• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Mendorong Partisipasi Bermakna Masyarakat dalam Pembentukan Undang-undang

MAHASISWA BERSUARA: Mendorong Partisipasi Bermakna Masyarakat dalam Pembentukan Undang-undang

DPR harus membuka ruang yang luas bagi rakyat untuk berpartisipasi secara bermakna dalam pembentukan undang-undang mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi.

Jessica Cornelia Ivanny

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak

Buruh dari serikat pekerja KASBI saat aksi unjuk rasa di Bandung, Jawa Barat, 14 Oktober 2021. KASBI terus mendesak pemerintah untuk membatalkan omnibus law dan aturan-aturan yang merugikan buruh dalam aksi yang juga digelar sebagai bagian dari peringatan berdirinya Federasi Serikat Buruh Dunia atau World Federation of Trade Unions. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

10 Maret 2023


BandungBergerak.id – Pada hari Kamis, tanggal 4 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengabulkan permohonan pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dengan menyatakan pembentukannya cacat formil. Putusan MK ini sontak membawa angin segar mengingat sejak awal kelahiran Rancangan Undang-Undang (RUU) Ciptaker dalam 248 Program Legislasi Nasional Jangka Menengah tahun 2020-2024, memang tidak pernah disambut ramah oleh mayoritas elemen masyarakat.

Dalam ratio decidendi-nya, MK menyatakan bahwa pembentukan UU Ciptaker melalui metode omnibus law telah menimbulkan ketidakjelasan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar dalam pembentukan undang-undang sehingga bertentangan dengan ketentuan teknik pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan atau UU P3 (sebelum keberadaan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU 12/2011 yang mengakomodir metode omnibus law). MK juga mengamini dalil para pemohon bahwa telah terjadi perubahan materi muatan RUU Ciptaker secara substansial pasca persetujuan DPR bersama presiden yang bersifat teknis penulisan dan salah dalam pengutipan. Selain itu, pembentukan UU Ciptaker juga dinilai bertentangan dengan ketentuan Pasal 22A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a, huruf e, huruf f dan huruf g UU P3.

Berangkat dari pertimbangan-pertimbangan tersebut, Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 kemudian melihat dan menekankan pentingnya partisipasi bermakna (meaningful participation) oleh masyarakat dalam pembentukan UU. MK menjelaskan, meaningful participation dibutuhkan untuk mewujudkan partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh, yang dalam pelaksanaannya, setidaknya harus memenuhi tiga prasyarat, yakni hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Perluasan makna partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU juga diperkuat melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XIX/2021. Jika dikomparasikan dengan UU P3 (terbaru tahun 2022) yang pada Pasal 96 tidak menyebut frasa “bermakna” dalam partisipasi masyarakat dan hanya menyebut masyarakat sebagai orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan RUU, maka Putusan MK Nomor 91/PUU-XIX/2021 dapat dikatakan lebih memberikan jaminan kepada masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna dalam pembentukan UU.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Moral Pelajar, Urusan Siapa?
MAHASISWA BERSUARA: Konsepsi Merdeka Pada Program Magang Merdeka hanya Ilusi?
MAHASISWA BERSUARA: Mungkinkah Memulihkan Citra Baik Pemerintah?
MAHASISWA BERSUARA: Tantangan Membangun Kota Bandung

Partisipasi Masyarakat

Melalui Putusan a quo, MK menegaskan keharusan meaningful participation dalam pembentukan UU dan memperluas subjeknya menjadi masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki concern. Artinya, MK memberikan kepastian bagi masyarakat yang menaruh perhatian terhadap suatu rancangan undang-undang untuk dapat berpartisipasi secara utuh dalam pembentukannya. Hal ini berangkat dari asumsi dasar bahwa pihak berkepentingan belum tentu secara aktif dan konsisten ingin terlibat, sementara pihak yang concern sudah pasti memiliki kemauan dan konsistensi untuk berpartisipasi lebih jauh dalam pembentukan UU.

Akan tetapi, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam beberapa tahun terakhir malah mengambil tindakan-tindakan yang bersifat kontraproduktif dengan semangat MK dalam menyalakan spirit demokrasi dan reformasi. Pemerintah Indonesia saat ini bahkan semakin terang memperlihatkan tanda-tanda autocratic legalism yang memanfaatkan demokrasi konstitusional untuk menuntaskan kepentingan mereka. Gejala ini tampak jelas ketika Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 tiba-tiba menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja di saat MK sebelumnya pada 25 November 2021 telah menyatakan secara tegas bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat.

Padahal, penerbitan Perppu tersebut tidak memenuhi satu pun standar objektif yang diatur dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Yakni: a) adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU; b) UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau sudah ada tapi tidak memadai; dan c) kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat UU sesuai prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan keadaan yang mendesak memerlukan kepastian untuk segera diselesaikan. Adanya alasan yang mendalilkan “keadaan pasca Covid-19” dan “ancaman ketidakpastian global” sebagai tameng untuk memaksakan pemberlakuan UU Ciptaker dirasa penulis tidak masuk akal di saat Indonesia sendiri sebenarnya tidak mengalami kebutuhan dan kekosongan hukum yang mendesak. Apalagi, poin-poin dalam Ciptaker yang menjadi substansi persoalan masih belum disentuh pemerintah, misalnya berkaitan dengan upah minimum, pekerja outsourcing, dan PKWT.

