• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Subsidi Kendaraan Listrik hanya Memindahkan Polusi

MAHASISWA BERSUARA: Subsidi Kendaraan Listrik hanya Memindahkan Polusi

Subsidi kendaraan listrik hanya akan mengonversi polusi yang tadinya berada di sektor transportasi, menjadi polusi yang sama parahnya di sektor industri.

Ahmad Ahsani Taqwiim

Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Brawijaya Malang,

Dua unit mobil listrik operasional Sumah Sakit Edelweiss dan satu unit mobil milik pegawai terparkir di parkiran khusus kendaraan listrik Rumah Sakit Edelweiss, Buahbatu, Kota Bandung, Jumat (17/2/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

19 Maret 2023


BandungBergerak.id – Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan mengumumkan subsidi kendaraan listrik. Subsidi ini salah satu tujuannya adalah mengalihkan kendaraan bermotor ke kendaraan yang hemat energi dan ramah lingkungan.

Kebijakan subsidi ini bertujuan untuk mempercepat penggunaan kendaraan listrik agar makin banyak masyarakat yang dapat menjangkaunya.  Dana yang dianggarkan tak main-main, Rp 5 triliun. Subsidi ini bak jalan keluar pemerintah dalam mengatasi masalah pencemaran lingkungan akibat transportasi. Namun, yang terjadi dengan melakukan subsidi kendaraan listrik menurut saya hanyalah pemindahan polusi atau malah menyebarkannya.

Kendaraan listrik merupakan kendaraan yang menggunakan tenaga listrik sebagai penggerak. Kendaraan listrik memang mengeluarkan emisi lebih sedikit jika dibandingkan kendaraan dengan bahan bakar fosil yang saat ini umum digunakan. Asap karbon monoksida yang dihasilkan juga tidak begitu pekat, namun tidak berarti tidak mengeluarkan sama sekali. Namun, digunakannya kendaraan listrik tidak serta-merta akan membuat polusi yang dihasilkan turun drastis serta masih akan memberi sumbangsih terhadap krisis iklim yang terjadi.

Energi listrik yang digunakan di negara kita ini, mayoritas masih didapatkan dari energi tak terbarukan. Sebanyak 61 persen sumber energi listrik di negara kita masih dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang membutuhkan batubara untuk bahan bakarnya. Jumlah yang besar jika dibandingkan dengan Pembangkit Listrik dengan tenaga terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang hanya 8 persen dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang bahkan jumlahnya lebih sedikit lagi, 3 persen.

Pembakaran batubara (yang tentu saja adalah energi tak terbarukan) yang digunakan dalam proses pembangkitan energi listrik akan sama saja menghasilkan polusi jika dibandingkan dengan kendaraan. Dengan kata lain, menggunakan kendaraan listrik sama saja dengan memindahkan polusi yang awalnya bersumber dari knalpot kendaraan bermotor ke daerah tempat pembangkit listrik berada.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Indeks Persepsi Korupsi dan Politik Demokrasi Indonesia yang Terkartelisasi
MAHASISWA BERSUARA: Menggugat Menara Gading
MAHASISWA BERSUARA: Relevansi Pemikiran Soedjatmoko sebagai Gerbang Awal Berkelanjutan Merdeka Belajar
MAHASISWA BERSUARA: “Petani Tulang Punggung Bangsa”

Pemindahan Polusi

Tak hanya dari pembangkit listrik, kendaraan listrik juga menghasilkan polusi. Penggunaannya kendaraan listrik akan memindahkan polusi di tempat lain. Yang disoroti dalam hal ini adalah baterai pada kendaraan listrik.

Baterai yang digunakan kendaraan listrik dibuat dari beberapa komponen yang harus ditambang terlebih dahulu. Dan telah kita ketahui bersama, aktivitas pertambangan di manapun, sudah tentu merusak lingkungan sekitar.

