• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Selubung Operasi Kapitalisme dalam Wacana Pemindahan Ibu Kota Negara

MAHASISWA BERSUARA: Selubung Operasi Kapitalisme dalam Wacana Pemindahan Ibu Kota Negara

Pemerintah mengonstruksi megaproyek rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) seperti halnya operasi kapitalisme kontemporer. Seolah sedang memasarkan produk.

Muhammad Andi Firmansyah

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)

Kereta cepat Jakarta Bandung di Stasiun Tegalluar, Kabupaten Bandung, saat menjalani uji dinamis sebagai bagian dari showcase untuk Joko Widodo dan Xi Jinping, Rabu (16/11/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

13 Maret 2023


BandungBergerak.id – Demokrasi berarti kesempatan untuk menentukan nasib sendiri secara kolektif. Dikatakan “kolektif” karena meski demokrasi memungkinkan setiap orang untuk menentukan pilihan dan keputusannya sendiri, ada orang lain yang hak-haknya tidak boleh diabaikan (Miettinen, 2013, hlm. 187). Oleh sebab itu, pada saat yang sama, demokrasi dipahami sebagai konsep dua dimensi yang berkaitan dengan input dan output dari sistem politik. Di sisi input, penentuan nasib sendiri mensyaratkan bahwa pilihan politik harus diturunkan, secara langsung ataupun tidak, dari preferensi otentik warga dan, dengan begitu, pemerintah harus bertanggung jawab kepada yang diperintah. Di sisi output, bagaimanapun, penentuan nasib sendiri menyiratkan adanya kontrol yang efektif dari otoritas. Demokrasi hanyalah ritual kosong jika pilihan politik pemerintah tidak mampu mencapai tingkat efektivitas yang tinggi dalam mencapai tujuan, dan menghindari bahaya, yang dipedulikan masyarakat (Scharpf, 1997). Esai ini akan memakai kerangka demikian dalam upaya menganalisis relokasi ibukota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara.

Secara keseluruhan, esai ini berargumen bahwa wacana yang dikonstruksi pemerintah terkait pemindahan ibukota negara merepresentasikan operasi kapitalisme kontemporer: kebutuhan yang sebenarnya ditutup-tutupi oleh kebutuhan yang dibuat-buat. Pemerintah seolah sedang memasarkan produk yang berusaha mereka jual (Kalimantan) dengan mencitrakan produk lama (Jakarta) sebagai usang dan tidak layak lagi.

Jakarta, sebagai salah satu kota terpadat di dunia, dianggap sudah tidak layak lagi jadi ibukota negara—lalu lintas macet, polusi udara tinggi, dan banjir hampir setiap hujan. Hal ini diyakini akan memengaruhi ekonomi, kesehatan, dan aspek fundamental lainnya yang secara mendasar menghilangkan kesan Jakarta sebagai ibukota negara (Van de Vuurst & Escobar, 2020).

Adapun dasar-dasar lain mengapa Indonesia perlu memindahkan pusat pemerintahan, menurut keterangan Istana, antara lain: (i) untuk mewujudkan Indonesia yang adil-makmur dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; (ii) untuk menumbuhkan pendekatan baru terhadap daerah yang kurang beruntung; (iii) untuk memfasilitasi restrukturisasi Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Jawa; (iv) untuk melindungi lahan pertanian di Jawa; dan (v) untuk mencegah terjadinya guncangan sosial, mengurangi efek perubahan iklim, serta mengurangi tingkat urbanisasi (Rahmat dkk., 2021).

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Ketika Filologi Menimbang Kota, Sastra Tumbuh Dengan Makna
MAHASISWA BERSUARA: Mencermati Dua Wajah “Garda Demokrasi” di Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Mendorong Partisipasi Bermakna Masyarakat dalam Pembentukan Undang-undang
MAHASISWA BERSUARA: Konsepsi Merdeka Pada Program Magang Merdeka hanya Ilusi?

Janji Pemerintah

Kini mari kita pertimbangkan janji-janji pemerintah. Mereka membayangkan ibukota baru bakal menjadi smart city dengan kawasan yang hijau dan indah, memberikan kualitas hidup tinggi bagi 1,5 juta penduduk yang diproyeksikan secara futuristik, tidak seperti Jakarta yang sudah penuh sesak dan sebentar lagi akan tenggelam (Nur Azhar dkk., 2020). Dengan perencanaan yang baik dan ketat, mereka meyakinkan publik bahwa ibukota baru ini dapat menularkan segenap dampak positif terhadap wilayah sekitarnya, seperti dari pembangunan bandara dan pelabuhan baru. Ini adalah strategi trickle-down effect: pembangunan di satu titik diharapkan akan “menetes” ke sekitarannya secara otomatis. Tidak heran kalau Presiden, dengan penuh keyakinan, menggunakan frase “no one left behind” dalam mempromosikan agenda pemindahan ibukota negara—slogan yang tampaknya diadopsi dari slogan SDGs.

Namun, kita mesti ingat bahwa kota yang khas selalu membuat jejak kaki ekologis yang amat besar di tempat lain, sebab ia menyesuaikan ekosistem yang jauh dengan sumber daya lain (Teo dkk., 2020). Ringkasnya, daerah sekitaran ibukota baru, entah jangka pendek atau jangka panjang, akan menjadi bak sampah bagi mega-proyek yang berlangsung.

