MAHASISWA BERSUARA: Mengulas Budaya Menyalahkan Korban yang Mengakar dalam Masyarakat
Persoalan kekerasan dan pelecehan seksual menjadi pelik oleh karena tendensi menyalahkan korban atau “victim blaming”. Upaya membungkam korban.
Antonia Nesa Sekar A.
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta
20 Maret 2023
BandungBergerak.id – Pelecehan seksual merupakan sebuah tindak kejahatan yang melanggar hak asasi manusia. Naasnya, kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual acap kali terjadi. Korbannya pun berasal dari berbagai kalangan usia dan gender. Tidak hanya dewasa, tetapi juga anak-anak dan remaja. Bukan hanya perempuan, tetapi juga laki-laki. Sayang seribu sayang, korban pelecehan dan kekerasan seksual masih belum mendapatkan perlindungan yang layak. Tidak jarang khalayak memandang mereka dengan perspektif menyalahkan korban (victim blaming). Perilaku ini telah mengakar kuat dalam kehidupan sosial masyarakat.
“Coba berkaca dari pakaianmu, siapa yang tidak tergoda dengan itu?” “Tidak sepantasnya kamu pulang larut malam!” “Mana mungkin laki-laki dilecehkan?” Hingga, “Kamu berlebihan, itu kan cuma bercanda!” Contoh tersebut merupakan bentuk dari stigma buruk yang memojokkan korban.
Perlakuan ini hanya akan membuat segalanya menjadi lebih buruk. Dari mana saja korban mendapatkan respons buruk seperti halnya contoh di atas? Teman, kerabat, masyarakat, bahkan beberapa oknum aparat. Pembahasan ini bukanlah sebuah bualan belaka.
Dalam suatu kesempatan, sosialisasi tindak kekerasan dan pelecehan seksual malah menjadi tempat penyebaran victim blaming. Pun pembicaranya adalah salah seorang aparat yang berkecimpung dalam kasus-kasus serupa. Hal yang disampaikan pun masih tak jauh-jauh dari penggunaan pakaian korban yang dianggap terbuka. Sungguh ironis.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Subsidi Kendaraan Listrik hanya Memindahkan Polusi
MAHASISWA BERSUARA: Indeks Persepsi Korupsi dan Politik Demokrasi Indonesia yang Terkartelisasi
MAHASISWA BERSUARA: Menggugat Menara Gading
MAHASISWA BERSUARA: Relevansi Pemikiran Soedjatmoko sebagai Gerbang Awal Berkelanjutan Merdeka Belajar
Penyebab Kuatnya Budaya Victim Blaming
Dikutip dari psikogenesis.com, salah satu penyebab masih kuatnya budaya victim blaming di masyarakat adalah adanya budaya patriarki yang telah berkembang sejak zaman dahulu. Meski bukan hanya perempuan yang bisa mengalami kekerasan dan pelecehan seksual, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa budaya yang telah dibawa sejak lama ini – patriarki menjadi salah satu tonggak berdirinya victim blaming.
Hal ini dikarenakan kecenderungan menganggap bahwa laki-laki adalah sosok yang lebih kuat dan tinggi derajatnya. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Erika Putri Wulandari dan Hetty Krisnani melalui artikel dalam Social Work Journal (Vol. 10 No.2, 2020) milik Universitas Padjadjaran yang berjudul Kecenderungan Menyalahkan Korban (Victim-blaming) dalam Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Sebagai Dampak Kekeliruan Atribusi, menyatakan bahwa victim blaming dapat dipengaruhi oleh adanya mitos pemerkosaan (rape myths) dan kepercayaan pada dunia yang adil (just world beliefs).
Dikutip dari artikel yang sama, mitos pemerkosaan merupakan sebuah bentuk stereotipe tentang tindak kekerasan dan pelecehan seksual, baik mengenai pelaku, korban, maupun tindakan itu sendiri dengan kecenderungan menyalahkan korban karena tindakannya yang dianggap provokatif. Sementara itu, kepercayaan pada dunia yang adil merupakan sebuah konsep yang mempercayai bahwa dunia yang kita tinggali ini ialah tempat yang aman dan segala perilaku memiliki timbal baliknya sendiri. Hal ini berkaitan pula dengan kepercayaan akan seseorang yang berkelakuan baik akan mendapatkan perlakuan yang baik pula. Adapun sebaliknya, seseorang yang dianggap berkelakuan buruk atau menyimpang dikatakan pantas mendapatkan perlakuan serupa.
