• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Quo Vadis Kesejahteraan Ilmuwan Diaspora

MAHASISWA BERSUARA: Quo Vadis Kesejahteraan Ilmuwan Diaspora

Pemerintah perlu memperhatikan kesejahteraan ilmuwan diaspora sebagai salah satu aset penting dalam pembangunan riset dan inovasi di Indonesia.

Dito Anurogo

Mahasiswa S3 di Taipei Medical University Taiwan, Wakil Ketua Komisi Kesehatan Ditlitka PPI Dunia

Petugas kesehatan mengoperasikan peralatan di Laborarorium PCR milik RSUD Bandung Kiwari di Kota Bandung, Jawa Barat, 11 Januari 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

2 Maret 2023


BandungBergerak.id – Data terbaru dari Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) pada Oktober 2021 menyebutkan bahwa terdapat sekitar 11.000 ilmuwan diaspora yang telah kembali ke Indonesia. Namun, jumlah ini terus berubah karena masih ada ilmuwan diaspora yang sedang proses kepulangan ke Indonesia.

Berdasarkan laporan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Indonesia kekurangan sekitar 33.000 ilmuwan dan teknisi, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Kekurangan tersebut dapat berdampak pada kemajuan teknologi dan inovasi di Indonesia. Oleh karena itu, kembalinya para ilmuwan diaspora ke Indonesia menjadi kunci penting dalam mengisi kekosongan tersebut.

Indonesia memiliki banyak ilmuwan yang memiliki prestasi, kompetensi, serta kualifikasi yang luar biasa, namun banyak dari mereka memilih untuk bekerja di luar negeri dan memilih tidak kembali ke Indonesia. Beberapa di antara mereka yang pulang ke Indonesia sering kali menghadapi berbagai tantangan, seperti kesulitan untuk menemukan pekerjaan dan kurangnya dukungan dari pemerintah.

Hal ini sangat disayangkan karena Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan keahlian dan pengalaman para ilmuwan diaspora untuk memajukan riset dan inovasi di Indonesia. Pemerintah perlu memberikan motivasi dan fasilitas yang memadai agar para ilmuwan Diaspora merasa dihargai dan diuntungkan jika kembali ke Indonesia.

Terinspirasi dari Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif Dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah, serta Peraturan Presiden (Perpres) Nomor: 76 Tahun 2017 tentang Fasilitas Bagi Masyarakat Indonesia di Luar Negeri, maka pemerintah diharapkan dapat merumuskan kebijakan tertulis untuk memberikan insentif berupa berbagai fasilitas dan penghargaan bagi ilmuwan diaspora yang kembali ke Indonesia dan berkontribusi dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.

Namun, kebijakan ini telah menuai kritik dari berbagai pihak. Ada beberapa masalah yang perlu diatasi dalam implementasi kebijakan ini.

Pertama, kebijakan ini mungkin hanya akan menarik kembali sebagian kecil dari ilmuwan diaspora yang ada di luar negeri. Banyak ilmuwan diaspora yang telah memiliki koneksi dan karier yang mapan di luar negeri dan mungkin tidak tertarik untuk kembali ke Indonesia, terutama jika kondisi di Indonesia kurang menjanjikan.

Kedua, masih belum jelas bagaimana pemerintah akan memastikan kesejahteraan para ilmuwan yang pulang ke Indonesia. Adakah program pengembangan karier yang jelas? Adakah dukungan keuangan atau insentif lainnya yang akan diberikan kepada mereka? Apakah mereka akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan ilmuwan yang sudah ada di Indonesia? Bagaimana pula nasib keluarga dan masa depan mereka?

Ketiga, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini mungkin hanya akan menguntungkan ilmuwan yang memiliki koneksi atau hubungan dengan pemerintah. Hal ini berpotensi membuat kebijakan ini belum adil dan kurang transparan.

Keempat, meskipun program ini bertujuan untuk membangun kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, namun masih belum jelas bagaimana pemerintah akan mengukur parameter atau indikator keberhasilannya. Apakah program ini hanya sekadar menarik ilmuwan Diaspora untuk kembali ke Indonesia, atau apakah ada upaya konkret untuk mengembangkan sumber daya manusia dan membangun kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia?

