MAHASISWA BERSUARA: Ketika Filologi Menimbang Kota, Sastra Tumbuh Dengan Makna
Kerja filologi merumuskan sejarah budaya kota (Bogor), berkelindan dengan kerja sastra yang hadir mengalir dengan muatan cerita yang mudah dijangkau serta dipahami.
Teguh Tri Fauzi
Pegiat Literasi di Kebun Akar Pohon
12 Maret 2023
BandungBergerak.id – Apakah kita mengenal sejarah-budaya kota kita? Atau sampai mana ingatan kita tentang Kota kelahiran kita sendiri? Apakah kerja filologi berhasil menyampaikan pada khalayak tentang nilai sejarah-budaya dalam kehidupan lampau (teks-naskah-kuno) tentang asal-mula Kota kita? Berhubungan dengan itu, bagaimana dengan kerja sastra kita? Berada di dalam, di luar, atau sebenarnya berdampingan dengan kerja filologi dalam merumuskan nilai (masa silam) agar dapat menempuh kehidupan saat ini?
Pertanyaan memicu saya mencari dan belajar menyusuri apa sebenarnya kerja filologi dalam laku kehidupan. Dan apakah kerja filologi berbeda dengan kerja sastra. Atau kerja filologi adalah kerja sastra itu sendiri. Namun mengapa pada perjalanan-perkembangan ilmu pengetahuannya, kedua studi ilmu tersebut saling membatasi: filologi senang berjalan sendiri dan sastra juga asyik berdiri sendiri.
Filologi sudah dipakai pada Abad ke-3 S.M oleh kelompok ahli bernama Alexsandria, yang kita ketahui menjadi cikal-bakal ahli-filologi. Mengenai perjalanannya, yang pertama memakainya adalah Erasthothenes (Reynolds, 1968:1 dalam Pengantar Filologi) saat mengkaji teks-naskah lama Yunani. Tentu, pengkajian mereka bertujuan mengemukakan bentuk asli dan tujuan si penulis mengenai suatu zaman dengan mendalami dan merumuskan makna dan muatan peristiwa di dalam naskah tersebut.
Di samping filologi merupakan suatu pengetahuan tentang naskah lama, filologi juga sebenarnya menyangkut sastra-sastra dalam arti mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan muatan kebudayaan. Di Indonesia sendiri dalam muatan sejarahnya dipengaruhi jejak Belanda, yang mana kerja filologi didasari sebagai suatu disiplin mengungkap makna teks dan naskah lama dalam sejarah dan kebudayaan. Sebagaimana teks yang menggunakan bahasa Indonesia serta bahasa daerah umumnya yang meliputi bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Aceh, dan sebagainya: seperti kita ketahui terdapat banyak peninggalan naskah-naskah dari daun lontar dan jenis lainnya dalam arsip peninggalan masa lampau.
Lebih mendalam, kerja filologi pada dasarnya saling berkelindan, maupun berdampingan dengan cabang ilmu lainnya, bukan hanya dengan ilmu arkeologi. Dengan langkah dan tujuan filologi merumuskan teks-naskah lama atau tradisional-kuno dalam menyunting pekerjaan naskah, filologi akan dibantu dan membantu cabang ilmu lainnya. Seperti filologi membantu ilmu sastra dalam penyediaan suntingan naskah lama guna dirumuskan oleh ilmu sastra dalam meninjau ulang kesejarahan dunia sastra dan perkembangannya. Sebaliknya kerja sastra akan membantu ilmu filologi dalam meramu ulang karya sastra lama, atau dalam hal lain memperbaharui cerita sebagai olahan kreatif pengkaryaannya. Menarik, bukan?
Tentunya masih banyak hubungan kerja-sama antara filologi dengan cabang ilmu lainnya, seperti kelindan filologi dengan filsafat, filologi dengan antropologi, agama, politik, dan bahkan psikologi-sosiologi masyarakat pada sebuah bangsa, atau dalam hal terkecil lagi menyangkut cikal-bakal sebuah Kota.
