MAHASISWA BERSUARA: Menggugat Menara Gading
Prinsip dan fungsi kebermanfaatan perguruan tinggi sebagai institusi pengajaran dan penelitian semakin hilang terutama bagi masyarakat sekitar.
Fikri Haikal Panggabean
Mahasiswa Universitas Indonesia
17 Maret 2023
BandungBergerak.id – Sejak awal kemunculannya di nusantara, perguruan tinggi telah menjadi sumber resistansi dan tempat diskusi gerakan progresif. Gerakan progresif paling awal merupakan semangat melawan penjajahan melalui radikalisasi kaum pelajar dan proses penyebaran propaganda ke masyarakat awam dan kaum buruh yang tak jarang tidak pernah mengenyam pendidikan.
Peran dimulai dari pembentukan organisasi, perencanaan strategi hingga kaderisasi yang tidak jarang harus berhadapan langsung dengan para pengajar dan pimpinan sekolah serta otoritas penjajah. Peran perguruan tinggi pada periode revolusi kemerdekaan baru diperoleh kemudian beralih mengusung semangat dekolonisasi dengan mendorong peneliti dan pemikir-pemikir nusantara untuk hadir dan memantik semangat progresif baru, semangat pembangunan.
Pada beberapa periode kelam demokrasi Indonesia peran perguruan tinggi dibatasi dan tidak jarang dibungkam, hingga kulminasi berjuluk reformasi yang sering dijadikan nostalgia para mahasiswa. Namun, bahkan pada saat kaum pelajar serta masyarakat dan kaum buruh secara luas berhasil merenggut secuil kemenangan, proses yang harus ditempuh masih sangat panjang hanya untuk sekadar mempertahankan tersebut. Diskusi atau tendensi saat ini justru merefleksikan kemunduran dari apa yang sudah diperjuangkan dan diperoleh sejak kemenangan kecil tersebut diperoleh.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Relevansi Pemikiran Soedjatmoko sebagai Gerbang Awal Berkelanjutan Merdeka Belajar
MAHASISWA BERSUARA: “Petani Tulang Punggung Bangsaâ€
MAHASISWA BERSUARA: Pentas Seni Baru itu Bernama Sistem Pendidikan
MAHASISWA BERSUARA: Selubung Operasi Kapitalisme dalam Wacana Pemindahan Ibu Kota Negara
Kondisi Menara Gading
Perguruan tinggi beroperasi berpedoman melaksanakan fungsi Tri Dharma, yakni pengabdian kepada masyarakat; pendidikan dan pengajaran, serta penelitian dan pengembangan. Dalam melaksanakan fungsi Tri Dharma, peran perguruan tinggi justru belakangan hanya dipandang sebatas pencetak calon buruh.
Narasi pembentukan kurikulum, kegiatan belajar mengajar berorientasi profit dan korporasi melalui magang dianggap menjanjikan masa depan yang cerah. Alih-alih lagu lama seperti kegiatan organisasi dan kepanitiaan yang semakin dianggap membuang waktu. Fenomena ini tentu saja absah dan valid jika banyak mahasiswa melihat kegiatan identik dengan kemahasiswaan kehilangan pamornya, karena perguruan tinggi juga memberi batasan terhadap jenis kegiatan yang mahasiswa boleh lakukan di lingkungan kampus.
Kembali ke peran Tri Dharma, prinsip dan fungsi kebermanfaatan perguruan tinggi sebagai institusi pengajaran dan penelitian semakin hilang terutama di kalangan masyarakat sekitar. Permasalahan ini tentu saja dapat dikaji dan diklasifikasi sebagai permasalahan sistemik. Analisis tentu dapat berkembang dari segi pendanaan dan alokasi anggaran terhadap perkembangan penelitian, terutama anggaran yang dialirkan ke perguruan tinggi.
Jika berbicara data, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, alokasi dana penelitian Pendidikan Tinggi berjumlah total Rp 2,15 Triliun. Jumlah yang terdengar besar namun ternyata berbanding sangat kecil dengan anggaran lain semisal anggaran belanja pegawai hingga anggaran proyek pembangunan ibu kota yang baru yang masing-masing mencapai ratusan triliun. Kacamata lainnya dapat juga melihat kebijakan yang menitikberatkan sistem pendidikan yang berorientasi pada karier dan permintaan industri, alih-alih menciptakan kurikulum yang komprehensif yang selain menciptakan manusia terampil juga benar-benar memberikan ilmu dan prinsip kemanusiaan.