Praktik Autocratic Legalism

Dengan demikian, Pemerintah bersama DPR RI, demi melanggengkan praktik autocratic legalism, telah menerbitkan produk-produk hukum yang sejatinya bertentangan dengan cita-cita reformasi dan demokrasi yang diperjuangkan oleh MK melalui putusan-putusannya dan masyarakat Indonesia melalui aksi-aksi demonstrasinya. Pertama adalah ketika DPR yang diperintahkan oleh MK untuk memperbaiki UU Ciptaker dalam waktu dua tahun, malah bersekongkol dengan Presiden untuk menerbitkan Perppu Ciptaker yang setingkat dengan UU dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sementara substansinya sendiri masih bermasalah. Ini merupakan bentuk pembangkangan terhadap UUD 1945 dan sekaligus menunjukkan rasa tidak hormat pemerintah dan DPR terhadap MK dan putusan-putusannya, serta masyarakat Indonesia selaku pemegang kedaulatan tertinggi.

Kedua, DPR ketika memperbarui UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada tahun 2022 memilih untuk tetap tidak memperluas makna partisipasi dalam pembentukan UU menjadi meaningful participation dan tidak menjadikan pihak-pihak yang concern sebagai subjek yang terlibat dalam pembentukan UU sebagaimana telah ditegaskan terdahulu oleh MK dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan Putusan MK Nomor 91/PUU-XIX/2021. Sebaliknya, yang diakomodir Badan Legislasi dalam UU 13/2022 tersebut malah soal metode omnibus law demi menjawab keraguan dan ambiguitas terkait kepastian dan kejelasan penggunaan metode tersebut sebagai salah satu teknik pembentukan peraturan perundang-undangan. Artinya, meaningful participation belum dianggap demikian penting dan prioritas untuk dijadikan sebagai kerangka acuan bagi DPR dalam menyerap aspirasi dan suara rakyat selama proses pembentukan undang-undang. Padahal, diakomodirnya ketentuan terkait meaningful participation dapat meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia menjadi lebih sehat dan konstruktif.

Lantas, harus menunggu sampai kapan hingga partisipasi rakyat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan akan bermakna? Jerih payah masyarakat ketika menyuarakan aspirasi di bawah terik matahari dan rintik hujan, malah acapkali dibayar DPR dengan pengkhianatan. Barangkali, masyarakat mulai merasa hopeless dan meaningless. Ini tentu berbahaya dan menghambat proses akselerasi demokrasi yang diamanatkan reformasi. Untuk itu, sudah saatnya bagi DPR bersama Pemerintah membuka mata dan telinga lebar-lebar. Jangan hanya duduk di kursi kerja, menyeruput kopi hitam, berbincang-bercengkerama ala politisi dan menikmati fasilitas negara dalam ruangan ber-AC; atau sekadar mengikuti rapat hingga berjam-jam demi dicap sebagai “pihak yang paling merepresentasikan rakyat”.

Partisipasi Bermakna atau Meaningful Participation

Sebagaimana teori kedaulatan rakyat bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, maka Pemerintah bersama DPR sebagai pemegang legitimasi kekuasaan dari rakyat harus melaksanakan tugas, pokok, dan fungsinya seluas-luasnya untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan rakyat. DPR harus membuka ruang yang luas bagi rakyat untuk berpartisipasi secara bermakna dalam pembentukan UU dengan mengacu pada tiga prasyarat yang ditentukan oleh MK. Akan lebih baik jika DPR berinisiatif memasukkan ketentuan terkait meaningful participation ke dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai komitmen awal DPR memperbaiki kinerja dan citranya di depan publik.

Selain itu, sebagai bahan rekomendasi, hakim konstitusi Indonesia sepertinya dapat mengoptimalkan karakteristik judicial order seperti yang diimplementasikan Kementerian Kehakiman Federal Jerman dalam putusan-putusan yang menyatakan norma dari bagian UU bertentangan dengan Konstitusi dan batal demi hukum (null and void). Implikasi muatan dari “perintah” dalam judicial order yang bersifat implisit dalam putusan MK, DPR RI harus selalu memperbaiki norma yang telah dibatalkan.

Dengan demikian, MK akan dapat menjalankan perannya sebagai the guardian of constitutional. DPR pun akhirnya mau tidak mau, suka tidak suka, dituntut untuk lebih menghormati putusan MK dan Konstitusi. Jika demikian, bukan tidak mungkin partisipasi bermakna oleh masyarakat dalam pembentukan undang-undang sebagaimana dikehendaki MK pun akan lebih mudah dan cepat terealisasi.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//