Filologi Menimbang Sejarah-Budaya Sebuah Kota
Saya akan kerucutkan agar tidak melebar terlalu jauh, apakah ketika filologi menyusuri dan menimbang kesejarahan dan kebudayaan sebuah kota, benarkah sastra ikut-serta tumbuh dengan makna? Kota yang dimaksud di sini saya fokuskan kepada Bogor, sebagai tempat kelahiran dan pengembaraan saya terlepas dari batas administratif kota dan Kabupaten. Sebab, cikal-bakal Bogor dalam jejak kesejarahan dari Masa Prasejarah, Masa Kerajaan, Pasca-Kerajaan, Zaman-kolonial, bahkan Pasca-Kolonial dan Kemerdekaan, hingga dewasa ini bukankah masih rumit ditangkap basah kebenaran mutlak jejaknya?
Kita tahu betul, disebabkan satu dan lain hal mengenai ririwehan hilang-tenggelamnya arsip-arsip, kecurigaan propaganda sejarah, dan keterbatasan pada hal-hal yang bersifat lampau itu menyebabkan ingatan kita terhadap Kota bernama Bogor itu akan sangat terbatas. Kerja filologi dalam tubuh sejarawan, budayawan, bahkan para sastrawan masa lampau, pastilah akan membahas ulang tentang wilayah Bogor yang menjadi bagian berdirinya sebuah kerajaan Hindu pertama di Pulau Jawa, yaitu Kerajaan Tarumanagara. Walaupun letak pusat kerajaan itu masih menjadi perdebatan beberapa pakar sejarah, tentu beberapa peninggalan (yang dipraduga erat hubungannya) patut menjadi catatan kita bersama agar menjadi perhatian para filolog juga dibantu para arkeolog untuk terus diteliti, dirumuskan, dan ditimbang-timbang. Misalnya, beberapa prasasti Ciaruteun, Ciampea, prasasti Kebon Kopi, prasasti Pasir Muara, dan lainnya.
Dari beberapa prasasti di atas, yang menarik kita bahas ialah Prasasti Ciaruten sebab menampilkan kerja sastra di dalamnya. Prasasti tersebut ditulis dengan huruf Palawa berbahasa Sansekerta, dan dituliskan dalam bentuk puisi India dengan irama anustubh terdiri dari 4 baris. Berdasarkan pembacaan oleh Poerbatjaraka (dalam Danasasmita) prasasti tersebut berbunyi: vikkranta syavani pateh srimatah purnnavarmmanah tarumanagarendrasya visnoriva padadvayam. Diartikan secara luas sebagai berikut: ini (bekas) dua kaki yang seperti kaki dewa Wisnu ialah kaki Yang Mulia Sang Purnawarman, Raja di negeri Tarumanagara yang gagah berani di dunia.
Saya mengacu pada buku Pakuan Pajajaran dalam Pusaran Sejarah Dunia karya Ahmad Yanuana Samantho terbitan Bayt Al-Hikmah Institute, dan buku karya Saleh Danasasmita berjudul Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi terbitan PT Kiblat Utama. Dua buku tersebut, menurut hemat saya, sangat merefleksikan kerja filologi dan kerja sastra hadir berdampingan. Tentu, banyak sumber buku lainnya menyangkut dunia kesejarahan sebelum Bogor ini tercipta, atau Sunda umumnya. Namun saya lebih memilih mengacu pada dua buku tersebut dengan alasan kedua penulisnya berasal dan lahir di Bogor, yang menyebabkan kedua penulis tersebut mempunyai hubungan kedalaman emosional geografisnya.
Kerajaan Tarumanagara (dalam beberapa pakar, terkhusus yang diuraikan Saleh Danasasmita dan Ahmad Yanuana) merupakan sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah pulau Jawa bagian barat pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M, yang merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang marak dicari-cari keberadaanya. Jika terus menelisik kerja filolog yang dibantu para arkeolog atas penggarapan naskah dan situs prasasti di atas, memang tidak ada penjelasan yang pasti siapa yang pendiri Kerajaan Tarumanagara. Namun rahasia itu terungkap ketika ditemukan catatan tentang raja yang berkuasa pada masa itu, kita hafal betul raja yang bernama Purnawarman.