Fakta bahwa Kalimantan merupakan salah satu paru-paru dunia, yang sebenarnya sudah lama mengalami deforestasi, maka ada kemungkinan pula jejak kaki ekologis itu bersifat global. Di sinilah letak paradoks membangun kota hijau: kota yang sukses secara ekonomi—dalam arti menyediakan kehidupan yang nyaman bagi penghuninya, menampilkan tanaman hijau untuk kenyamanan dan keasrian kaum urban—juga merupakan kota berbiaya tinggi untuk satwa liar, ekosistem, serta masyarakat adat di pedalaman.

Dari situ bisa dilihat bahwa segala romantisasi yang dikonstruksi pemerintah bekerja seperti halnya operasi kapitalisme kontemporer: kebutuhan yang sebenarnya ditutup-tutupi oleh kebutuhan yang dibuat-buat. Otoritas seolah sedang memasarkan produk yang berusaha mereka jual. Mereka bisa menjelek-jelekkan produk lama atau produk saingan (Jakarta) dan secara bersamaan menarik dukungan publik pada produk baru yang ditawarkan (Kalimantan). Ini dimulai dengan pereputasian Jakarta sebagai “kota yang paling cepat tenggelam di dunia”. Selepasnya, narasi ekologis secara cepat dianut sebagai sarana untuk mengubah risiko iklim menjadi peluang investasi.

Retorika adaptasi iklim, urgensi, dan risiko tampaknya telah digunakan secara agresif untuk membenarkan implementasi rencana pembangunan yang sebelumnya diblokir, menjadi diizinkan dengan bahasa “krisis”. Bahasa risiko menjadi tipu muslihat yang digunakan oleh kontraktor dan politisi untuk melantaskan infrastruktur baru demi akumulasi modal dengan biaya berapa pun. Tenggelam dalam narasi tontonan yang akan “menyelamatkan bangsa” ini merupakan ambiguitas yang dibuat dengan halus mengenai siapa atau apa yang diselamatkan, berapa biayanya, serta untuk siapa. Ruang mana yang dibersihkan untuk tujuan akumulasi?

Taktik Pemerintah

Taktik seperti itu, misalnya, dapat ditemukan dalam proyek pembangunan tanggul oleh National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Demi meminimalkan risiko banjir di Jakarta, mereka mengusulkan untuk memperkuat tanggul pantai yang ada dan membangun tanggul laut luar sepanjang 40 kilometer, setinggi 25 meter, untuk perlindungan tambahan terhadap kekuatan laut dan pasang surut (Thompson, 2018). Dengan perkiraan biaya sebesar Rp500 triliun, biaya tanggul pantai sebagian akan dipulihkan melalui investasi real estat di 17 pulau reklamasi yang dibangun menyerupai sosok simbol nasional negara, “Garuda Raksasa”. Namun kenyataannya, proyek NCICD itu telah berulang kali terhenti karena terperosok ke dalam tuntutan hukum dan kontroversi terkait korupsi, pencucian uang, dan pemalsuan penilaian lingkungan (Octavianti & Charles, 2018). Kasus serupa juga terjadi dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, serta pembangunan jalan tol Cisumdawu (Kejakimpolnews.com, 2022).

Saya berpendapat bahwa semua itu adalah bagian dari rencana yang menjadi syarat inti bagi arus modal. Saat satu dinding runtuh, injeksi proses pengadaan tambahan, penawaran, dan kontrak mudah dibenarkan; setiap kali siklus berulang, begitu pula peluang potensial bagi pihak tertentu untuk mengambil bagian dari setiap kontrak dalam suap dan skema pencucian lainnya. Pendek kata, tujuan semua proyek itu adalah sirkulasi material (terutama pasir, beton, baja dan kaca) dan uang yang tiada henti. Fakta ini bersifat instruktif: pengabaian dan kegagalan merupakan bagian integral dari proses pengakumulasian kapital. Skenario yang sama mungkin juga berlaku untuk megaproyek pemindahan ibukota negara, dan saya yakin inilah kekhawatiran kita bersama.

Akhirnya, relokasi ibukota negara pada satu titik memang harus berhadapan dengan paradoks kinerja megaproyek. Di dunia yang dinamis, megaproyek semacam itu cenderung berkinerja buruk dalam hal ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan, serta agregasi aspirasi publik. Esai ini telah menunjukkan bahwa pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara tidak seharusnya serta-merta diamati sebagai ibukota progresif, sambil menyembunyikan aneka skenario yang tersimpan rapi di belakang layar. Jelas, tidak ada cetak biru untuk relokasi semacam itu, tetapi pengalaman dan interpretasi khusus dari bukti yang terdokumentasi dapat menjadi pedoman tentang apa yang mesti kita waspadai.

Analisis ini tidak bermaksud untuk menguak segala keburukan dan sisi gelap megaproyek relokasi ibukota negara, tetapi meminta pemerintah, dalam upaya sosialisasinya, agar mengungkapkan segala kemungkinan terburuk sehingga publik—khususnya mereka yang terdampak—dapat menimbang rencana pemerintah secara ketat. Kita ingin tahu apa yang ada di balik tabir. Pemerintah sebaiknya tidak membesar-besarkan utopia yang mereka konstruksi sendiri, tetapi terutama bagaimana hal-hal buruk juga mungkin terjadi (dan mudah-mudahan, diatasi bersama).

Agaknya benar bahwa pemerintah enggan untuk melakukan hal demikian, sebab besar kemungkinan rakyat akan “batal” menyetujui pemindahan ibukota negara. Namun, jika itu memang kehendak rakyat, dan bahwa demokrasi masih dihargai sebagai sistem yang legitimate, tidak perlu pemborosan berlebih hanya untuk memaksakan sesuatu yang tidak dikehendaki bersama. Sebagaimana tertuang dalam Hukum Murphy: “If anything can go wrong, it will”.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//