerak pada suatu dimensi yang terus mengarah pada kemunduran. Hal tersebut mencirikan bahwa sistem politik kita belum mampu membendung upaya-upaya predatoris politik dalam melakukan praktik terselubung atas kejahatan memperkaya akumulasi privat. Tentunya, praktik tersebut tidak bisa dilepaskan dari inherennya jabatan serta peluang seorang predatoris politik. Dalam hal ini konsepsi yang kemudian timbul adalah praktik korupsi pasti sejalan dengan surplus kekuasaan.

Dalam konteks demokrasi, partai sebagai sebuah institusi politik berperan sangat dominan dalam mendistribusi sumber daya manusia untuk mengisi sektor strategis dalam penyelenggaraan negara, dalam hal ini jabatan-jabatan di ranah eksekutif maupun legislatif. Jabatan sebagai sarana dalam melakukan praktik korupsi dalam suatu amatan politik kartel merupakan sebuah hal yang sangat penting dalam melakukan perburuan rente (rent seeking) dengan tujuan meraup semaksimal mungkin dana nonbujeter. Adalah sebuah kecenderungan pula bahwa terjadinya praktik korupsi pada sektor strategis yang berhubungan dengan penyelenggaraan negara dilakukan bukan hanya oleh aktor perseorangan, semisal praktik pembukuan fiktif atau bermain-main pada suatu tender proyek.

Amatan yang mungkin bersifat restriktif tersebut ternyata berasal dari berbagai macam variabel. Dalam konteks sistem politik demokrasi, hal tersebut ternyata memiliki kesalingterhubungan antara praktik korupsi dan demokrasi yang dijalankan oleh suatu negara khususnya Indonesia. Para analis politik Indonesia berkonsepsi bahwa penyelenggaraan demokrasi hari ini digambarkan dalam satu fenomena yang disebut “delegative democracy”, bahwa demokrasi hidup di tengah lemahnya checks and balance.

Absennya oposisi setelah pemilu dengan ditandainya rekonsiliasi dua kubu yang sebelumnya bertarung dalam ranah elektoral politik telah menegaskan regresinya konsolidasi demokrasi dan secara sinis mengonsepsikan bahwa praktik atas kejahatan menghisap uang negara secara beramai-ramai baik secara legal maupun ilegal dilakukan oleh para elit politik tersebut, yang kemudian berimplikasi pada indeks persepsi korupsi negara kita. Tulisan ini berupaya menganalisis masalah dan relasi atas indeks persepsi korupsi dengan sistem politik demokrasi yang terkartelisasi dalam konstelasi penyelengaraan Indonesia.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Menggugat Menara Gading
MAHASISWA BERSUARA: Relevansi Pemikiran Soedjatmoko sebagai Gerbang Awal Berkelanjutan Merdeka Belajar
MAHASISWA BERSUARA: “Petani Tulang Punggung Bangsa”
MAHASISWA BERSUARA: Pentas Seni Baru itu Bernama Sistem Pendidikan

Paradigma Kartel

Telah disinggung di awal bahwa suatu praktik korupsi ditandai dengan surplusnya kekuasaan atau inherennya jabatan dalam seorang diri predatoris politik. Dan kemudian juga partai politik, sebagai sebuah institusi dalam sistem demokrasi berperan dalam mendistribusikan sumber daya manusia untuk ditempatkan pada berbagai sektor kekuasaan. Gagasan yang coba dikembangkan menjadi anasir penting terkait hal tersebut dalam sebuah iklim demokrasi secara logika sederhananya adalah jika semua partai diakomodir dan berperan dalam menjalankan kehidupan negara, maka keberadaan subjek untuk mengontrol pemerintahan yang sah menjadi sebuah hal yang niscaya tak berarti sama sekali.

Fakta politik yang secara teoritis tergambar dalam penyelenggaraan negara berikut partai sebagai instrumen penting demokrasi kita hari ini termuat dalam suatu paradigma kartel yang dikembangkan dengan lima argumentasi utama, yakni : pengabaian terhadap ideologi, sikap permisif dalam pembentukan koalisi, tiadanya oposisi, hasil pemilu hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai, dan kecenderungan partai bertindak secara kolektif. Semua berpusar seakan pada urusan bagaimana distribusi keuntungan politik dan –sangat mungkin— ekonomi dapat dibuat adil dan merata.

Lokus kajian yang amat kontras terlihat dalam gelanggang eksekutif dan legislatif. Distribusi keuntungan soal jabatan-jabatan baik jabatan menteri di tingkat eksekutif hingga jabatan-jabatan di tingkat legislatif baik itu menyangkut jabatan ketua, wakil ketua, ketua komisi hingga wakil ketua komisi merupakan hal yang sangat strategis untuk mencari perburuan rente atas praktik kejahatan korupsi. Agaknya, sebutan soal komisi kering hingga komisi basah menjadi suatu hal yang mungkin menyehari pernah kita dengar yang tentunya tak bisa dilepaskan dalam sebuah praktik korupsi

Mengembalikan Oposisi Kredibel, Sebuah Upaya  

Sebuah upaya untuk mengurangi praktik korupsi menjadi sebuah kealpaan besar dalam penyelenggaraan negara kita hari ini. Upaya tersebut pada akhirnya bermuara pada sebuah prinsip bahwa persaingan dalam suatu sistem politik (kepartaian) akan menentukan kualitas dan prospek terhadap konsolidasi demokrasi dan kejahatan korupsi. Walaupun pada dasarnya keterlibatan rakyat sebagai subjek dalam partisipasi politik merupakan sebuah hal yang sangat niscaya dalam upaya mengontrol pemerintahan yang sah sebagaimana prinsipil yang diutarakan oleh beberapa teoretikus demokrasi, namun peninjauan atas fakta politik dalam lokus naluri kejahatan juga menjadi amatan yang sangat penting jika upaya pengontrolan secara lebih kredibel akan lebih terlihat oleh pihak oposisi.

Kealpaan yang mungkin sangat besar tatkala praktik kejahatan korupsi tersinyalir dari sebuah sistem politik demokrasi yang terkartelisasi adalah menguatnya suatu kecenderungan atas konsep autocratic legalism. Di mana, upaya-upaya penyerangan serta penggembosan supremasi hukum dilakukan oleh para penguasa dengan perencanaan pelemahan terhadap instrumen hukum yang kemudian terlihat benar sesuai berjalannya hukum, namun ternyata berupaya merusak secara institusional. Hal ini bisa kita tenggarai salah satunya dalam praktik perevisian Undang-Undang KPK yang mendapat perhatian besar publik soal bagaimana penggembosan atas institusi yang ditujukan untuk mencegah korupsi politik dan politik korupsi dilakukan dengan memanfaatkan instrumen dan prosedur hukum.

Sebuah upaya untuk kembali meningkatkan indeks persepsi korupsi pada taraf yang lebih baik perlu untuk dilakukan dengan menanggulangi sistem politik demokrasi yang terkartelisasi dengan sebuah upaya yaitu menciptakan oposisi yang kredibel baik pada persaingan secara ketat partai politik hingga pada ranah eksekutif dan legislatif dalam penyelenggaraan negara serta penyadaran atas paradigma politik lewat berbagai dimensi segi kerakyatan

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//