Hal tersebut lalu diperjelas (oleh Sumadio 1984: 44) sampai sekarang belum dijumpai lagi prasasti dari Tarumanagara yang menyebutkan adanya nama Raja lain. Namun ada berita dari manusia Cina menyebutkan bahwa kerajaan tersebut masih mengirimkan utusan-utusannya ke Cina hingga pertengahan abad ke-7 M. Sedangkan dalam Carita Parahyangan (Darsa & Edi S.Ekadjati 2003: 192) menguraikan penafsiran bahwa setelah Tarumanagara runtuh berdirilah banyak kerajaan kecil di Tatar Sunda bagian barat, dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya di wilayah Tatar Sunda bagian timur, antara lain muncul Kerajaan Galuh, Denuh, Surawulan, Rawunglangit, Mananggul, Tepus dan lain-lain.
Lalu diceritakanlah kehadiran sosok Sanjaya pergi ke barat sampai di Kerajaan Sunda, diangkat menantu oleh Tohaan di Sunda. Sanjaya yang disebut dengan Harisdarma dalam naskah Fragmen Carita Parahyangan kemudian berhasil mempersatukan seluruh wilayah Jawa bagian barat bahkan wilayah kuasanya sampai meliputi Jawa bagian tengah. Sanjaya pula yang konon mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732 M yang ditulis dengan bahasa Sansekerta, bukan Sunda Kuno dan bukan pula Jawa Kuno. Kesadaran Sanjaya terhadap rakyatnya yang sebagian berbahasa Sunda Kuno dan Jawa Kuno maka ia memilih Sansekerta, bahasa resmi kaum pendeta brahmana India, untuk mengukuhkan bahwa ia raja yang telah memeluk agama Hindu-saiwa. Cerita tersebut nanti akan berhubungan dengan salah-satu sajak W.S. Rendra berjudul: Kesaksian Akhir Abad.
Setelah Kerajaan Tarumanagara yang masih menjadi misteri itu runtuh, kerja filologi lalu menghadirkan cerita berdirinya sebuah Kerajaan terbesar di wilayah Jawa Barat yang konon tidak pernah jatuh dalam kekuasaan Majapahit, ialah Kerajaan Pakuan Pajajaran.
Ini menarik untuk ditransformasikan lewat kerja sastra “sastrawan-bogor” dewasa ini mestinya seperti Tarumanagara yang diadopsi Rendra menjadi sajak yang berjudul Kesaksian Akhir Abad. Cerita Pakuan Pajajaran sendiri agaknya masih kurang mendapat perhatian para sastrawan Bogor lewat proses kreatif penciptaan karya yang mereaksi muatan sejarah-budaya.
Dalam cerita Pakuan Pajajaran, ketika Amukti Palapa yang dikumandangkan Gajah Mada untuk menaklukkan seluruh Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit ternyata tidak mampu menyentuh wilayah Pajajaran yang waktu itu berbatasan dengan Kerajaan Majapahit di daerah Cilacap. Seluruh Nusantara berhasil takluk di bawah kekuasaan Majapahit kecuali Pajajaran. Percayakah masyarakat Bogor kita akan hal itu? Jika tanpa transformasi sastra, bagaimana pula kerja filologi (dan ilmu bantu arkeolog) mengumumkan kajiannya itu kepada masyarakat Bogor?
Kerumitan kerja filologi dihadapkan pada situasi sejarah masa silam Bogor yang konon juga terputus sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran akibat serangan Kerajaan Banten yang dipimpin oleh Sultan Maulana Yusuf pada kurun waktu 1579. Prabu Ragamulya Suryakancana sebagai Raja Pajajaran waktu itu memilih Pajajaran hancur daripada takluk di bawah kekuasaan Kerajaan Banten. Karena dihujani meriam berhari-hari, benteng kota dan Istana Pajajaran hancur lebur dan menyisakan reruntuhan yang tidak mungkin ditinggali lagi.
Kejadian tersebut oleh Ahmad Yanuana Samantho dalam buku Pakuan Pajajaran dalam Pusaran Sejarah Dunia diuraikan ketika para filolog menemukan Pustaka Nusantara III/1 dan Negara Kertabhumi I/II lalu memberitahukan tentang keruntuhan itu: Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa weshakamasa sewu limanatus punjul siki ikang cakakala (Pajajaran sirna pada tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501 saka diperkirakan tanggal 8 Mei 1579/Sabtu, 1 Muharram tahun alif). Percayakah masyarakat Bogor akan hal itu? Atau tahukah masyarakat Bogor dewasa ini tentang hal itu?
