• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: “Petani Tulang Punggung Bangsa”

MAHASISWA BERSUARA: “Petani Tulang Punggung Bangsa”

Orientasi pembangunan tidak memiliki pemahaman etis atas konsep kultural masyarakat tani. Pada akhirnya petani adalah korban sebagaimana catatan sejarah.

Rudi Agus Hartanto

Mahasiswa Program Magister Linguistik FIB Universitas Sebelas Maret, pegiat Komunitas Kamar Kata dan Sanggar Bima Suci

Petani mulai menanam padi di musim rendeng di lahan sawah di Gedebage, Kota Bandung, pertengahan Desember 2021. Luas lahan sawah dan jumlah petani di kawasan Bandung timur ini terus menyusut dari tahun ke tahun. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

15 Maret 2023


BandungBergerak.id – “Petani tulang punggung bangsa”, pernyataan demikian bila menjadi sebuah suara sering diakhiri tanda seru, seolah tanda tanya sama sekali tidak berkesempatan tersemat. Namun manakala pernyataan tersebut diakhiri tanda tanya, akan membuat banyak percabangan tanya yang malah sukar untuk diuraikan.

Kondisi demikian karena petani dengan segala aktivitasnya sangat memengaruhi berbagai lini kehidupan. Petani memiliki kekuatan multi-effect yang begitu besar. Sebagai misal, andai gagal panen pasti terjadi gejolak harga komoditas pertanian. Bahkan keadaan seperti itu sanggup memantik kacaunya stabilitas ekonomi, sosial, politik dan sebagainya.

Sementara itu, ketika musim panen raya, petani dihadapkan pada menurunnya harga komoditas pertanian. Memang kondisi tersebut menciptakan situasi serba sulit bagi para petani. Oleh karena itu, menjadi seorang petani merupakan sebuah tantangan. Terlebih masalah yang dihadapi tidak hanya seperti yang disinggung sebelumnya. Masih ada persoalan lain: fluktuasi ketersediaan dan tingginya harga pupuk, kurangnya penyuluhan pertanian yang efisien, serta tidak adanya penjamin harga komoditas pertanian yang mampu menyejahterakan petani.

Narasi Indonesia sebagai negeri agraris—terlepas dari perdebatan negeri maritim—tentu layak dijadikan pijakan untuk memerikan permasalahan ini. Hasil kerja mereka berujung pada urusan paling mendasar hidup manusia, yakni soal perut. Meski begitu, apakah suara petani terdengar kala mereka menyoal masalah di lapangan?

Pada akhirnya petani adalah korban sebagaimana catatan sejarah. Bahkan cita-cita agung untuk mengurai persoalan agraria yang tercantum pada UU No. 5 Tahun 1960 pun belum juga mewujud. Lantaran apablia hal itu dijalankan beberapa pihak (baca: penguasa-pemodal) akan merasa terancam.

Tekanan besar yang dihadapi serta tidak adanya jaminan kesejahteraan menciptakan generasi baru kurang tertarik dengan profesi ini. Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS 2021 yang dikutip dari katadata.co.id, profesi ini masih didominasi oleh Generasi X (41-56 Tahun). Dengan rincian: Generasi Pre-Boomer (76+ tahun) 3,38%; Baby Boomer (57-75 tahun) 34,41%; X (41-56 tahun) 38,02%; Y/Milenial (25-40 tahun); 21,92%, Z (9-24 tahun): 2,24%, Post Generasi Z (1-8 tahun): 0,02%.

Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa perlu adanya formula khusus dalam rangka menarik minat generasi baru agar berani menjadi seorang petani. Sebab hal itu berkaitan dengan ketahanan pangan dalam negeri di masa mendatang. Gagasan tersebut dapat terakomodasi apabila terdapat jaminan kesejahteraan yang jelas. Tetapi melihat situasi hari ini, sepertinya ide-ide semacam itu hanyalah angan-angan belaka.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Pentas Seni Baru itu Bernama Sistem Pendidikan
MAHASISWA BERSUARA: Selubung Operasi Kapitalisme dalam Wacana Pemindahan Ibu Kota Negara
MAHASISWA BERSUARA: Ketika Filologi Menimbang Kota, Sastra Tumbuh Dengan Makna
MAHASISWA BERSUARA: Mencermati Dua Wajah “Garda Demokrasi” di Indonesia

Masyarakat Tani

Secara umum, sebagian besar masyarakat tani di Indonesia berpegang pada sikap menerima utuh terhadap apa yang diberikan kehidupan. Falsafah semacam itu mengandung konstruksi psikologi¬-kultural yang berkaitan dengan penerimaan, kesabaran, dan kebersyukuran. Walau perbandingan modal kapital pra maupun pasca produksi tidak membahagiakan, nyatanya para petani tetap menerima keadaan. Bila pun tidak paling hanya gerutu dalam hati, andai lebih jauh lagi pun akan mentok sebagai obrolan angkringan atau pos kamling.