Selain itu, masyarakat Indonesia telah tumbuh dengan budaya yang terkesan menyalahkan dan menghakimi pihak lain. Ketika seorang anak jatuh terpeleset, maka lantai licin yang akan disalahkan. Bukankah ini akan menjadi sebuah kebiasaan yang akan terus dibawa? Bukankah kebiasaan ini selaras dengan keadaan yang ada pada kasus pelecehan dan kekerasan seksual? Padahal korban tidak menginginkan hal itu terjadi. Namun, mengapa mereka terus disalahkan? Perlindungan dan rasa aman adalah hal yang mereka butuhkan, tetapi hanya stigma buruk yang mereka dapatkan.
Fakta-fakta Lapangan
Dilansir dari Republika.co.id, anggota Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menegaskan bahwa gaya berpakaian bukanlah sebuah aksi provokatif untuk tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Pelaku dan korban pun memiliki kecenderungan saling mengenal. Hal ini tentu dapat menjadi salah satu temuan yang dapat membantah bahwa pakaian adalah pemicu pelecehan. Sementara itu, kekerasan dan pelecehan seksual tidak mengenal waktu. Tidak jarang, kasus-kasus yang ada terjadi ketika siang hingga sore hari.
Pelecehan seksual yang tidak melulu berbicara mengenai pemerkosaan, terjadi di ruang publik dengan korban yang beragam. Mulai dari anak usia sekolah, mahasiswa, masyarakat usia produktif, bahkan lansia. Pelaku pun bisa dari kerabat, teman, bahkan orang asing. Semuanya itu juga tidak melulu tentang aksi yang dianggap provokatif. Oleh karena itu, korban tidak pantas untuk dihakimi.
Terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual pada sejatinya merupakan sebuah tindakan para pelaku untuk menunjukkan bahwa mereka lebih kuat dan lebih hebat. Pelaku cenderung menginginkan atensi untuk dianggap memiliki kuasa. Hal tersebut tentu bukan sebuah akibat dari perilaku korban. Kekerasan dan pelecehan seksual murni karena kesalahan dan obsesi pelaku.
Membungkam Korban
Secara sadar maupun tidak sadar, victim blaming merupakan sebuah tindakan membungkam korban kekerasan dan pelecehan seksual. Dengan victim blaming yang mengakar kuat, korban akan cenderung takut untuk speak up.
Melapor pada pihak berwajib, ataupun orang terdekat, membutuhkan keberanian besar. Apalagi dengan stigma-stigma yang menghantui. Perasaan cemas dengan persepsi yang akan memojokkan dan menyalahkan, akan menumbuhkan ketidaksiapan seorang korban untuk berani menyuarakan kesesakannya. Perlakuan tidak mengenakkan yang menimbulkan trauma, pada akhirnya akan semakin memburuk dengan masyarakat yang menganggapnya sebagai aib. Tidak jarang korban kekerasan dan pelecehan seksual memendamnya dan baru berani berterus terang setelah sekian lama. Pun usai berterus terang, masih ada saja respons yang menyalahkan korban.
Rasa kalut yang semakin memuncak oleh karena trauma dan stigma yang memojokkan korban juga menjadi salah satu penyebab timbulnya depresi. Hak perlindungan yang tidak korban dapatkan akan berdampak pada psikologis dan kehidupan sosial. Jika hal ini telah terjadi, masyarakat pun tidak akan terlalu peduli. Bahkan karena kurangnya atensi masyarakat terhadap isu-isu kesehatan mental dan kekerasan seksual, mereka hanya akan menganggap korban sebagai orang yang buruk dan penuh aib. Lalu di mana letak keadilan dan perlindungan korban? Bukankah seharusnya mereka mendapatkan hak untuk dibela?
Harapan pada Masyarakat Luas dan Lembaga Berwenang
Penyintas tindak kekerasan dan pelecehan seksual patut dilindungi. Alih-alih memojokkan dan terus menyalahkan korban, sepatutnya mereka mendapatkan rasa aman dan perlindungan dari orang-orang di sekitar serta lembaga yang berwenang. Diharapkan agar masyarakat terlebih orang-orang terdekat korban dapat mendengarkan cerita korban dan memahami perasaannya, bukan menghakimi.
Menciptakan lingkungan dan perasaan aman serta memberikan dukungan kepada korban juga sangat penting untuk dilakukan. Jika hal tersebut sangat sulit untuk dilakukan, simpati adalah jalan yang terbaik. Cukup diam dan memberikan ruang aman bagi penyintas sudah cukup membantu mereka. Sementara itu, lembaga yang berwenang serta aparatur negara diharapkan dapat membantu korban mendapatkan keadilan. Tentunya dengan menegakkan hukum dengan tidak melakukan victim blaming selama prosesnya.