Karena masa Pakuan Pajajaran tidak terlalu jauh seperti Tarumanagara, menurut Ajip Rosidi, keberadaan Kerajaan Pakuan Pajajaran Bogor tidak bisa dibantah lagi bukti-buktinya, walaupun ada sejarawan yang menolak dan menganggap Kerajaan Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi cuma mitos saja. Hal itu diperkuat oleh Saleh Danasasmita, yang menerjemahkan isi prasasti Batu-Tulis: 0 0 wang na pun ini sakakala, prebu ratu purané pun, diwastu diya wingaran prebu guru déwataprana diwastu diya dingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu dé- wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang nis- kala sa(ng) sida-mokta di gunatiga i(n)cu rahyang niskala wastu ka(n)cana sa(ng), sida-mokta ka nusalara(ng), ya siya nu nyiyan sakaka- la gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya, ya siya pun 0 0 i saka, panca panda- wa '(m)ban bumi 0 0.
Dalam arti luas: “Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan. Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi”.
Memasuki masa Kolonial, kita ulas sedikit saja (sebab masa Kolonial pasti diketahui masyarakat kita), wilayah Bogor mulai menjadi perhatian ketika sisa-sisa keruntuhan Pajajaran ditemukan oleh pemerintah Hindia Belanda lewat ekspedisi yang dipimpin oleh Scipio pada tahun 1687 dan Adolf Winkler pada kurun waktu 1690. Penemuan wilayah itu lalu ditindaklanjuti oleh pemerintah Hindia-Belanda dengan membuka wilayah Bogor sebagai sebuah tempat peristirahatan bagi warga Belanda yang pada awalnya berada di Batavia.
Dari kesinambungan itu, kedatangan pemerintah Hindia Belanda ke Tanah Air, hal ini sangat tersimpan dalam ingatan kolektif masyarakat Bogor hari ini, sebab masa ini tak terlalu jauh untuk kita telusuri. Kita dengar wilayah Bogor dinamai dengan Buitenzorg yang berarti “tanpa kecemasan" atau "aman tenteram”, atau “tempat yang tidak perlu khawatir”. Belanda membangun lahan-lahan untuk tempat pertanian, tempat tinggal dan peristirahatan. Misalnya peninggalan Istana Bogor sebagai tempat peristirahatan gubernur jenderal Hindia Belanda pada waktu itu. Sampai di sini, apakah kerja filologi yang sedikit saya uraikan di atas pernah didengar masyarakat Bogor hari ini? Atau masyarakat Bogor umumnya mengingat kesejarahan itu sampai pada masa apa?
Jauh sebelum itu, kita kembali jauh ke belakang menyusuri kerja filologi menyangkut cikal-bakal Bogor secara sangat mendalam, lebih luas manusia Sunda. Kita akan dihadapkan dengan cerita remang-remang adanya Kerajaan Salakanagara, yang digadang-gadang lebih jauh silamnya dari kemunculan Tarumanagara dan Pakuan Pajajaran. Lagi-lagi, percayakah masyarakat atau pernah mendengarkah masyarakat Bogor tentang Kerajaan Salakanagara itu?
Kerajaan Salakanagara dikaitkan dengan hadirnya sosok Dewawarman dan rombongan berlabuh di pantai Kulon Desa Aki Tirem dengan niat untuk mengisi perbekalan, terutama air. Namun ketika itu desa tersebut tengah dilanda keresahan karena aksi para perompak laut. Kehadiran Dewawarman dan rombongan itu memicu Aki Tirem dan pasukannya berniat memerangi kemunculan Dewawarman. Keterkaitan Kerajaan Salakanagara dengan Bogor hari ini, dicocokologikan dengan Gunung Salak atau Gunung Halimun Salaka, persamaan Salaka-nagara dan Gunung-Salaka menyangkut kata lain yang bermakna Perak.
Namun karena niat baik Dewawarman, Aki Tirem pada akhirnya menerima kehadiran rombongan pengembara yang diceritakan datang dari India Selatan. Apalagi setelah Dewawarman membantu Aki Tirem memerangi bajak-laut tersebut. Pada akhirnya penghulu Aki Titem bersedia menjodohkan puterinya dengan Dewawarman, dikarenakan Dewawarman juga terpanah oleh kecantikan puteri Aki Titem.
