MAHASISWA BERSUARA: Konsepsi Merdeka Pada Program Magang Merdeka hanya Ilusi?
Program kampus merdeka digadang-gadang menjadi inovasi dan kreativitas perguruan tinggi, sayangnya tidak semulus realitanya. Menggeser fungsi perguruan tinggi.
Azmi Mahatmanti
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
8 Maret 2023
BandungBergerak.id – Kampus merdeka menjadi terobosan kebijakan baru di dunia pendidikan Indonesia di bawah kepemimpinan Mas Menteri Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia. Program kampus merdeka memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar program studi selama 1 semester dan berkegiatan di luar perguruan tinggi selama 2 semester.
Sampai kapan kebijakan ini bertahan? Tidak tahu, karena sering kali kebijakan pendidikan kita berubah seiring dengan perubahan struktural pemerintahan negaranya, ironi pendidikan di negeri ini.
Kebijakan kampus merdeka digadang-gadang menjadi inovasi dan kreativitas perguruan tinggi, namun sayangnya hal itu tidak semulus realitanya. Banyak sistem perguruan tinggi di Indonesia yang belum siap match up dengan kebijakan kampus merdeka. Hal tersebut menjadi persoalan yang kerap dirasakan mahasiswa selaku sasaran utama dari program tersebut.
Dua program yang menjadi sorotan peminat terbanyak yaitu Program Kampus Mengajar dan Program Magang Bersertifikat. Tidak tanggung-tanggung, laman KemendikbudRistek merilis informasi data kuantitatif peserta Program Kampus Mengajar angkatan 5 tahun 2023 sebanyak 43.121 mahasiswa sedangkan Program Magang Bersertifikat dan Studi Independen (MSIB) pada tahun 2022 sebanyak 27.952 mahasiswa, bukan angka yang sedikit.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mungkinkah Memulihkan Citra Baik Pemerintah?
MAHASISWA BERSUARA: Tantangan Membangun Kota Bandung
MAHASISWA BERSUARA: Nasib Dokter Umum di Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Situasi Kebebasan Berpendapat di Indonesia yang Mengkhawatirkan
Rupa-rupa Persoalan Program Magang Merdeka
Tingginya animo mahasiswa mengikuti program kampus merdeka sejalan dengan tingginya kegamangan yang dihadapi. Pasalnya, kerap kali konversi SKS yang seharusnya didapatkan dari peserta program tidak didapatkan. Banyak pihak kampus yang belum siap menjalani regulasi ini karena dinilai tidak selaras dengan capaian kompetensi pada kurikulum pembelajarannya sehingga banyak pihak yang menolak jika mahasiswa yang menjadi peserta kegiatan tidak mengikuti mata kuliah yang menunjang bidang keilmuan yang diikuti karena pada dasarnya ketika lulus mahasiswa menyandang gelar sesuai dengan keilmuan yang diambil. Untuk itu pihak kampus pastinya menjadi penentu dan bertanggung jawab penuh atas kompetensi yang dikuasai. Dalam hal ini menurut saya kampus mengambil langkah yang tepat.
Sayangnya hal itu tidak sejalan dengan cita-cita KemendikbudRistek yang mendesain kebijakan kampus merdeka menjadi pembelajaran yang otonom dan fleksibel, karena banyak perguruan tinggi yang belum siap menerapkan kebijakan ini. Sehingga banyak mahasiswa yang tetap mengikuti mata kuliah dan menjadi peserta program magang ataupun program kampus mengajar.
Bukan hanya persoalan konversi SKS yang dari awal kebijakan ini berjalan belum terlihat adanya keselarasan pada sistem perguruan tinggi. Persoalan mengenai overwork juga kerap dialami para peserta magang. Rentetan tugas yang tertera di awal MOU PKM (Perjanjian Kerja Magang) ataupun pada laman kampus merdeka nyatanya tidak dituliskan dengan detail. Gambaran semula dari role yang dipilih nyatanya sirna ditampar realita. Banyak tugas yang diterima oleh peserta tidak sesuai dengan yang dijelaskan dan kontraknya tidak mengatur jam kerja per hari.