Kelima, ada kekhawatiran bahwa program ini mungkin tidak memperhatikan ilmuwan yang sudah ada di Indonesia. Ada banyak ilmuwan di Indonesia yang bekerja keras dan memiliki prestasi yang luar biasa, namun sering kali kurang mendapat dukungan dan pengakuan dari pemerintah.

Selain itu, upaya pemerintah dalam mendukung kesejahteraan ilmuwan diaspora masih terfokus pada penelitian dan pengembangan di sektor tertentu seperti energi, pangan, dan kesehatan. Padahal, ilmuwan Diaspora juga memiliki keahlian dan pengalaman yang bermanfaat di berbagai sektor,  seperti teknologi informasi, industri kreatif, ekonomi hijau, dan lain sebagainya.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Siapa itu Mahasiswa?
MAHASISWA BERSUARA: Sebuah Sayembara Esai, Sebuah Ajakan Terlibat
ESAI TERPILIH JANUARI 2023: Mengkritik Perpu Cipta Kerja, Mengenang Djuanda Kartawidjadja
Menjelang Pemilu 2024, Pemilih Muda Bersuara

Saran untuk Pemerintah

Dalam rangka mengatasi beberapa masalah di atas, pemerintah perlu memperhatikan beberapa hal dalam implementasi kebijakan ini. Pertama, pemerintah perlu menyediakan program pengembangan karier yang jelas dan insentif yang menarik bagi ilmuwan diaspora yang pulang ke Indonesia. Ini termasuk dukungan keuangan, fasilitas riset, akses ke jaringan akademik dan industri, dan dukungan lainnya yang diperlukan, seperti kesejahteraan bagi keluarga ilmuwan diaspora.

Kedua, pemerintah harus memastikan bahwa program ini tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu, namun harus adil dan transparan. Program ini seharusnya dapat diakses oleh semua ilmuwan diaspora yang ingin kembali ke Indonesia, tidak hanya yang memiliki hubungan politik atau kepentingan khusus dengan pemerintah. Transparansi dalam seleksi calon penerima program juga penting untuk memastikan bahwa tidak ada kecurangan atau nepotisme dalam proses seleksi. Pemerintah harus memastikan bahwa calon penerima program dipilih berdasarkan kualitas dan potensi kontribusinya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.

Selain itu, pemerintah harus memberikan dukungan yang memadai bagi ilmuwan diaspora yang telah kembali ke Indonesia. Dukungan ini dapat berupa akses ke infrastruktur penelitian, dana riset, dan jaringan kolaborasi dengan ilmuwan di Indonesia maupun di luar negeri. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa para ilmuwan diaspora yang telah kembali mendapatkan gaji, fasilitas, kesejahteraan, serta jaminan hari tua yang sebanding dengan rekan-rekan mereka di luar negeri.

Terakhir, pemerintah juga harus memberikan jaminan keamanan, kolaborasi, dan stabilitas pengembangan riset bagi ilmuwan diaspora yang telah kembali ke Indonesia. Hal ini penting karena beberapa ilmuwan diaspora telah mengalami intimidasi, teror, atau “kebiri intelektual” setelah kembali ke Indonesia. Pemerintah harus memastikan bahwa hak-hak ilmuwan diaspora dipenuhi dan bahwa mereka dapat bekerja dengan aman dan tenang tanpa takut akan ancaman atau gangguan dari pihak lain.

Tidak hanya itu, pemerintah perlu mendorong terciptanya ekosistem inovasi yang inklusif, yang tidak hanya melibatkan ilmuwan diaspora, tetapi juga pelaku industri, investor, stakeholder, pembuat kebijakan, dan masyarakat umum. Ekosistem inovasi yang inklusif akan menciptakan peluang kolaborasi dan transfer pengetahuan yang menguntungkan semua pihak.

Secara keseluruhan, kebijakan pemerintah dalam kesejahteraan ilmuwan Diaspora yang kembali ke Indonesia perlu diarahkan untuk pengembangan ekosistem riset yang kondusif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Hal ini dapat dicapai melalui kebijakan yang adil dan transparan, dukungan yang memadai, dan jaminan keamanan dan stabilitas bagi para ilmuwan diaspora. Jika dikelola dengan baik, program ini dapat menjadi kunci penting dalam mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia serta memperkuat posisi Indonesia di tingkat global.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//