Singkat cerita, dalam naskah Wangsekerta itu, menurut Danasasmita dan Ahmad Yanuana) setelah Aki Tirem wafat, sang Dewawarman menggantikannya sebagai penguasa dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara. Sedang istrinya, Nyi Pohaci Larasati anak Aki Tirem menjadi permaisuri dengan gelar Dewi Dwani Rahayu. Kerajaannya diberi nama Salakanagara.
Pengambilan nama Salakanagara, atau Kota Perak, atau Argyre, sangat wajar dan sangat terkait dengan zaman tersebut. Hal tersebut dikisahkan oleh para Mahakawi sebagai zaman besi, zaman manusia di Nusantara telah mengenal penggunaan besi, logam perunggu dan perak sebagai perkakas. Sedangkan kaum pendatang, seperti Dewawarman yang konon datang dari India ke tempat tersebut dimungkinkan untuk berdagang dan tentu mencari perak. Mungkin ini juga yang menjadi minat mereka singgah di perkampungan Aki Tirem.
Ada juga yang mengisahkan bahwa Aki Tirem ketika digantikan Dewawarman belum wafat, namun Aki Tirem sengaja mengundurkan diri dari keramaian dunia dan pergi bertapa. Dewawarman kemudian dinobatkan menjadi raja pertama Salakanagara. Penyerahan kekuasaan tersebut terjadi pada kurun waktu 122 M. Dan pada saat itu diberlakukan pula penanggalan Sunda yang dikenal dengan sebutan Saka Sunda.
Terminologi ketiga masa di atas agaknya cukup untuk kembali merenungkan dan terus meninjau kerja filologi yang dibantu para arkeolog khususnya dalam merumuskan sejarah dan budaya Kota yang sekarang bernama Bogor ini. Percayakah masyarakat Bogor hari ini atau pernah mendengar dan membacakah masyarakat Bogor tentang kerja filolog itu?
Rumit ditangkap basah memang. Itulah mengapa kerja sastra mesti terus hadir-mengalir memberi makna, makna hidup masa lalu dalam subjektivitas pengarang dalam proses kreatif penciptaan karyanya. Sebab di samping sastra membebaskan kerumitan fenomena hidup ini, sastra juga akan memberi makna sebagai nilai pembelajaran hidup!
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mencermati Dua Wajah “Garda Demokrasi†di Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Mendorong Partisipasi Bermakna Masyarakat dalam Pembentukan Undang-undang
MAHASISWA BERSUARA: Moral Pelajar, Urusan Siapa?
MAHASISWA BERSUARA: Konsepsi Merdeka Pada Program Magang Merdeka hanya Ilusi?
Sastra Tumbuh Dengan Makna
Menjelajah kerja sastra dalam muatan filologi, kita pasti akan menemukan orang seperti Muchtar Kala, M.A Salmun, dan Saleh Danasasmita, Eman Soelaeman, dan lain-lain dalam susastra-sunda kelahiran Bogor, lebih khusus seperti apa jejak manusia Bogor lewat pemikiran yang mendobrak peristiwa penziarahan Bogor. Lebih jauh berhubungan dengan sastra-sunda, kita mengenal Haji Hasan Mustafa, Utuy Tatang Sontani, Ajip Rosidi, Popo Iskandar, Soni Farid Maulana, dan tentu masih banyak sepuh-pendahulu yang tak bisa dicatat semuanya di sini, yang mewarisi nilai pemikiran tetesan masa lampau tersebut.
Itulah mengapa kerja sastra kita mesti membaca ulang warisan mereka karena sangat sedikit sejarah Sunda, termasuk Bogor terpapar dalam literatur sejarah nasional Indonesia. Khususnya pandangan tentang tidak ada kerajaan Sunda yang mandiri dan merdeka sebab kerajaan Sunda selamanya dianggap berada dalam genggaman kerajaan lain. Dan tidak ada dokumen bernilai tinggi sebagai sumber sejarah kerajaan Sunda sehingga darinya tidak bisa disusun sejarah kerajaan Sunda yang lengkap, runtut, secara gamblang.
Menyangkut rumusan masalah mengenai kerja sastra dan filologi, kita dapat menyusuri kerja Ajip Rosidi yang hari ini dekat dengan kita dalam sastra Indonesia. Ajip seorang yang masuk dalam tonggak sastra daerah yang berkiprah ke sastra nasional Indonesia. Dari Ajip kita bisa belajar, bagaimana ia merumuskan manusia-Sunda dalam beberapa karangannya mampu membangun nilai-nilai masa silam dalam laku manusia sunda, yang di dalamnya itu terdapat muatan cerita Bogor dan kota lainnya, sekarang dinaungi Provinsi Jawa Barat.
