• Riset
  • RISET UNPAR: Populisme Pragmatis pada Politik Indonesia dalam Rivalitas Jokowi-Prabowo

RISET UNPAR: Populisme Pragmatis pada Politik Indonesia dalam Rivalitas Jokowi-Prabowo

Populisme pragmatis sudah dipraktekkan pemimpin Indonesia sejak mula merdeka. Rivalitas Jokowi-Prabowo dalam pemilihan presiden 2019 meneguhkannya kembali.

Pemilu 2024 mulai terasa dengan hadirnya poster kampanye terselubung dari tokoh partai politik. Sementara KPU Jawa Barat juga tengah menyiapkan tahapan Pemilu 2024, di Bandung, 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Tim Penulis BandungBergerak.id30 November 2022


Riset BandungBergerak.id—Pemilihan presiden Indonesia pada tahun 2019 masih berdampak hingga saat ini. Rivalitas pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amien dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada saat pemilu membuat masyarakat terbelah. Kendati pasangan Jokowi terpilih kembali menjadi presiden, disusul bergabungnya Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dalam kabinet, tidak juga membuat dua kubu pendukungnya berdamai. Sebutan cebong yang disematkan pada pendukung Jokowi, dan kampret pada pendukung Prabowo, tetap wara-wiri dalam lini masa percakapan di media sosial untuk saling berseteru hingga saat ini.

Penelitian Albert Triwibowo dari Institut für Politik- und Verwaltungswissenschaften, Universitas Rostock, bersama Jessica Martha dari Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan, yang terbit dalam “Jurnal Insignia Hubungan Internasional” pada November 2021 memberikan perspektif yang relatif jarang dipergunakan untuk membedah rivalitas Jokowi-Prabowo. Penelitian Triwibowo & Martha memperlihatkan bagaimana masing-masing kandidat hanya memanfaatkan populisme demi alasan pragmatis untuk berebut kekuasaan politik. 

Triwibowo & Martha memanfaatkan jurnal serta artikel berita yang memuat pernyataan Jokowi dan Prabowo saat kampanye pemilihan presiden 2019 untuk melihat kejelasan penggunaan populisme.  Jokowi dan Prabowo, masing-masing memperlihatkan penggunaan populisme sebagai strategi politik. Populisme yang sejatinya merupakan motif anti-elit, di tangan keduanya menjadi tidak konsisten. Pragmatisme kekuasaan atas klaim kerakyatan, berbeda dalam kenyataannya.

“Para pemimpin politik di Indonesia berusaha untuk maju serta mencari kompromi dan dukungan dari berbagai kalangan, termasuk yang dicap elit oleh kaum populis itu sendiri,” tulis Triwibowo & Martha (2021).

Baca Juga: RISET UNPAR: Bahaya Penyalahgunaan Praperadilan
RISET UNPAR: Menyiapkan UMKM Menghadang Resesi
RISET UNPAR: Seni Terpadu atau Integrated Arts sebagai Alternatif Pendidikan Kesenian
RISET UNPAR: Model Matematika untuk Mencegah Penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD) pada Kelompok Usia Muda

Populisme Pragmatis

Populisme sejatinya terjadi dalam kerangka relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara rakyat versus elit. Memang belum ada definisi tunggal dalam populisme. Sebagian sarjana ilmu politik berpendapat populisme adalah ideologi (Mudde, 2004), lainnya hanya membingkainya sebagai gaya kepemimpinan atau sebatas strategi politik (Weyland, 2001). Ada juga yang mendefinisikan dengan menjangkau karakteristik kepemimpinan populis (Pakulski, 2018).

Dari berbagai definisi tersebut, Triwibowo & Martha mendefinisikan populisme secara luas. Populisme sebagai strategi politik yang digunakan pemimpin untuk mencapai tujuan dengan mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari rakyat yang berjuang melawan elit. Sementara dalam hal pemimpin pragmatis, cenderung menggunakan populisme secara retorika, dia dapat mengakomodasi ide-ide yang berbeda meskipun harus bekerja dengan elit.

