• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Relevansi Pemikiran Soedjatmoko sebagai Gerbang Awal Berkelanjutan Merdeka Belajar

MAHASISWA BERSUARA: Relevansi Pemikiran Soedjatmoko sebagai Gerbang Awal Berkelanjutan Merdeka Belajar

Penulis menyebut pemikiran Soedjatmoko dengan trikotomi: manusia, agama, dan sosial budaya. Konsep pendidikan yang diusung ialah pendidikan religius-humanis.

Thaifur Rahman

Mahasiswa Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan Sumenep Jawa Timur

Sistem pendidikan di era digital tidak lepas dari gawai dan sambungan internet, seperti terlihat dalam pembelajaran jarak jauh di SDN Patrakomala, Bandung, Senin (13/12/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

16 Maret 2023


BandungBergerak.id – Ada surga yang tak dirindukan, kisah yang tak diceritakan, sejarah yang terlupakan serta tokoh yang terpinggirkan. Sebab reputasi di dalam negeri sangat kecil namun memiliki sejuta perhatian terhadap keadaan (pendidikan) Indonesia. Banyak sebutan yang disandang olehnya, cendekiawan sosial paripurna, visioner, diplomat, politikus, intelektual, penulis, filsuf, budayawan, pemikir sosial. Bung Koko, sapaan akrabnya. Soedjatmoko Mangoendiningrat, nama pemberian orang tuanya.

Semula, penulis sendiri merasa begitu asing dengan nama Soedjatmoko. Berhubung era sekarang disebut era pusat pengetahuan, informasi, dan digital, penulis memanfaatkan dengan mengklik nama Soedjatmoko, tercatatlah sederat time line media bertopik perjuangan beliau. Kebetulan hal ini termasuk apa yang dikatakan Soedjatmoko pada abad ke-20, diperlukan suatu kemampuan internasional (international competence), yaitu suatu kemampuan untuk mengambil dan memanfaatkan informasi sejauh mungkin (Soedjatmoko, 1988).

Sebelum pada jantung pembahasan, perlu kiranya kilas balik perihal pandemi covid yang menyerang segala lini kehidupan termasuk pendidikan. Pendidikan menurut Nelson Mandela adalah senjata paling ampuh mengubah dunia. Maka tak ayal jika pendidikan saat ini (dan untuk masa depan) dikatakan sebagai sentrum peradaban bangsa. Karena nilai pendidikan itu sendiri merupakan internalisasi dari sebuah peradaban. 

Pertama, masih tentang covid. Pendidikan disulap menjadi pembelajaran daring. Kedua, pasca covid. Pendidikan dimodifikasi menjadi sistem merdeka belajar sampai saat ini. Dimeriahkan dengan menggunakan hastag #merdekabelajar #kampusmerdeka. Namun di sisi lain, ada ketimpangan yang menindih terlalu dalam seperti tidak meratanya akses internet di Indonesia, bantuan kuota internet ke setiap tenaga dan peserta didik tidak sampai, kampus dan sekolah berlomba-lomba mengejar akreditasi, peserta didik tidak punya smartphone, tenaga pendidik disibukkan dengan kertas-kertas (administratif), kurangnya pemahaman terkait teknologi serta pembangunan di setiap kota dan desa tidak memadai. Sehingga tidak ada peluang untuk melakukan pendidikan yang paling human. Tidakkah demikian pagar lebih bagus daripada halaman?

Apabila poin merah di atas terus berlangsung, maka dapat dipastikan pendidikan tidak sepenuhnya sempurna. Tidak salah jika Soedjatmoko dilahirkan kembali dalam bentuk tulisan. Karena ia berupaya mengkaji dan mencari formulasi serta solusi yang tepat untuk nasib pendidikan di Indonesia. Konsep pendidikan yang diusung ialah pendidikan religius-humanis.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: “Petani Tulang Punggung Bangsa”
MAHASISWA BERSUARA: Pentas Seni Baru itu Bernama Sistem Pendidikan
MAHASISWA BERSUARA: Selubung Operasi Kapitalisme dalam Wacana Pemindahan Ibu Kota Negara
MAHASISWA BERSUARA: Ketika Filologi Menimbang Kota, Sastra Tumbuh Dengan Makna