Sebagaimana bukunya yang berjudul Manusia Sunda, terbitan Inti Idayu Press, Jakarta, 1984, Ajip mengerjakan sebuah esai tentang tokoh-tokoh sastra dan sejarah dalam laku manusia Sunda. Sebuah reaksi ketika Mochtar Lubis melakukan ceramah pidato kebudayaannya pada tahun 1977 di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang kemudian diterbitkan menjadi buku oleh penerbit Inti Idayu Press, yang lalu disambut baik oleh penulis lainnya menjadi buku seperti buku manusia jawa, manusia bugis, dan suku-suku lainnya.
Dalam buku Manusia Sunda, Ajip menerangkan bahwa ada lima hambatan dalam mencari apa dan bagaimana sebenarnya manusia Sunda dulu dan sekarang. Pertama, pergaulan erat manusia Sunda dan manusia Jawa, yang menimbulkan banyak sekali persamaan antara satu dan lainnya. Kedua, kerumitan menyusuri jejak masa silam, dari zaman kerajaan sampai zaman kemerdekaan. Ketiga, berbeda dengan manusia Jawa yang menganggap Solo dan Yogya sebagai pusat budaya Jawa, manusia Sunda tidak mempunyai pusat salah satu kota yang dapat dijadikan sumber budaya Sunda. Keempat, lemahnya pupuh Asmaradana yang membuat manusia Sunda tidak seperti manusia Jawa yang sampai sekarang masih berpegangan pada serat Wedhatama. Kelima, kajian tentang kebudayaan dan kesejarahan manusia Sunda sangat sedikit: termasuk kerja kesusastraannya yang mestinya proses kreatif pengkaryaan meninjau muatan sejarah-budaya.
Dari hambatan di atas, tentu menjadi hambatan pula untuk masyarakat kota yang dinaungi suku Sunda, terkhusus Bogor. Maka kerja sastralah yang mampu mencairkan suasana kerumitan sejarah, dengan membaca dan mentransformasikan tokoh sastra lama. Misalnya seperti Kabayan, Sangkuriang, Mundinglaya dikusumah, dan Purbasari Ayu Wangi, dan sebagainya. Lanjut mengenai tokoh sastra baru, seperti Raden Yogaswara, Dewi Pramanik Ratna Suminar, dan Karnadi. Mengapa demikian? Sebab, jika ingatan dan ulasan kita tak bisa menjangkau terlalu jauh ke masa kerajaan, setidaknya lewat tokoh sastra kita bisa mengambil setetes makna yang menyangkut silsilah kota kita sendiri.
Hal tersebut yang merupakan usaha pembelajaran mendobrak nilai kebaruan dalam muatan suasana sejarah-budaya. Dari sini kita mendapat sedikit jawaban bagaimana kerja sastra, setelah filologi terus menerus menimbang sebuah kotaatau jejak bangsa dalam naskah-kuno atau peninggalan arsip masa lampau. Sastra yang memberi makna baru dan terus mendobrak rahasia-rahasia yang sulit terungkap pemaknaannya.
Berbeda dengan Ajip, Willibrordus Surendra Bhawana Rendra, atau Wahyu Sulaiman Rendra, atau Rendra dalam sajaknya yang berjudul Kesaksian Akhir Abad, menjadi contoh yang merefleksikan ulang kerja filologi lewat kerja sastra. Berikut mari simak sedikit kutipan puisinya:
Ratap tangis menerpa pintu kalbuku./ Bau anyir darah mengganggu tidur malamku.
O, tikar tafakur!/ O, bau sungai tohor yang kotor!/ Bagaimana aku akan bisa membaca keadaan ini?
Di atas atap kesepian nalar pikiran/ yang digalaukan oleh lampu-lampu kota/ yang bertengkar dengan malam,/ aku menyerukan namamu;/ wahai, para leluhur Nusantara!
O, Sanjaya!/ Leluhur dari kebudayaan tanah!/ O, Purnawarman!/ Leluhur dari kebudayaan air!/ Kedua wangsamu telah mampu mempersatukan tanah air!