Triwibowo & Martha menunjukkan perbedaan karakteristik antara pemimpin populis ideal dengan pemimpin populis pragmatis. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari strategi politik dan kepemimpinan terkait dengan Kebencian, Representasi, dan Hubungan sebagai karakteristiknya.

Ketika pemimpin populis ideal menempatkan kebenciannya pada kelompok tertentu sebagai musuh, kaum pragmatis cenderung melakukan kompromi tanpa menargetkan kelompok tertentu. Ketika pemimpin populis ideal merepresentasikan diri sebagai bagian dari rakyat, populisme pragmatis berupaya berdiri di tengah, mengakomodir “rakyat” dan “elit”. Dalam karakteristik hubungan antara pemimpin dan orang yang diwakilinya, pemimpin pragmatis cenderung menggabungkan komunikasi langsung dan tidak langsung dengan menggunakan perantara.

Pemilu 2024 masih 24 bulan lagi, namun kini isunya mulai santer. Pesan politik bertebaran baik di jalan raya maupun yang diusung demonstrans, di Bandung, 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Pemilu 2024 masih 24 bulan lagi, namun kini isunya mulai santer. Pesan politik bertebaran baik di jalan raya maupun yang diusung demonstrans, di Bandung, 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Populisme Pragmatis di Indonesia

Triwibowo & Martha mengatakan jalan Indonesia menuju populisme pragmatis terentang jauh sejak awal kemerdekaannya. Populisme pragmatis sebagai strategi menarik dukungan dipergunakan pertama kali oleh Presiden Pertama RI Soekarno.

Soekarno menggunakan strategi populis dengan doktrin Marhaenisme mewakili perjuangan kelas pekerja di pedesaan atau wongcilik. Gagasan wongcilik tersebut hingga kini masih relevan dalam politik Indonesia. Presiden Kedua RI Soeharto kemudian menekan politik masa dan populisme di Indonesia.

Kebangkitan populisme di Indonesia dimulasi di era reformasi dengan kemunculan Megawati Soekarnoputri yang membangkitkan kembali doktrin ayahnya tentang Marhaenisme. Megawati sempat dipandang sebagai simbol yang merepresentasikan rakyat Indonesia yang menjadi korban rezim otoriter Soeharto.

Namun Megawati mungkin yang pertama mempraktekkan populisme pragmatis di Indonesia. Dia mewarisi citra populis ayahnya, namun kebijakan pemerintahannya bersifat pragmatis. Diantaranya ketidakpuasan masyarakat  dalam isu privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Presiden RI selanjutnya menggunakan populisme dengan lebih pragmatis. Triwibowo & Martha mengutip penelitian Mietzner (2009), yang menggambarkan kebijakan Presiden Kelima RI Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memanfaatkan subsidi ekonomi berupa bantuan langsung tunai menjelang pemilihan presiden untuk meningkatkan citra positifnya yang sempat turun.

Rivalitas Jokowi Versus Prabowo

Triwibowo & Martha mengatakan banyak sarjana ilmu politik menempatkan Jokowi dan Prabowo sebagai contoh pemimpin populis Indonesia. Namun keduanya mempraktekkan jenis populisme yang berbeda.

Jokowi disebut sebagai pemimpin populis yang santun, sementara Prabowo dianggap sebagai pemimpin populis ideal. Namun keduanya sama-sama menggunakan populisme secara pragmatis sebagai strategi politik untuk mencapai tujuan politiknya masing-masing.

Analisa terhadap tiga indikator posisi populis Jokowi dan Prabowo menunjukkan kecenderungan keduanya mempraktekkan populisme pragmatis. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari strategi politik dan kepemimpinan masing-masing terkait dengan Kebencian, Representasi, dan Hubungan sebagai karakteristiknya. Keduanya menggunakan istilah rakyat secara pragmatis bergantung pada situasi yang dihadapi.

Pertama, dalam analisis strategi politik dan kepemimpinan terkait kebencian. Jokowi dan Prabowo sama-sama memposisikan diri mengkritik elit. Bedanya, Jokowi mengkritisi pemerintahan sebelumnya, sementara Prabwowo menegur pemerintahan Jokowi.