Tidak Adanya Regulasi Yang Spesifik Pada Program Magang
Menilik kegamangan yang terjadi pada program magang tidak lepas dari landasan hukum yang mendasari program ini ternyata belum cukup kuat. Sembilan regulasi yang mendasari pelaksanaan program kebijakan ini tidak ada regulasi yang spesifik membahas pekerja magang. Hal tersebut membuat program magang menjadi rentan dari kecelakaan kerja. Sudah menjadi pemberitaan di banyak media korban program magang yang mendapat tindakan kurang menyenangkan di tempat kerjanya, dari mulai jam kerja berlebih, beban kerja yang di luar kontrak sampai tindak pelecehan seksual. Beginikah gambaran kemerdekaan dari konsep merdeka belajar?
Peserta magang yang bekerja pada korporasi pastinya menjalani pekerjaan yang sejalan dengan kebijakan korporasi tersebut pada kesehariannya. Namun status peserta magang yang berasal dari program kampus merdeka inilah menjadi tidak jelas karena tidak ada regulasi spesifik sehingga rentan perlindungan di tempat kerja. KemendikbudRistek menjaring perusahaan nasional sampai multinasional untuk menjadi mitra program magang. Lalu mahasiswa mendaftar pada laman kampus merdeka untuk membidik perusahaan yang diminati. Namun regulasi yang mengatur perlindungan peserta magang tidak diatur di KemendikbudRistek. Jadi ini Program Magang Merdeka atau Outsourching??
Tidak bisa dinafikan bahwa program kampus merdeka menjanjikan banyak hal, seperti keterampilan dan kompetensi untuk menghadapi perubahan sosial, budaya, dunia kerja dan kemajuan teknologi. Selain itu peserta program mendapatkan konversi SKS dan uang saku setiap bulannya sehingga menjadi hal wajar ketika animo mahasiswa begitu tinggi, termasuk saya sebagai peserta program magang bersertifikat batch 1.
Saat itu motif saya mengikuti program magang bersertifikat karena ingin belajar hal baru dan ingin mengetahui secara langsung seperti apa dunia edu tech yang menjadi kemasan pendidikan era globalisasi. Benefit uang saku yang didapatkan setiap bulan juga menjadi hal yang menjanjikan, sebab bisa membantu membayar biaya pendidikan di perguruan tinggi, yang kita ketahui bersama bahwa pendidikan tinggi masih menjadi barang elit pasalnya hanya bisa dinikmati oleh mereka yang punya banyak duit.
Jadi orang seperti saya tentu perlu usaha lebih untuk bisa menuntut ilmu di pendidikan tinggi. Konsepsi pendidikan untuk semua hanya sebuah konsep yang tidak pernah menyentuh realitas, guys!
Kemana Arah Pendidikan Kita?
Kembali lagi ke persoalan program magang kampus merdeka, yang sedikit banyak menunjukkan adanya pergeseran dari peran utama perguruan tinggi. Sebab sebagian besar program kampus merdeka dirancang untuk mempersiapkan lulusan perguruan tinggi agar segera masuk bursa tenaga kerja di berbagai sektor industri. Seakan sirna peran dan fungsi perguruan tinggi yang tertulis dalam UU RI Nomor 12 Tahun 2012, bahwa fungsi dan peran perguruan tinggi adalah menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, wadah pendidikan bagi calon pemimpin bangsa serta wadah pembelajaran bagi mahasiswa dan masyarakat.
Sementara dalam program ini, ada peran industri. Padahal peran perusahaan dalam industri adalah untuk meningkatkan nilai pemegang saham melalui persaingan di pasar lokal, nasional atau global. Hal ini jelas sangat bertolak belakang.
Soal kebutuhan industri untuk menunjang penghidupan ekonomi memang tidak bisa dibantahkan, karena kita semua adalah salah satu bagian dari kemiskinan yang sistemik. Terlepas dari itu, hemat saya seharusnya Tri Dharma Perguruan Tinggi tetap harus didahulukan, karena jika terus melulu mengikuti industri, kampus hanya akan menjadi agen – agen kapitalis yang jauh dari misi kemanusiaan. Lebih jauh lagi, mungkin ini hanya pikiran pendek saya bahwa ketika perusahaan terlibat dalam urusan akademik, bisa saja lambat laun desain pendidikan kita menyaring pengetahuan mana yang cocok untuk kepentingan industri dan mana yang akan menghambat kepentingannya.
Pak Menteri hanya berorientasi pada wacana “pendidikan tinggi harus bisa adaptif dengan cara mengikuti arus perubahan dan kebutuhan akan link and match dengan industri” lantas ke mana esensi kemerdekaan berpikir kritis sebagai manusia? Apakah pendidikan kini bukan lagi menjadi alat pembebasan manusia?