• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Situasi Kebebasan Berpendapat di Indonesia yang Mengkhawatirkan

MAHASISWA BERSUARA: Situasi Kebebasan Berpendapat di Indonesia yang Mengkhawatirkan

Kritik yang berujung kriminalisasi pada aktivis dan kalangan sipil lainnya mempengaruhi indeks kebebasan berpendapat di Indonesia.

Arman Ramadhan

Mahasiswa IISIP Jakarta

Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti. (Sumber: amnesty.id)

4 Maret 2023


BandungBergerak.id – Salah satu kemewahan yang dimiliki warga negara dalam negara demokratis adalah kebebasan dalam berpendapat. Dan, dari kebebasan itulah yang membuat kita dapat menilai dan membedakan negara mana yang demokratis dan yang otoriter. Indonesia sendiri sudah merasakan berada dalam sistem pemerintahan yang otoriter di masa Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Soeharto.

Di bawah pemimpin bertangan besi tersebut, ruang-ruang kebebasan masyarakat sipil dibatasi. Di era tersebut, pers wajib memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP dengan segenap aturannya yang harus dipatuhi untuk pekerja media. Bila ada media atau jurnalis yang mengkritik kebijakan penguasa, maka media itu akan dibredel dengan cara mencabut SIUPP tersebut. Lalu, di sektor kehidupan kampus, terdapat kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Keorganisasian atau NKK/BKK yang menjauhkan atau mengerdilkan peran dan partisipasi mahasiswa dalam kehidupan politik negara.

Hingga akhirnya setelah berkuasa selama puluhan tahun, pemerintahan otoriter Orba dilengserkan oleh gerakan mahasiswa dan elemen masyarakat sipil lainnya pada tahun1998. Jatuhnya kekuasaan Orba dan dimulainya era reformasi memberikan angin segar bagi masyarakat, yakni kebebasan. Segala aturan yang mengekang kebebasan berekspresi dihapus. Reformasi 1998 memberikan harapan dan optimisme bagi kelompok pro demokrasi untuk menciptakan Indonesia yang lebih demokratis.

Indonesia yang lebih menghargai dan menjunjung nilai-nilai hak asasi manusia. Dan, dalam hal ini termasuk kebebasan berpendapat yang juga dijamin oleh UUD 1945. Namun, dalam beberapa kasus masih banyak ditemukan orang yang dikriminalisasi karena melontarkan kritik dengan dalih melakukan pencemaran nama baik.

Bahkan, sebagian besar yang menjadi pelapor dalam kasus pencemaran nama baik adalah pejabat negara. Sedangkan, individu atau kelompok yang paling banyak dijerat oleh pasal tersebut adalah aktivis dan jurnalis. Suatu ironi dan tanda bahaya dalam alam demokrasi Indonesia saat ini.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Menyoal Iklim yang Pelik
MAHASISWA BERSUARA: Quo Vadis Kesejahteraan Ilmuwan Diaspora
MAHASISWA BERSUARA: Siapa itu Mahasiswa?
MAHASISWA BERSUARA: Sebuah Sayembara Esai, Sebuah Ajakan Terlibat

Obral Somasi di Negara Demokrasi

Dalam beberapa tahun belakangan, istilah somasi menjadi salah satu istilah yang paling banyak digunakan atau dibicarakan, khususnya di media sosial. Istilah itu pula yang ampuh menumbuhkan rasa takut dan waswas kepada masyarakat saat ingin melakukan kritik atau koreksi terhadap sesuatu atau kebijakan yang merugikan mereka. Kasus terakhir yang ramai dibicarakan sampai saat ini ialah kasus aktivis HAM Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti yang mendapatkan somasi dari seorang pejabat negara.

Kasus itu berawal dari diskusi yang ditayangkan di kanal Youtube milik Haris Azhar yang melakukan diskusi dengan Fatia  mengenai laporan hasil riset relasi ekonomi militer di Papua yang menyebut sejumlah nama “orang-orang penting”. Dan, salah satu pejabat yang namanya disebutkan dalam konten Youtube tersebut tidak terima dan merasa nama baiknya telah dicemarkan. Alhasil, Haris dan Fatia dilaporkan dan kemudian ditetapkan menjadi tersangka oleh kepolisian.

Penetapan status tersangka kepada kedua aktivis tersebut menuai kecaman dan protes dari berbagai pihak. Banyak aksi solidaritas terhadap Haris-Fatia yang menjadi korban kriminalisasi. Kasus Hariz-Fatia merupakan salah satu contoh nyata yang membuktikan bahwa situasi kebebasan berpendapat di Indonesia terancam dan kian mengkhawatirkan. Mengapa demikian?