Prabowo dalam satu kesempatan mengatakan pemerintah Jokowi yang kurang kuat sebagai produk hasil dari ketidakpastian hukum dan konflik antara lembaga pemerintahan. Prabowo menuduh pemerintah melakukan banyak pelanggaran selama pemilu, ekonomi negara dan kekuatan militer yang lemah, serta negara yang dibawa ke arah yang salah. Prabowo juga menuding elit Jakarta yang terus berbohong pada rakyat.

Prabowo menggunakan sejumlah frasa kata yang menciptakan rasa antagonisme antara baik dan buruk. Dia menggunakan menyebutkan pemerintah ugal-ugalan dan sembrono. Dia menyebut Indonesia berada dalam era kebodohan ekonomi untuk menggambarkan situasi perekonomianyang prakteknya dinilai lebih buruk dari sistem ekonomi neo-liberal.

Jokowi di satu sisi menempatkan kritiknya tertuju pada pemerintahan era sebelumnya. Jokowi dalam salah satu pidatonya menyinggung keadilan sosial dengan menawarkan solusi kebijakan harga tunggal bensin di Indonesia. Meski tidak menuding langsung, banyak pengamat yang menilai pidato tersebut ditujukan pada pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Kendati mendapat tanggapan dari SBY, tapi Jokowi memilih tidak meladeninya. Jokowi kemudian melangkah lebih jauh dengan membahas ketidakadilan di Papua dengan mengacu pada harga bensin. Di Jawa bensis sekitar Rp 7 ribu, sementara di Papua bisa melompat hingga Rp 100 ribu per liternya. Jokowi menyebutkan penciptaan keadilan sosial dimulai dengan bensin harga tunggal. 

Kedua, pada analisa politik dan kepemimpinan terkait representasi, Jokowi dan Prabowo sama-sama mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari rakyat. Namun keduanya menempatkan representasinya tersebut sebagai hal yang pragmatis.

Prabowo dengan strategi politiknya mencoba memobilisasi dukungan rakyat dari kelompok miskin pedesaan yakni petani. Namun upayanya dinilai hanya untuk mengurangi citranya sebagai bagian dari elit.

Sementara Jokowi berusaha menempatkan dirinya mewakili rakyat dengan bertemu dan berdialog dengan berbagai komunitas. Jokowi berinteraksi dengan masyarakat Indonesia yang dianggap terabaikan oleh pemerintah sebelumnya. Misalnya menjadi presiden Indonesia pertama yang mengunjungi Papua. Upaya tersebut dianggap menjadi terobosan karena menepis anggapan umum bahwa pembangunan terpusat hanya di Jawa.

Ciri ketiga, pada karakteristik hubungan antara pemimpin dengan konstituennya. Jokowi menunjukkan pendekatan populis dengan hobinya buluskan, kunjungan dadakan ke tempat-tempat umum untuk mendengarkan langsung aspirasi masyarakat. Prabowo setali tiga uang. Prabowo melakukan upaya serupa. Dia melakukan kunjungan dadakan ke pasar-pasar sejak menjabat sebagai Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia.

Populisme Pragmatis Jokowi-Prabowo

Triwibowo & Martha menilai Jokowi dan Prabowo mempraktekkan populisme sebagai strategi politiknya secara pragmatis. Antagonisme antara elit dan rakyat tidak terpolarisasi seperit yang seharusnya dibawa oleh pemimpin populis. Keduanya menggunakan strategi kerakyatan (anti-elit) secara tidak konsisten. Strategi kerakyatan dipergunakan dengan alasan pragmatis untuk lebih banyak menarik dukungan.

Prabowo misalnya dalam satu kesempatan menyerang pemerintahan Jokowi, namun mengakui adanya beberapa prestasi yang dicapai. Prabowo yang berusaha mengidentifikasi diri sebagai suara petani Indonesia, dalam beberapa kesempatan tampil menunjukkan identitasnya sebagai jenderal militer. Dua hal tersebut dinilai kontradiktif, karena tentara adalah bagian dari kelompok elit negara. Prabowo dalam beberapa kesempatan juga secara terbuka mencari dukungan elit. Misalnya saat diakbarkan mengunjungi Cendana untuk mencari dukungan dari mantan istrinya, Titiek Soeharto.