Apalagi salah satu bahan utama pembuatan baterai adalah nikel yang Indonesia, secara “kebetulan” memuncaki produksi tambang nikel dunia. Peran Indonesia pada produksi ini tentu saja berkat tambang dan smelter nikel yang mayoritas berada di Maluku. Tambang dan smelter nikel juga akan menambah masalah lingkungan yang juga mencemari lingkungan dan dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar pabrik.

Satu contoh nyata kerusakan lingkungan akibat smelter nikel terjadi di Pulau Obi. Masyarakat Pulau Obi yang semula berprofesi sebagai petani dan nelayan perlahan mulai tergerus mata pencahariannya. Akses menuju lahan dan kebun menyempit, sungai mengeruh, dan sumber air makin kotor karena limbah pabrik yang masih di buang ke laut lepas. Masyarakat Pulau Obi yang ingin mencari kayu bakar ataupun ke sumber air terdekat pun, sudah tidak bisa leluasa karena daerah sumber air yang sudah termasuk daerah konsesi tambang.

Dengan demikian, pengadaan subsidi kendaraan listrik yang bertujuan untuk membuat energi “hijau” tentulah gagal sedari awal. Bukankah seharusnya dengan kebijakan ini dapat mengurangi polusi yang dihasilkan?. Namun, justru wacana subsidi kendaraan listrik hanya akan mengonversi polusi yang tadinya berada di sektor transportasi, menjadi polusi yang sama parahnya di sektor industri sekaligus merugikan warga sekitar.

Jika subsidi ini nantinya sudah disahkan, maka akan makin banyak orang yang beralih dari mobil lamanya ke mobil listrik. Dengan peralihan tersebut, makin banyak limbah kendaraan yang sudah tidak terpakai. Artinya, dengan menyubsidi kendaraan listrik juga akan menambah jumlah sampah mobil bekas yang tidak sedikit jumlahnya.

Saran untuk Pemangku Kebijakan

Jika memang berniat untuk mengurangi dampak yang dihasilkan kendaraan, rasanya akan jauh lebih efektif mengalokasikan dana yang ada untuk memperbaiki transportasi umum. Dengan mengalokasikan dana ke transportasi umum, fasilitas yang disediakan akan lebih baik dan membuat masyarakat lebih nyaman untuk menaiki transportasi umum. Dengan lebih banyak masyarakat yang menaiki transportasi umum, jumlah kendaraan pribadi yang ada di jalan akan semakin berkurang dan otomatis akan mengurangi emisi yang dihasilkan sekaligus mengurai permasalahan yang banyak terjadi di kota besar, yakni kemacetan.

Artinya? Dengan perbaikan kualitas transportasi umum, akan lebih banyak masalah yang teratasi.

Saran saya saja untuk bapak-bapak terhormat, daripada uang negara dianggarkan untuk menyubsidi mobil listrik, mending digunakan untuk perbaikan kendaraan umum biar bagus yang otomatis membuat masyarakat lebih nyaman buat beralih dari kendaraan pribadi. Janganlah uang pajak yang kami sisihkan dari pendapatan yang tidak seberapa itu dibuat subsidi kendaraan pribadi yang ujungnya menambah kemacetan, apalagi buat beli Rubicon.

Namun, kendaraan masihlah salah satu kebutuhan pokok manusia, termasuk saya sendiri (dan saya yakin pembaca sekalian) yang masih menggunakan kendaraan bermotor untuk ke mana-mana. Untuk meninggalkannya rasanya sulit dilakukan karena belum ada alternatif transportasi yang praktis, terjangkau dan ramah lingkungan yang semoga di masa depan bisa terwujud.

Sembari menunggu hal tersebut, saya mengajak pembaca sekalian untuk memperkecil polusi akibat kendaraan bermotor dengan mengurangi intensitas penggunaannya. Sesederhana jalan kaki jika tujuan dekat, hitung-hitung berolahraga. Dengan kebiasaan kecil tersebut, setidaknya bumi kita akan memiliki waktu yang lebih lama untuk bertahan dari kerusakan yang ditimbulkan karena kebutuhan dan keinginan manusia.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//