• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Pentas Seni Baru itu Bernama Sistem Pendidikan

MAHASISWA BERSUARA: Pentas Seni Baru itu Bernama Sistem Pendidikan

Sejarah menunjukkan bongkar pasang sistem kurikulum pendidikan di Indonesia karena beragam faktor kepentingan. Diracuni kajian subyektif politisi atau pemerintah.

Heribertus Solosumantro

Mahasiswa Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero Flores NTT

Hari pertama sekolah di SD inklusi, SDN Puteraco Indah, Bandung, Senin (18/7/2022). Pendidikan yang baik adalah yang mampu memfasilitasi semua bakat dan potensi masing-masing murid, tanpa diskriminasi. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

14 Maret 2023


BandungBergerak.id – Dunia pendidikan di Indonesia saat ini sedang tidak biasa-biasa saja. Dunia pendidikan sedang mementaskan seni yang memerankan sistem sebagai aktor protagonis  dan sekaligus antagonis. Sistem pendidikan menjadi kajian yang terus menerus diapresiasi, dikritik, dan disarankan untuk selalu ditinjau kembali. Sistem sebagai dasar suatu kehidupan manusia yang sistematis juga membutuhkan konsistensi penggunaan sehingga ia dapat menghasilkan dirinya yang berkualitas di mata publik. Oleh karena itu, membaca “pentas seni baru” dalam sistem pendidikan adalah peluang yang tidak sekali jadi.

Terdapat dua problem urgen yang menarik perhatian masyarakat dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini. Pertama, problem skandal “Perjokian karya ilmiah di kalangan akademisi” (Kompas.id 10/02/2023). Kaum akademisi telah memainkan sebuah sistem yang mengeruk dasar kekayaan dari pendidikan itu sendiri, yakni membaca dan menulis. Mereka lupa bahwa sistem pendidikan dunia yang maju tidak pernah tanpa dunia literasi membaca dan menulis yang memadai. Bahkan mereka juga lupa bahwa kajian sistem teknologi yang berperan di belakang skandal itu, seperti ChatGPT adalah kualitas literasi individual dan kolektif yang memiliki keterkaitan pola dengan sistem pendidikan itu sendiri. Kepekaan mereka yang memiliki minat literasi terhadap kajian teknologi yang sistematis lebih tinggi dibandingkan sistem pendidikan yang menghasilkan suatu sumber pendidikan seluruh aspek. Mengutip Budi Hardiman (Budi Hardiman, 2021), peralihan kehidupan manusia sebagai homo sapiens menuju homo digital  turut mendegradasi nilai pendidikan kemanusiaan yang universal di Indonesia.

Kedua, kebijakan Gubernur NTT yang memberlakukan kegiatan persekolahan yang dimulai pada pukul 05.00 pagi (Floresa 28/02/2023). Problem kebijakan sistem pendidikan ini dilihat tidak mempertimbangkan dan memperhatikan aspek-aspek lainnya dengan kajian ilmiah yang sistematis. Kebijakan ini justru menyudutkan pelajar dalam suatu pandangan bahwa pendidikan itu sebagai suatu kajian yang subyektif, dan bukan objektif. Oleh karena itu, sistem pendidikan yang dijadikan dasar adalah sistem pendidikan yang menyentuh dirinya sendiri dan aspek lain yang memiliki keterikatan dengan sistem itu sendiri.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Selubung Operasi Kapitalisme dalam Wacana Pemindahan Ibu Kota Negara
MAHASISWA BERSUARA: Ketika Filologi Menimbang Kota, Sastra Tumbuh Dengan Makna
MAHASISWA BERSUARA: Mencermati Dua Wajah “Garda Demokrasi” di Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Mendorong Partisipasi Bermakna Masyarakat dalam Pembentukan Undang-undang

Sistem Pendidikan Bongkar-Pasang

Perkembangan peradaban yang semakin maju dalam kehidupan manusia sama sekali tidak berarti bahwa peradaban lama ditanggalkan, peradaban baru menjadi sistem baru. Pandangan itu hemat saya hanya ada dalam kajian kapitalisme Karl Max yang menyentuh ranah ekonomi masyarakat dunia. Pertimbangan untung rugi tentu saja melibatkan produktivitas sistem ekonomi yang merancang atau menghasilkan suatu program demi keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dalam sistem pendidikan, suatu proses pembelajaran bertujuan mencerdaskan seluruh anak bangsa serta sekaligus menyejahterakan kualitas kemanusiaan itu sendiri. Proses keberlangsungan sistem pendidikan itu berprinsip pada suatu pola kesetaraan dan pemerataan, bukan kalkusi untung rugi sebagaimana dalam penerapan ekonomi. Dan inilah model praktik sistem pendidikan di Indonesia. Manusia Indonesia menyelewengkan makna dan tujuan pendidikan tanpa sebuah pemahaman yang sistematis bahwa sistem pendidikan dan sistem ekonomi adalah dua sistem yang berdiri sendiri. Hal ini tentu terlepas dari adanya relasi timbal balik yang menopang pertumbuhan kualitas keduanya, seperti sarana dan prasarana.