Prabowo yang mencari dukungan dari tingkat akar rumput, dengan rajin menyerang pemerintah Jokowi, namun dominasi pemilihnya berasal dari kelas menengah. Survei yang dilakukan  LingkaranSurvei Indonesia (LSI), KonsepIndo, LitbangKompas, CSIS dan IndikatorPolitik Indonesia menunjukkan Prabowo populer di kalangan elite, seperti elite perkotaan dan kalangan terpelajar. Prabowo sengaja memilih Sandiaga Uno, yang lebih menarik bagi masyarakat, untuk mendapatkan banyak dukungan dari akar rumput. 

Fenomena yang sama terlihat pada Jokowi. Jokowi yang berasal dari partai nasionalis, sengaja menggandeng Ma’ruf Amien untuk menarik dukungan kelompok agama. Jokowi juga mewakili kalangan elit dengan mengantungi dukungan dari kalangan pengusaha seperti Erick Tohir, Hari Tanoesoedibjo, Surya Paloh dan Oesman Sapta Odang.

Jokowi jarang mengkritik elit di depan publik, tapi sering berbicara tentang keadilan sosial tanpa merujuk pada aktor tertentu. Jokowi terlihat sering mengupayakan kompromi antara rakyat dan elit dan rakyat dengan penggunaan diksi bahasa yang tidak konfrontatif. Jokowi sering menyampaikan ajakan agar semua institusi harus bekerja untuk rakyat. Jokowi juga mendukung demokrasi yang lebih baik, sesuatu yang jarang terlihat dalam perilaku populis ideal.

Populisme Pragmatis pada Pemilu 2024?

Gagasan populisme sedianya menciptakan polarisasi antara “rakyat” dan “elit”, namun di Indonesia melahirkan antagonisme yang berbeda. Karakteristik strategi politik populis hanya dipergunakan secara pragmatis hanyalah untuk mengatasi kendala politik. Populisme pragmatis dimanfaatkan untuk menggalang dukungan lebih banyak, dan berkomunikasi dengan khalayak yang lebih luas. Namun, Triwibowo & Martha masih belum bisa menyimpulkan apakah populisme yang dipraktekkan di Indonesia merupakan populisme jenis baru.

Triwibowo & Martha melihat fenomena kecenderungan pemimpin Indonesia untuk menggunakan populisme hanya sebagai strategi kepemimpinan untuk mencari dukungan yang lebih besar. Rivalitas Jokowi versus Prabowo selama kampanye pemilihan presiden 2019, sekali lagi menunjukkan populisme hanyalah alat.

Triwibowo & Martha menyimpulkan populisme pragmatis di Indonesia menempatkan pemimpin berada di tengah “rakyat” dan “elit”. Para pemimpin populis Indonesia menggalang dukungan “rakyat” dengan menentang kelompok elit, sekaligus berbaur di antara “elit” itu sendiri. Populisme mendorong pemimpin untuk mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari “rakyat”, namun pragmatisme mendorong para pemimpin politik mencari, mempertahankan, dan menggabungkan dukungan termasuk yang berasal dari kelompok “elit”.

Pemerintah, DPR, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyepakati pemilihan umum (pemilu) akan dilaksanakan pada tanggal 24 Februari 2024. Pemilu yang berlangsung lima tahun sekali, untuk pertama kalinya akan memilih sekaligus anggota legislatif di level pusat dan daerah, presiden, gubernur, sekaligus bupati/walikota. KPU telah mengumumkan seluruh tahapan pemilu tersebut dimulai pada 14 Juni 2022. Dan saat ini tengah memasuki tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik sebagai peserta pemilu.

Seperti kebanyakan pemilu di sejumlah negara, pemilihan pemimpin pemerintahan adalah puncak dari penyelenggaraan pesta demokrasi. Di Indonesia puncaknya adalah pemilihan presiden dan wakil presiden. Rakyat yang akan memilih langsung. Suara rakyat setiap lima tahun sekali menjadi rebutan. Populisme pragmatis kemungkinan akan mendapatkan relevansinya kembali.

*Artikel RISET UNPAR terbit sebagai bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Unpar Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//