O, Resi Kutaran! O, Resi Nirarta!/ Empu-empu tampan yang penuh kedamaian!/ Telah kamu ajarkan tatanan hidup/ yang aneka dan sejahtera,/ yang dijaga dewan hukum adat./ O, bagaimana mesti aku mengerti/ bahasa bising dari bangsaku kini?
O, lihatlah wajah-wajah berdarah/ dan rahim yang diperkosa/ muncul dari puing-puing tatanan hidup/ yang porak-poranda./ Kejahatan kasat mata/ tertawa tanpa pengadilan./ Kekuasaan kekerasan/ berak dan berdahak/ di atas bendera kebangsaan
O, anak cucuku di jaman cybernetic!/ Bagaimana akan kalian baca/ Prasasti dari jaman kami?/ Apakah kami akan mampu/ menjadi ilham kesimpulan/ ataukah kami/ justru menjadi sumber masalah/ di dalam kehidupan?
Dalam sajaknya itu, Rendra tengah meninjau cerita Nusantara yang gagah-gegap-gempita peradabannya yang di dalamnya tersingguh cerita Tarumanagara, tentu yang menjadi cikal-bakal hunian Bogor kita dewasa ini. Kecerdikan Rendra dalam memandang kerja filolog dalam sajaknya itu, mementaskan pertanyaan untuk kita hadapi bersama, apakah anak cucu kita (atau kita anak cucu dewasa ini) nanti bisa membaca prasasti atau naskah-kuno pada zaman itu? Apakah prasasti, naskah kuno, cerita peradaban lampau, bisa menjadi ilham kesimpulan untuk kita dewasa ini? Atau malahan menjadi sumber masalah di dalam kehidupan, karena rumitnya menyusuri reruntuhan peninggalan peradaban itu?
Sajak di atas tentu akan mengembalikan pembahasan kita ke cerita Kerajaan Tarumanagara, di mana bisa kita simpulkan, bahwa Raja Purnawarman yang memegang kendali Tarumanagara runtuh bersama Raja Sanjaya mampu mempersatukan Kerajaan Jawa Barat dan Jawa Tengah, sebagaimana kecerdikan Rendra mengolah kerja filolog dalam laku sastra: O, Sanjaya! Leluhur dari kebudayaan tanah! O, Purnawarman! Leluhur dari kebudayaan air! Kedua wangsamu telah mampu mempersatukan tanah air!
Dan yang lebih menarik, Rendra membandingkan kemasyhuran masa kerajaan dengan masa kini Indonesia, saat tersebut Indonesia tengah mengalami perang dingin antar Bangsa dan bahkan sesama bangsanya sendiri: O, lihatlah wajah-wajah berdarah, dan rahim yang diperkosa, muncul dari puing-puing tatanan hidup yang porak-poranda. Kejahatan kasat mata, tertawa tanpa pengadilan. Kekuasaan, kekerasan, berak dan berdahak di atas bendera kebangsaan.
Sajak Kesaksian Akhir Abad di atas sangat erat kaitannya dengan kerja filologi yang meninjau sejarah-budaya bukan? Lepas bagaimana cara sastra memaknainya dan bagaimana rumusan filologi memasarkan buruannya. Dan tentu masih banyak sastrawan yang semangat mendobrak nilai rahasia masa lampau, serta membantu kerja filologi dalam memasarkan ulang hasil buruan masa silam sebuah bangsa, atau hal terkecil sebuah cerita sebelum hadirnya sebuah kota. Walaupun tidak spesifik meninjau Kota Bogor, namun tertera jelas sebelum hadirnya Bogor, ingatan masa silam menghadirkan cerita Kerajaan yang megah dan agung keberadaannya.
Syahdan, sebab kerja filologi masih belum tuntas pada hal-hal yang bersifat lampau dan rahasia kesejarahan dan kebudayaan suatu bangsa, lebih kecil sebuah Kota, maka perjalanan kerjanya akan terus mengurus rahasia masa silam yang belum terungkap semua kebenarannya. Jalan sunyi filolog seperti para peziarah yang tak kunjung bosan hinggap dari masa ke masa. Kadang para filolog akan kembali datang menghampiri para sastrawan, tukar-pikiran menyangkut arus masa depan.