Menoleh sejarah sistem kurikulum pendidikan di Indonesia, terdapat beragam pola yang dapat dikatakan “bongkar-pasang” karena beragam faktor kepentingan yang mengikutinya. Pertama, Kurikulum 1947 yang dibuat dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Di dalam kurikulum itu, pemerintah mencoba merancang sistem pembelajaran bagi para pelajar di masa revolusi dengan menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia merdeka, berdaulat, dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini. Kedua, Kurikulum 1964 (Rentjana Pendidikan 1964) yang dirancang dengan tujuan memupuk pengetahuan akademik pada jenjang sekolah dasar. Sistem pendidikan ini menitikberatkan konsep pembelajaran pada pengembangan moral, kecerdasan, emosional atau artistik, keterampilan, dan jasmani atau disebut Pancawardhana.

Ketiga, Kurikulum 1968 sebagai sistem pendidikan yang mengatur setelah pergantian rezim pemerintahan dari Orde Lama kepada Orde Baru, tepatnya tiga tahun setelah peristiwa 30 September 1965. Tujuan utama kurikulum itu adalah untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Hal ini dipengaruhi oleh sistem politik orde lama dalam rezim Soekarno. Keempat, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004. Kurikulum itu menitikberatkan pada kompetensi tiga unsur pokok, yaitu pemilihan kompetensi sesuai spesifikasi, indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi, dan pengembangan pembelajaran bagi peserta didik dan tenaga pengajar.

Pergantian model sistem pendidikan yang berlaku terus menerus tidak terlepas dari tinjauan para politisi atau pun elite pemerintahan. Sebagaimana yang ditinjau dalam tulisan ini, sistem pendidikan telah menelurkan sebuah gagasan bahwa sistem pendidikan di Indonesia telah diracuni oleh kajian subyektif para politisi atau pemerintah yang mengatur. Bongkar pasang kepentingan tentu amat bertentangan dengan UU RI saat ini, sebab satu tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sistem Pendidikan di Era Digital

Budi Hardiman dalam bukunya Aku Klik Maka Aku Ada Manusia dalam Revolusi Digital memaparkan sebuah konsep demokrasi yang telah dijamah oleh kecanggihan dunia teknologi. Keberhasilan teknologi menguasai hampir seluruh sistem kehidupan manusia melanggengkan suatu diskriminasi tak langsung terhadap sistem pendidikan yang telah berlangsung sejak dahulu kala.

Kehadiran teknologi yang menggantikan sistem pendidikan yang berbasiskan kajian logis, sistematis dan rasional kepada sistem digital yang serba instan turut mendegradasi esensi sistem pendidikan itu sendiri. Semisalnya, kehadiran kurikulum K13 dan Merdeka Belajar yang berbasis sistem digital pada saat ini amat sangat menurunkan kualitas prinsip rasionalitas dalam dunia pendidikan. Sistem belajar yang berakar pada copy-paste, bergantung pada joki karangan, serta kebijakan atas realitas pengalaman yang berakar pada pengembangan konsep belajar adalah suatu problem pentas seni sistem pendidikan yang semestinya dievaluasi.

Evaluasi terhadap sistem pendidikan yang ditawarkan dalam problem ini tidak berarti mengganti secara menyeluruh sistem pendidikan digital sebagai temuan baru yang produktif. Pemerintah, elite politisi dan khususnya para menteri yang mengambil kebijakan tidak seharusnya mengadakan evaluasi yang menghasilkan perombakan secara menyeluruh. Evaluasi yang dimaksud adalah menakar kembali sistem pendidikan yang telah dipraktikkan demi sebuah hasil atau penyempurnaan yang mumpuni. Dengan evaluasi dan takaran yang seimbang, sistem pendidikan yang dilakonkan tidak hanya bersifat melengkapi atau menyempurnakan, melainkan juga mematahkan konsep yang bergantung pada teknologi digital seutuhnya. Dengan itu, praktik “joki karangan ilmiah” dan “kebijakan sekolah pukul 05.00 pagi” adalah suatu catatan evaluasi yang perlu disempurnakan sistemnya, bukan diganti dengan suatu pentas seni sistem pendidikan tanpa pernah adanya suatu kajian teoritis atau kajian ilmiah yang mewakilinya.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//