Pendidikan Religius-Humanis

Dalam tulisan Al-Anhar, Soedjatmoko menyebut pendidikan sebagai penanaman investasi jangka panjang (long-term investasion) guna mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas untuk menghadapi tantangan masa depan (Anhar, 2020:34) . Sedangkan dalam tulisan Chandra Saputra Purnama, Soedjatmoko mendefinisikan pendidikan sebagai satu-satunya faktor kunci agar manusia Indonesia mampu memiliki kualitas-kualitas yang diperlukan untuk menghadapi tantangan yang menghadang di masa depan (Purnama, 202:13) .

Pendidikan religius-humanis. Apakah itu? Mengawali paragraf ini, Soedjatmoko adalah seorang humanis. Manusia sebagai objek pemikiran-berikut juga meraih kebebasan. Ia dididik oleh ayahnya, Dr. Saleh untuk memperjuangkan kesejahteraan manusia. Penulis menyebutnya dengan trikotomi pemikiran Soedjatmoko: manusia, agama, dan sosial-budaya.

Icon yang paling masyhur dilekatkan kepada manusia adalah makhluk berpikir. Selanjutnya, manusia itu makhluk yang terus tumbuh dan berkembang dengan kebebasannya (makhluk dinamis). Manusia itu misteri, karena ia tidak pernah bisa dipahami secara definitif (makhluk misteri). Manusia yang semakin ditelisik pengetahuannya, semakin dangkal (makhluk paradoksal) (Anhar, 2020:77) .

Agama bagi Soedjatmoko dapat mempunyai kekuatan positif dalam menggerakkan transformasi sosial (Tilaar,2003:77).  Manusia dalam penciptaannya dibekali akal dan pikiran. Ia bisa berpikir bebas sesuai kehendak akalnya. Namun pikiran itu bisa saja menyipi ke kiri (tidak beraturan, keras, pemahaman sebelah) jika tidak ditopang dengan agama. Oleh karenanya, manusia tidak bisa dipisahkan dengan agama dan agama berperan untuk melahirkan manusia susila yang cerdas, tidak kaku, dan terarah. Hal ini sejalan dengan pengembangan kurikulum di sekolah yang menjadikan agama sebagai dasar falsafah (baca Islam). 

Kemudian, aspek sosial-budaya. Karena nilai-nilai sosial budaya sangat dipengaruhi dan didukung oleh lingkungan tempat di mana pendidikan itu tinggal. Pendidikan bukan hanya ditakdirkan untuk pendidikan saja, tetapi bagaimana menyiapkan manusia yang bermasyarakat serta memiliki karakter dan tingkah laku yang baik.  Hal ini berkaitan dengan peranan pedidikan humaniora yang berfungsi untuk pengembangan empati dan toleransi. Mengingat Indonesia yang pluralis, majemuk, dan multikultural (Tilaar,2020:46).

Trikotomi pemikiran Soedjatmoko tidak terlepas dari sisi kehidupan manusia dan agama. Di mana visi manusia; berpikir, memilih, dan menentukan. Misi manusia; berorientasi pada kebebasan dan kesejahteraan manusia. Semuanya menjadi utuh dengan peran agama sebagai perluasan amal yang terstruktur.

Produk berpikir bebas, pengembangan daya kognitif, dan perilaku susila adalah rangkuman penulis dari beberapa hasil pemikiran Soedjatmoko.             

Mengakhiri paragraf, pentingnya mengembangkan nilai-nilai solidaritas dan pembentukan kesadaran atas identitas nasional melalui pendidikan berbasis humanistik; proses pembelajaran yang menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan; serta perlunya menjadikan agama sebagai dasar dalam segala tindak-tanduk. Maka untuk mewujudkan pendidikan yang religius-humanis bukanlah suatu hal yang sia-sia. Gerbang awal-berkelanjutan merdeka belajar akan menjadi sistem pendidikan Indonesia yang seutuhnya.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//