Sedangkan kerja sastra akan terus melaju ke masa depan, walaupun sesekali akan terjun ke masa silam dan ikut berziarah bersama para filolog. Hanya sedikit sastrawan pada dewasa ini yang tertarik kembali menziarahi nilai kesejarahan-budaya. Hal itu pula selaras dengan yang dimaksudkan Goenawan Mohamad dalam sajaknya: tapi kita masih bisa menunggu, Raja-raja akan lewat, zaman-zaman akan lewat, sementara kita tegak menghancur 1000 kiamat. Ya, hidup terus berjalan, suka tak suka, senang tak senang, kerja sastra akan terus menghantam gelombang zaman: menghancur 1000 kiamat.
Itulah mengapa saya percaya sastra memberi makna, ketika filologi bekerja menimbang sebuah kota. Sastra bekerja untuk terus menciptakan hal-hal baru yang memberi makna pada hidup yang lebih luas. Dalam hal itu, kita mendapat contoh yang menarik untuk disimak bersama, pembacaan atas Orasi Budaya Emha Ainun Nadjib pada acara 50 Tahun Majalah Sastra Horison, di Taman Ismail Marzuki (TIM), Selasa, 26 Juli 2016, menjadi penutup catatan ini.
Saya akan mengambil sedikit poin dari orasi budaya Emha yang dapat membantu uraian bagaimana kerja sastra memberi makna. Emha menguraikan: terserah apa dan bagaimana sastra dipandang, dituliskan, digagas, dialami, dihayati, diilmukan, diteorikan. Tidak masalah sastra dilihat sebagai kata atau ruh, dibebaskan atau dibatasi, dikonsepkan atau diformulasikan, direligiuskan atau disekulerkan, diharuskan atau dilarang, dihubungkan atau dipisahkan, dihamparkan atau disekat-sekat. Yang utama, saya sangat menikmati kenyataan bahwa sastra tidak bisa mati, bahkan pun mungkin sesudah manusianya mati.
Dari uraian Emha, kita mendapat gambaran reaksi kerja sastra hari ini yang tengah menampilkan optimisme sastra dalam merekahkan harapan-impian menempuh masa depan lewat keasyikan bersastra yang berbeda dari generasi-generasi zaman pendahulu. Kita tahu perjalanan sastra pada masa ke masa sering dibarengi dengan ideologi yang dianut para kelompok sastra itu sendiri. Kita ambil contoh kecil tegangan Manikebu dan Lekra, atau Prahara Budaya dan Polemik Kebudayaan, misalnya.
Dengan begitu, kerja sastra hari ini mulai membebaskan segalanya, dan bahkan kerja sastra tengah meninjau dan menghadapi semua lini kehidupan dan rahasia kematian: manusianya (dari segi biologi, psikologi, sosiologi, antropologi dan lainnya), geografisnya (dari segi fenomena lintas kebangsaan, perubahan iklim, kemajuan teknologi, dan lainnya), pula religiusitasnya (dari segi keagamaan, ke-alam-semestaan, bahkan sampai menyangkut Tuhan), dan sebagainya.
Semua boleh berumah di masa silam, semua boleh pergi ke masa depan. Semua boleh menimbang makna kota kelahiran, semua boleh mewujudkan kota impian. Dan kerja sastra, bentuk apapun itu hari ini tengah memfokuskan diri terus menerus memberi makna pada bangsanya masing-masing, pada Kotanya masing-masing, dan pada fenomena kehidupannya masing-masing. Terlepas cerita masa silam Nenek-Moyangnya itu selesai terungkap kebenarannya atau masih remang-remang dipandang, sebab masa depan tak pernah bisa dihentikan laju perputaran waktunya, maka sastra menjadi benteng utama dalam menghadapi arus-gelombang kehidupan ini.
Kita tunggu saja waktunya nanti, kerja sastra pada masa ini, pada kurun waktu dewasa ini, pastilah akan ditelusuri oleh kerja filologi di masa datang – jauh sekali di masa depan nanti. Sebagaimana pengarang sastra klasik zaman kerajaan dahulu meninggalkan warisan catatan untuk anak-cucunya hari ini. Sebab pada dasarnya, kerja sastra dari zaman ke zaman akan menjadi artefak warisan pembelajaran yang jauh di masa mendatang, menjadi harta-karun peninggalan.