Cerminan nilai kultural masyarakat tani dapat dilihat pada upacara tertentu ketika menyambut suatu musim. Prosesi tersebut mengandung sebuah konstruksi simbolis bahwa apa yang tumbuh dari tanah sebenarnya berhubungan dengan ketuhanan dan kemanusiaan. Bahkan hal itu dapat dengan mudah ditemukan di sebagian besar wilayah Indonesia. Misalnya, masyarakat tani di Jawa Tengah dan Jawa Timur masih melakukan prosesi ruwatan, wiwitan, dan korsebagai penanda harapan sekaligus rasa syukur.

Hal berbeda terjadi ketika tanah sebagai tempat penghidupan masyarakat tani diusik. Adanya berbagai macam konflik agraria di Indonesia adalah bukti keteguhan masyarakat tani dalam melawan kesewenang-wenangan. Konflik Wadas, Temon, Pakel, dan Kendeng merupakan sedikit contoh di mana masyarakat tani menunjukkan resistensi terhadap ancaman yang tepat tertuju kepada ruang hidup mereka.

Pengertian ruang hidup di sini tidak hanya berpatok pada nilai ekonomi semata. Dapat dipelajari bagaimana keseragaman suara dalam setiap kajian, pers rilis, spanduk, poster, dari setiap konflik yang terjadi. Mayoritas suara menitikberatkan kepada keberlanjutan ekologi, budaya, sejarah, dan aspek-aspek lain yang saling beririsan.

Untuk itu, jargon “setiap pembangunan harus ada yang dikorbankan” justru menunjukkan bahwa orientasi pembangunan tidak memiliki pemahaman etis atas konsep kultural masyarakat tani. Hal ini disebabkan, sebagian besar konflik agraria terjadi karena konsep pembangunan hanya berasal dari satu sisi—pemangku kebijakan. Sedangkan nilai yang tumbuh dan berkembang sejak zaman moyang malah disingkirkan.

Kendati begitu, masyarakat tani cenderung teguh meski kerap “dengan sengaja” dipecah belah. Apa yang mereka hadapi dan tunjukkan dalam lintasan sejarah nyatanya tidak menjadi pembelajaran bagi kekuasaan. Jika memang terus begitu, maka konsekuensi paling buruk yang terawat dalam memori kolektif setiap generasi tidak lebih dari dendam-balas dendam. Bukankah mengerikan?

Waktu: Lampau dan Mendatang

Tidak lama lagi Indonesia akan memasuki tahun politik, peristiwa besar yang secara konstitusional menjadi jembatan untuk mewujudkan harapan kolektif dalam kehidupan berbangsa. Janji kampanye para calon—eksekutif atau legislatif—akan menguar tanpa ampun menyasar siapa pun. Namun, apakah mungkin janji-janji tersebut mengakomodasi kepentingan masyarakat tani?

Sebagaimana pembelajaran atas konflik agraria yang terus terjadi, sepertinya masih jauh untuk mendapati janji yang mewujud. Selain itu, menguatnya fenomena politik trah (baca:keturunan) semakin tidak memberikan kesempatan kepada mereka yang memiliki kompetensi menjawab persoalan ini.

Alih-alih menuju sesuatu yang lebih baik, fenomena yang ada justru terasa menyedihkan. Dalam konteks ini, pengandaian apa pun yang berorientasi keberpihakan kepada masyarakat tani mungkin akan hambar. Tetapi jika hal itu terus dipertahankan, maka ke depan akan menjadi senjata yang menyasar kepada jantung kekuasaan.

Dengan begitu, masyarakat tani sebagai diskursus dapat menjadi sebuah pengantar kritis. Kecakapan mereka menghadapi suatu keadaan setidaknya merepresentasikan bagaimana kerja-kerja arus bawah. Di mana hal itu mampu mencakupi pandangan hidup sekaligus pola gerakan sosial.

Bagaimanapun, menyoal masyarakat tani pada dasarnya adalah membicarakan sesuatu yang kompleks. Karenanya kerja-kerja tanda seru hanyalah tingkatan teknis semata. Meski tanda tanya jarang digunakan, manakala disematkan maka sesuatu yang buruk, menyedihkan, mengerikan, dan memprihatinkan akan menyambut dalam upaya untuk menguraikannya.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//