• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Mungkinkah Memulihkan Citra Baik Pemerintah?

MAHASISWA BERSUARA: Mungkinkah Memulihkan Citra Baik Pemerintah?

Narasi keengganan membayar pajak sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah akan membawa dampak buruk bagi pengelolaan negara.

Faisal Nasirul Haq

Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mahasiswi membawa poster saat aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Selasa (21/4/2022). Mahasiswa menuntut pemerintah untuk segera membatalkan kenaikan harga BBM dan pengendalian naiknya harga-harga kebutuhan pokok. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

7 Maret 2023


BandungBergerak.id – Belakangan ini publik ramai dengan aksi arogansi berujung kekerasan yang dilakukan oleh anak dari salah satu pejabat pemerintah. Sangat disayangkan peristiwa amoral tersebut oleh sejumlah pengamat dan ahli menyebut disebabkan salah satu faktornya dari gaya hidup. Gaya hidup yang bermewah-mewah, gemar pamer kekayaan, dan sebagainya sehingga terbit kesombongan. Oleh karena ramai dibahasnya peristiwa tersebut oleh masyarakat, kemudian ditemukan sejumlah keganjilan-keganjilan di sekitar peristiwa tersebut yang kemudian mendorong patutnya diduga untuk memeriksa harta kekayaan dari oknum pejabat tersebut sebagai indikasi daripada adanya tindak pidana korupsi, kolusi dan atau bahkan nepotisme.

Sedikit mengutip pemikiran Jeremy Bentham dalam pemikiran hukum aliran utilitarianisme bahwasanya segala yang membawa kepada kemudahan hidup akan dipandang sebagai kebaikan, sedangkan segala yang menyusahkan, memayahkan hidup manusia akan dipandang sebagai keburukan bahkan kejahatan. Maka tidak heran apabila masyarakat melihat keluarga dari pejabat yang dipercayai untuk mengelola keuangan negara, yang mana tidak lain di antaranya juga berasal dari rakyatnya sendiri ini sampai berperilaku yang menyimpangi sekaligus mencederai nilai dan norma yang ada dan hidup di masyarakat. Terlebih lagi dengan tidak memperhatikan rasa keprihatinan rakyat kelas bawah yang hidupnya disibukkan untuk bertahan hidup setiap harinya ini pun harus menghadapi kenyataan yang teramat pedih dan menyesakkan. Sebagai dampaknya, narasi-narasi enggan untuk membayar pajak kepada negara pun bergema di segala lapisan masyarakat sebagai bentuk dari kekecewaan dan atas terkikisnya rasa percaya kepada pemerintah.

Narasi keengganan membayar pajak sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah tentu akan membawa dampak buruk bagi pengelolaan negara secara umum. Berkurangnya pendapatan negara berarti terhambat dan mundurnya kemajuan-kemajuan negara yang semestinya bisa tercapai lebih cepat. Bahkan, dampak buruk tersebut dapat berbalik kepada masyarakat sendiri baik dalam bentuk pengurangan daya bantuan pemerintah, program-program pemberdayaan yang tidak lagi dapat terlaksana, bahkan hingga fasilitas dan akses seperti jalan atau trotoar yang rusak namun tidak mampu untuk diperbaiki. Sehingga pada situasi seperti ini rawan akan mengakibatkan deadlock bila diteruskan. Oleh karenanya tidak ada jalan lain untuk menutup-nutupi, tidak ada alternatif lain untuk memanipulasi, hanya kebijakan dan penindakan tegas yang harus cepat dilakukan pemerintah guna mengembalikan dan mempertahankan kepercayaan masyarakat demi stabilitas dan keberlangsungan negara yang luar biasa ini.