Dua hal ini tentu akan berdampak pada partisipasi baik dari tenaga pengajar yang juga tenaga ahli dari universitas, maupun para mahasiswa dalam berkontribusi ke komunitas dan lingkungan masing-masing. Beberapa universitas yang dianggap “terkemuka” pun tidak dapat menjadi penjamin dapat membangun lingkungan sekitar universitas tersebut, terlepas dari keberlimpahan sumber daya manusia yang baik. Alih-alih, satu-satunya kontribusi bermanfaat dari kehadiran universitas bagi masyarakat sekitar adalah kegiatan ekonomi sederhana seperti jual beli makanan, atau kesempatan untuk tuan tanah mendapat pemasukan pasif.
Perguruan tinggi yang memiliki status sebagai badan hukum juga sebenarnya memiliki keleluasaan lebih dalam mengatur anggaran masing-masing. Namun alih[1]alih mengalokasikan anggaran untuk pendanaan, perguruan tinggi cenderung fokus terhadap hal yang sebenarnya sangat superfisial seperti peringkat universitas dari berbagai lembaga yang terkadang tidak ada korelasinya terhadap signifikansi kualitas belajar mengajar terlebih manfaat langsung ke masyarakat luas.
Perguruan-perguruan tinggi ternama pun tidak terlihat taringnya dalam menawarkan solusi terhadap berbagai persoalan sosio-ekonomi dan pembangunan secara umum. Mulai dari persoalan kemacetan dan pembangunan sistem kendaraan umum terintegrasi hingga perencanaan kota di kota yang memiliki sekolah perencanaan kota yang ternama, hingga persoalan mahalnya biaya hidup yang tidak sebanding dengan upah buruh yang sangat tidak layak di kota yang memiliki sekolah ternama penghasil pejabat, politisi, hingga pembuat kebijakan nasional. Perguruan tinggi keagamaan pun sering kali gagal dalam menginjeksi nilai-nilai progresif, isu mengenai ketidaksetaraan ekonomi dan isu-isu kelas pekerja bahkan hingga isu lingkungan yang seharusnya sudah menjadi bahasa sehari-hari saat ini. Sumbangsih keilmuan tidak seharusnya hanya sebatas ringkasan kebijakan, publikasi, atau konferensi akademis.
Pemerintah daerah juga seakan-akan menutup kemungkinan kelompok ahli untuk ikut berandil dalam pembuatan kebijakan. Padahal pemanfaatan perguruan tinggi mulai dari daerah urban hingga perguruan tinggi di daerah rural akan berdampak pada semakin komprehensifnya kebijakan publik yang dihasilkan. Negara juga seakan memvalidasi keraguan akademisi maupun civitas perguruan tinggi dengan investasi yang minim terhadap kinerja dan kemampuan mereka. Akumulasi permasalahan sistematis inilah yang kemudian bermuara pada fungsi perguruan tinggi saat ini yang tidak lebih hanya menjadi menara gading, perkumpulan intelektual yang sama sekali tidak inklusif.
Mengusik Menara Gading
Lantas, tentu kajian dan uraian mengenai peran perguruan tinggi seakan membuat kita sekali lagi terpaksa bernostalgia dan berandai-andai. Solusi terhadap permasalahan ini seakan tidak bisa ditemukan karena dunia profesional atau realita di lapangan tidak mengizinkan calon penggerak roda negara, para pelajar, mengeksplorasi rasa kemanusiaan dan nalar waras mereka.
Sistem seakan sudah memutuskan kita semua untuk terprogram untuk menjadi pekerja, berjejalan di kendaraan umum pagi sekali sebelum matahari muncul. Beberapa dari kita memutuskan untuk bergerak melawan arus. Tapi lagi-lagi, perlawanan individu dan sporadis tentu tidak akan dapat menjadi solusi sesuatu yang sistematis dan menahun.
Lagi-lagi kita kembali harus berguru kepada kaum pelajar terdahulu. Belajar kepada gerakan yang terorganisasi dan terarah.
Harapan gerakan akar rumput para pelajar ini dapat menumbuhkan semangat baru dan perlahan mengusik status quo menara gading. Kemudian gerakan diharapkan semakin bertumbuh melibatkan civitas pendidikan lainnya, dan kemudian merangkul kelompok masyarakat dan para buruh secara luas. Gerakan mengakar yang juga melibatkan kaum pekerja, petani, dan pelopor pergerakan lainnya tentu akan sangat berdampak tidak hanya sebagai suara penggerak, namun juga kekuatan pengubah kebijakan. Alih-alih menjadi menara gading, sudah saatnya perguruan tinggi bertransformasi menjadi lumbung[1]lumbung ilmu, layaknya surau-surau di pematang sawah menjadi jendela ilmu bagi anak-anak para petani.