MAHASISWA BERSUARA: Mencermati Dua Wajah “Garda Demokrasi” di Indonesia
Kekuasaan yudikatif seharusnya diposisikan sebagai pagar besi untuk menjaga kaidah-kaidah pelaksanaan demokrasi oleh cabang kekuasaan lainnya.
Dhien Favian A
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabya
11 Maret 2023
BandungBergerak.id – Tepat pada tanggal 13 Februari 2023 lalu, publik dikejutkan dengan penjatuhan vonis hukuman mati kepada Ferdy Sambo atas kasus pembunuhan Brigadir Yosua. Dan hukuman yang dijatuhkan kepada Sambo ini menjadi “kemenangan” bagi publik beserta kuasa hukum korban yang menghendaki keadilan dalam pengusutan kasus tersebut. Vonis ini dijatuhkan oleh Hakim Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Wahyu Iman Santoso sebagai hukuman atas perbuatan Ferdy Sambo yang menjadi dalang dari pembunuhan Yosua dan vonis ini jauh lebih berat dari tuntutan jaksa yang menghendaki penjara seumur hidup dikarenakan beberapa pertimbangan, seperti tidak kooperatif terhadap pihak pengadilan hingga pernyataannya berbelit-belit.
Tidak hanya pada Ferdy Sambo yang dijatuhi vonis lebih berat dari tuntutan jaksa, dalam persidangan kemarin para terdakwa lainnya seperti Putri Candrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf mendapatkan nasib yang sama dengan masing-masing hukuman yang dijatuhkan oleh majelis hakim berkisar pada 20 tahun penjara, 15 tahun penjara, dan 13 tahun penjara. Masing-masing vonis ini juga lebih berat dari tuntutan jaksa dengan pertimbangan bahwa mereka juga sama terlibatnya dengan Ferdy Sambo untuk menutupi kebenaran akan kasus pembunuhan ini.
Hal yang berbeda justru diterima oleh Richard Eliezer dalam persidangan ini. Eliezer yang menjadi eksekutor dalam kasus pembunuhan ini justru mendapatkan vonis yang lebih ringan dari terdakwa lainnya yaitu hanya penjara 1 tahun 6 bulan, bahkan lebih ringan dari tuntutan 12 tahun yang dijatuhkan kepadanya. Pertimbangan yang digunakan oleh hakim untuk memvonis Eliezer lebih ringan ialah statusnya sebagai justice collaborator (JC). Eliezer telah bersikap kooperatif dalam membongkar kasus tersebut sejak persidangan dimulai, dan sebagaimana statusnya sebagai JC yang dikabulkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), maka Eliezer mendapatkan vonis yang ringan atas kejujurannya selama persidangan. Vonis tersebut sekaligus menjadi berkah tersendiri buat Eliezer yang hampir mendapat hukuman lebih berat.
Penjatuhan vonis Eliezer dalam kasus Brigadir Yosua ini disambut baik oleh masyarakat karena telah memberikan asa terhadap pemulihan keadilan hukum di Indonesia. Persidangan ini juga menampilkan kebijaksanaan hakim dalam mengadili kasus pembunuhan ini yang akan menjadi “lembaran baru” bagi penegakan hukum yang lebih adil.
Namun belum lama setelah penyelesaian kasus pembunuhan Yosua di PN Jakarta Selatan, publik kembali disajikan berita “menyebalkan” mengenai penegakan hukum. Berita tersebut merujuk pada dua institusi utama dalam kekuasaan kehakiman kita, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Kedua institusi ini berperan sebagai percabangan dari kekuasaan yudikatif, di mana teori separation of powers milik Montesquieu menyebutkan bahwa kekuasaan yudikatif berwenang untuk menyelenggarakan pengadilan yang independen. Kedua instansi ini dibentuk sebagai upaya untuk memastikan pelaksanaan demokrasi dan penegakan hukum berjalan sesuai dengan kehendak rakyat akan demokratisasi yang sempurna. Yang terjadi justru kedua institusi tersebut saat ini digerogoti oleh “mafia hukum” dengan terungkapnya kasus dugaan suap perkara hukum serta dugaan penyelewengan pengadilan di dalam tubuh lembaga yudikatif ini. Keberadaan mafia ini jelas mencoreng kredibilitas lembaga yudikatif sebagai perwujudan kekuasaan kehakiman yang seharusnya mampu menegak hukum secara adil dan akuntabel.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mendorong Partisipasi Bermakna Masyarakat dalam Pembentukan Undang-undang
MAHASISWA BERSUARA: Moral Pelajar, Urusan Siapa?
MAHASISWA BERSUARA: Konsepsi Merdeka Pada Program Magang Merdeka hanya Ilusi?
MAHASISWA BERSUARA: Mungkinkah Memulihkan Citra Baik Pemerintah?
Kasus yang Mencoreng Wajah Peradilan
Kasus dugaan suap bermula dari operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penanganan perkara yang melibatkan Hakim Agung Agung Gazalba Saleh dan Sudrajad Dimyati. Kasus bermula dari dugaan pemberian suap oleh KSP Intidana sebesar Rp 800 juta untuk memenangkan KSP Intidana dalam perkara kepailitan koperasi tersebut yang tengah ditangani Mahkamah Agung. Suap yang bergulir sejak Desember 2022 ini tidak diberikan langsung kepada dua Hakim Agung tersebut, melainkan melalui perantara beberapa anggota PNS Kepaniteraan Mahkamah Agung. KPK telah menangkap para tersangka yang terlibat dalam suap perkara ini, dan serangkaian penahanan masih berlangsung untuk mengusut tuntas suap ini. Kasus dugaan suap tersebut secara otomatis telah melecehkan martabat Mahkamah Agung.