Dalam hal bersama-sama pemerintah dan masyarakat demi mengembalikan martabat yang telah ternodai oleh segelintir oknum inilah timbul peran strategis dari kalangan masyarakat Islam dalam upayanya. Pertama, dari sisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan dengan mengingat bahwa mayoritas dari masyarakat Indonesia saat ini adalah beragama Islam, (dengan tetap menghormati eksistensi umat beragama lainnya) umat Islam memiliki mekanisme zakat sebagai “pajak sosial” dari kalangan kaya dan kalangan yang berkecukupan kepada kalangan yang membutuhkan. Sistem zakat ini setidaknya sudah berjalan 14 abad lamanya dan terbukti efektif serta berdampak langsung kepada golongan masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Serupa dengan konsep pemanfaatan pajak negara, zakat bagi umat Islam terhitung sebagai ibadah yang berdampak luas terhadap kehidupan lingkungan sosial masyarakat dan dilaksanakan dengan terorganisir lagi transparan. Oleh karenanya pemerintah membuatkan wadah pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Dari hadirnya pengaturan tersebut akan dapat membawa kebermanfaatan lebih dengan tidak mengenakan beban ganda antara pajak negara dan zakat, sekaligus mendorong masyarakat Islam untuk taat beragama dan sekaligus menunaikan kewajibannya sebagai warga negara.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Tantangan Membangun Kota Bandung
MAHASISWA BERSUARA: Nasib Dokter Umum di Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Situasi Kebebasan Berpendapat di Indonesia yang Mengkhawatirkan
MAHASISWA BERSUARA: Menyoal Iklim yang Pelik

Penegakan Hukum

Kedua, dari sisi penegakan hukum. Berbicara mengenai restorasi martabat yang tercoreng akibat sebuah kesewenang-wenangan oleh oknum dalam pemerintah ini tentu tidak bisa keluar dari pembicaraan hukum sebagai alat rekayasa sosial. Roscoe Pound mengungkapkan bahwa “law is a tool of social engineering and social control.” Oleh karenanya hukum harus diposisikan sebagai alat pengatur tata hidup yang memberikan batas-batas perilaku antara baik dan buruk, antara benar dan salah.

Namun bila berbicara mengenai penegakan hukum belakangan ini agaknya masih terkekang dalam asas yang populer di masyarakat sebagai hukum yang tajam ke bawah lagi tumpul ke atas. Oleh karena sebab itulah penegakan hukum harus tidak berada pada ruang yang hampa. Hukum harus meresapi dan mendengarkan rasa keadilan dari masyarakat luas. Hal ini mengingat adagium “vox populi, vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan) merupakan frasa yang sesuai dalam konteks negara hukum yang demokratis. Oleh karenanya dalam konfigurasi negara hukum demokratis, masyarakat sebagai sekumpulan rakyat merupakan elemen fundamental dari negara. Sebab dari rakyatlah mandat negara itu ada dalam wujud konstitusi, dan daripadanya negara memiliki wewenang untuk mengatur tata hidup seluruh yang diwenangkan kepadanya.

Masyarakat memiliki peran penting dalam turut serta melakukan pengawasan terhadap pemerintah selaku organisasi yang diberi wewenang oleh rakyat. Pada masyarakat Islam terdapat prinsip social control yang mendukung fungsi pengawasan tersebut antara lain tertuang dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 104: “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi masyarakat Islam, baik di dalam struktur pemerintahan maupun di luar sebagai oposisi atau bahkan sebagai rakyat biasa untuk turut memberikan kontribusinya dalam mengawasi kerja pemerintah. Hal ini tentu saja sekaligus menjaga nilai-nilai keadilan yang hidup yang perlu dirawat eksistensinya di masyarakat. Ini diperkuat dengan adanya hadis Nabi Muhammad S.A.W. yang menyebutkan bahwa “Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” Dari hadits tersebut jelas sudah bahwasanya masyarakat Islam tidak akan mungkin pura-pura tidak tahu, terlebih lagi membela kemungkaran atau kejahatan di sekitar mereka. Sebab dalam prinsipnya, masyarakat Islam memiliki “undang-undang” yang kuat tertanam pada alam spiritualnya. Sehingga ketika ada suatu penyelewengan yang diyakini sebagai sebuah perbuatan menyimpang norma dan rasa keadilan, maka ia akan bertindak untuk mencegah, menghentikan, dan menindaknya dengan segala kemampuan yang ia miliki. Serta kemudian mengawalnya sesuai dengan koridor kebangsaan sebagai bangsa yang beradab dan berketuhanan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//