Seperti yang diketahui bahwa diskusi yang terjadi antara Haris dengan Fatia dalam kanal Youtube tersebut merupakan laporan hasil riset yang disusun dan diterbitkan bersama oleh sembilan LSM. Jadi, apa yang sebenarnya disampaikan oleh Haris dan Fatia merupakan sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan, ilmiah, dan bukan berdasarkan atas ketidaksukaan personal semata.

Lalu, Haris dan Fatia dilaporkan karena dianggap melakukan pencemaran nama baik berdasarkan pasal 27 Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa pejabat negara menggunakan pasal tersebut untuk membungkam orang-orang yang kritis terhadap kekuasaan. Dan, pasal tersebut memang sering digunakan oleh pejabat negara untuk menyasar individu atau kelompok tertentu. Data yang dikeluarkan oleh Safenet menguatkan.

Data dari Safenet menyatakan bahwa sejak 2021, korban yang paling banyak menjadi korban UU ITE salah satunya adalah aktivis. Dan, ironisnya yang paling banyak menggunakan UU ITE adalah pejabat negara. Jadi, ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat dibatasi dengan UU tersebut. Pejabat negara menggunakan pasal pencemaran nama baik sebagai upaya “pertahanan diri” dari kritik-kritik yang dilontarkan masyarakat.

Sementara itu, maraknya kasus kriminalisasi pada aktivis dan kalangan sipil lainnya mempengaruhi indeks kebebasan berpendapat di Indonesia. Seperti data yang disampaikan oleh SETARA Institute dan INFID (2022), situasi kebebasan berekspresi dan berpendapat selalu mendapatkan nilai atau skor yang paling rendah. Ini menandakan bahwa upaya dalam memberikan perlindungan dan jaminan dalam menyatakan pendapat masih jauh dari apa yang diharapkan oleh publik.

Melihat kenyataan-kenyataan yang ada tentu kondisi demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya ideal. Selain itu, banyaknya kriminalisasi terhadap orang-orang yang menyatakan pendapatnya bertentangan dengan nilai-nilai HAM dan tak sesuai dengan amanat konstitusi negara.

Kritik = Ujaran Kebencian?

Beberapa waktu belakangan, terdapat beberapa upaya untuk membajak atau memberangus demokrasi di Indonesia. Dimulai dari wacana perpanjangan masa jabatan presiden, pelemahan KPK, hingga maraknya kriminalisasi dan intimidasi terhadap orang-orang yang mengkritik pejabat negara. Teranyar, disahkannya UU KUHP yang memuat pasal-pasal yang dapat membelenggu kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Dalam beberapa kasus, sepertinya pejabat negara tidak mampu membedakan mana kritikan dan mana ujaran kebencian. Semua orang sepakat bahwa ujaran kebencian dan fitnah merupakan hal yang salah, keliru, dan membahayakan. Oleh karena itu, perbuatan semacam itu harus ditindak secara tegas. Akan tetapi, menyamaratakan kritik dengan ujaran kebencian dan fitnah merupakan pandangan yang keliru dan salah kaprah.

Lalu, pejabat negara yang suka melaporkan orang-orang dengan pasal pencemaran nama baik merupakan keputusan dan langkah yang juga berlebihan dan keliru. Hal ini dikarenakan dalam pasal 310 ayat (3) KUHP dan surat keputusan bersama perihal dugaan tindak pidana dalam UU ITE poin (c) untuk pasal 27 ayat 3 yang menyatakan bahwa bukan bagian dari pencemaran nama baik bila yang disampaikan menyangkut hasil riset, kajian, evaluasi demi kepentingan publik.

Jadi, jangan sampai hanya karena tak tahan dengan kritik, para pejabat menggunakan kuasanya untuk mengambil tindakan-tindakan yang dapat mengurangi kualitas kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Di samping watak pejabat negara, aturan atau UU yang mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat seharusnya direvisi dengan melibatkan masyarakat. Dalam negara demokrasi, warga negara berhak menyampaikan isi pikiran dan pendapatnya tanpa perlu diikut rasa takut.

Menciptakan iklim demokrasi yang sehat dan ideal tidak cukup hanya dengan jargon atau sekadar retorika politik belaka, melainkan diperlukan komitmen yang serius dan nyata. Ke depannya, tidak boleh ada lagi pejabat negara yang melakukan kriminalisasi kepada orang-orang yang melakukan kritik. Perlu diketahui, kritik merupakan bentuk kepedulian dan bagian dari partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi tercapainya perbaikan.

Namun, dengan melihat kenyataan-kenyataan yang ada saat ini, apakah mungkin di masa mendatang indeks kebebasan berpendapat atau kehidupan demokrasi dapat berada pada titik yang jauh lebih baik? Atau, justru semakin banyak aturan-aturan yang semakin membatasi kebebasan berpendapat? 

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//