Tidak hanya Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi juga menghadapi permasalahan yang sama dengan pelaporan sembilan Hakim Konstitusi atas dugaan kasus pemalsuan putusan pemecatan Aswanto. Kasus ini diawali dengan munculnya perubahan substansial dalam putusan pemecatan Aswanto dari pernyataan “dengan demikian” menjadi “ke depannya” dan perubahan ini disinyalir melibatkan semua Hakim Konstitusi untuk memberikan keabsahan akan pergantian hakim Mahkamah Konstitusi yang dapat dilakukan semena-mena oleh DPR dan pemerintah. Pemecatan Aswanto oleh DPR menuai polemik sejak awal dikarenakan DPR geram akan keputusan Aswanto untuk menolak UU Cipta Kerja dan keputusan ini pada gilirannya juga didukung dengan pemalsuan surat pemecatan Aswanto oleh Hakim Konstitusi demi mendukung keputusan tersebut. Alhasil, sembilan hakim Mahkamah Konstitusi dilaporkan kepada Polda Metro Jaya atas kasus dugaan pemalsuan putusan tersebut. Dan Zico selaku pelapor mendesak pendirian Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi untuk mengawal kasus pemalsuan sampai tuntas.
Kedua kasus yang terjadi di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi tersebut menunjukkan bahwa lembaga yudikatif sebagai “benteng terakhir” demokrasi Indonesia pada kenyataannya mulai dibajak oleh kekuatan anti demokrasi yang ingin mengooptasi mereka ke dalam kekuasaan pemerintah saat ini. Dan serangan tersebut justru dilakukan dari dalam yang melibatkan hakim sendiri.
Persidangan kasus Brigadir Yosua memang memberikan “harapan baru” akan integritas penegak hukum dalam menghadirkan keadilan bagi masyarakat dan sekaligus menegakkan negara hukum untuk konsolidasi demokrasi di Indonesia pasca era Reformasi. Namun pada saat yang sama, kedua mahkamah kita justru dirongrong habis oleh mereka yang tergabung dalam oligarki rezim untuk membuat kedua instansi ini memuaskan kepentingan mereka sendiri.
Sebagaimana yang diketahui, kekuasaan yudikatif seharusnya diposisikan sebagai “pagar besi” yang berwenang dalam menjaga kaidah-kaidah pelaksanaan demokrasi oleh cabang kekuasaan lainnya dan kekuasaan ini juga berhak melakukan tugasnya secara independen supaya keputusan hukum yang dihasilkan hanya berlandaskan pada supremasi hukum dan demokrasi substansial. Pada konteks Indonesia, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi berperan besar untuk mengamankan demokrasi melalui instrumen legal yang berkeadilan serta penguatan kapasitas sumber daya manusia di kedua lembaga tersebut untuk menjamin independensi mereka.
Kekuasaan Yudikatif sebagai Benteng Demokrasi
Seiring dengan arus balik otoritarian yang semakin menguat di era Jokowi, maka tanggung jawab kedua instansi ini semakin berat untuk mempertahankan keseimbangan aturan main demokrasi antara petahana dengan oposisi melalui penegakan hukum tanpa pandang bulu, menolak penyusunan undang-undang yang inkonstitusional, dan lain sebagainya. Ironisnya, kedua lembaga yang menjadi “wakil Tuhan” justru dibajak melalui kasus yang tidak seharusnya terjadi dan pembajakan ini jelas didukung oleh oligarki untuk melancarkan agenda jangka panjang mereka.
Kasus ini menjadi bukti adanya judicial corruption yang sudah menggejala di level Mahkamah Agung, di mana korupsi peradilan jauh lebih merusak karena korupsi ini akan menggerogoti penegakan hukum suatu negara. Dan korupsi peradilan sering kali terjadi dalam pengurusan suatu perkara oleh Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung sekalipun. Judicial corruption pada kasus ini bukan saja karena moral hakim yang buruk, melainkan ada upaya sistematis dari PNS dalam lingkungan Mahkamah Agung untuk mendelegitimasi lembaga tersebut supaya dapat “dibeli” oleh siapa saja terutama oleh pihak yang berkuasa ketika tersandung kasus tertentu.
Tidak hanya itu, dengan membajaknya dari “dalam” bukan tidak mungkin Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi hanya akan menindak pihak-pihak yang berseberangan dengan pemerintah serta memperkuat status quo oligarki dalam memutuskan kebijakan sesuka hatinya. Oleh karena itulah, menjaga marwah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai “penjaga demokrasi” harus dilakukan secara komprehensif oleh berbagai aktor, baik dari pemerintah hingga masyarakat sipil.
Dengan posisi kita sebagai masyarakat sipil, maka upaya yang bisa dilakukan untuk mempertahankan integritas dua lembaga yudikatif tersebut tertuju pada konsolidasi organ masyarakat serta tekanan publik yang masif kepada pemerintah. Konsolidasi organ diarahkan pada penguatan setiap elemen untuk memaksimalkan aksi ketidaksepakatan politik seperti demonstrasi dan boikot dan integrasi semua elemen ini dapat menjadi kekuatan besar untuk menekan pemerintah supaya tetap menjaga tingkah laku mereka dari otokrasi yang berlebihan, sehingga independensi yudikatif mampu bertahan sembari menjaga arah demokrasi Indonesia.