• Riset
  • RISET UNPAR: Bahaya Penyalahgunaan Praperadilan

RISET UNPAR: Bahaya Penyalahgunaan Praperadilan

Lembaga praperadilan sejatinya bertujuan untuk melindungi warga negara yang sedang berhadapan dengan hukum pidana. Dalam perkembangannya berpotensi merusak sistem hu

Seorang warga berdiri di depan Pengadilan Negeri Bandung Kelas 1A Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jalan R.E. Martadinata, Citarum, Kota Bandung, Selasa (12/7/2022). (Foto Ilustrasi: Choerul Nurahman/BandungBergerak.id)

Penulis Tim Penulis BandungBergerak.id29 November 2022


Riset BandungBergerak.id—Upaya hukum praperadilan seakan dimanfaatkan oleh tersangka untuk lepas dari jerat kasus hukum pidana, utamanya pada kasus dugaan korupsi. Cukup dengan melayangkan gugatan praperadilan di pengadilan tingkat pertama akan mendapatkan hasil putusan yang langsung final dan mengikat. Jika dikabulkan, putusan hakim praperadilan bisa sekaligus menghentikan ikhtiar penegak hukum meneruskan penyelidikan perkara.

Kesan tersebut semakin kuat dengan melihat statistik penambahan kasus praperadilan. Ini dapat dicermati dari catatan yang tersimpan dalam Direktori Putusan di situs Mahkamah Agung (mahkamahagung.go.id). Pada 2013 hanya ada 2 perkara kasus praperadilan yang diputus hakim. Jumlah ini kemudian terus meningkat. Pada 2014 ada 4 perkara, 2015 loncat menjadi 41 perkara, dan puncaknya terjadi pada tahun 2016 dengan 230 perkara.

Tahun 2015 menjadi titik awal melonjaknya kasus praperadilan di pengadilan tingkat pertama. Jika diselisik, ada banyak peristiwa yang terjadi yang mengubah sistem praperadilan di Indonesia.

Dua peristiwa yang menjadi titik baliknya. Pertama gugatan praperadilan yang dilayangkan Budi Gunawan, calon Kapolri, pada KPK atas penetapan status tersangka dugaan gratifikasi. Awal mulanya adalah temuan PPATK atas rekening gendut jenderal polisi. Hakim Tunggal Sarpin Rizaldi mengabulkan gugatan Budi Gunawan lewat putusannya di Pengadilan Jakarta Selatan tanggal 16 Februari 2015.

Praperadilan Budi Gunawan saat itu menjadi kontroversi. Banyak ahli hukum berpendapat agar sedari awal pengadilan menolaknya. Dosen Hukum Pidana Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan berpendapat bahwa ketentuan Pasal 77 KUHAP tidak mengatur kewenangan praperadilan terkait penetapan tersangka (antikorupsi.org). Adapun yang menjadi kewenangan praperadilan dalam Pasal 77 tersebut  hanya pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, serta ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Peristiwa kedua adalah Keputusan Mahkamah Konstitusi tertanggal 28 April 2015.  Mahkamah Konstitusi memeriksa permohonan Judicial Review terhadap pasal 77 KUHAP yang dilayangkan oleh Chevron Bachtiar Abdul Fatah. Keputusan tersebut memperluas objek praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP. Melalui putusan ini, Mahkamah Konstitusi justru memperluas persoalan yang terhadapnya dapat diajukan praperadilan, yaitu penetapan tersangka, penggeledahan, serta penyitaan.

Sejak saat itu, sebagian besar tersangka yang terjerat kasus dugaan korupsi secara otomatis melayangkan gugatan praperadilan. Seakan mencoba peruntungan untuk lepas dari jerat perkara. Banyak yang lolos, ada juga yang gagal.

Kasus yang terbaru melibatkan Mardani H. Maming, bupati Tanah Bumbu. Ia karena ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas kasus dugaan suap izin usaha pertambangan, kemudian melayangkan gugatan praperadilan untuk mencoba lepas dari jerat kasus korupsi yang dituduhkan padanya. Putusan sidang praperadilan Pengadilan Jakarta Selatan tanggal 27 Juli 2022 memenangkan KPK.

Ramsen Marpaung dan Tristam Pascal Moeliono; keduanya dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, melakukan penelitian pada penerapan praperadilan di Indonesia. Hasil penelitian tersebut diterbitkan dalam Jurnal Wawasan Yuridika Vol. 5 No. 2, September 2021, berjudul “Perbandingan Hukum antara Prinsip Habeas Corpus dalam Sistem Hukum Pidana Inggris dengan Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia”.

Di dalam tulisan itu kedua peneliti memberikan peringatan keras terhadap praktek praperadilan yang berkembang. Ditengarai muncul kecenderungan praperadilan di Indonesia menjadi malacious. “Bahkan apabila dibiarkan, maka sesuatu yang malicious tersebut berpotensi memorak-porandakan sistem peradilan pidana Indonesia,” tulis keduanya dalam jurnal tersebut.

Penelitian dilakukan dengan menganalisa penerapan praperadilan di Indonesia yang mengadopsi Habeas Corpus dari sistem peradilan pidana di Inggris. Peneliti menelaah sejauh mana prinsip yang terkandung dalam Habeas Corpus juga menginsiprasi praperadilan dan bagaimana kemudian pranata hukum ini berkembang dalam sistem hukum (pidana) Indonesia.

Baca Juga: RISET UNPAR: Menyiapkan UMKM Menghadang Resesi
RISET UNPAR: Seni Terpadu atau Integrated Arts sebagai Alternatif Pendidikan Kesenian
RISET UNPAR: Model Matematika untuk Mencegah Penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD) pada Kelompok Usia Muda
RISET UNPAR: Pandemi Mengubah Perilaku Warga, Belanja Daring Jadi Pengisi Kesenangan

Praperadilan Mengadopsi Habeas Corpus

Awal mula praperadilan dapat ditelusuri dari pernyataan Adnan Buyung Nasution. Ia menjelaskan latar belakang kehadiran lembaga praperadilan, pilihan yang dianggap lebih masuk akal saat itu (era 70-80an) dibandingkan menggunakan hakim komisaris sebagai pengawas. Apalagi, kekuasaan kehakiman pada saat itu masih menjadi bagian dari alat kekuasaan pemerintah (Orde Lama maupun kemudian Orde Baru).  Situasi ini tidak memungkinkan ditempatkannya hakim sebagai pengawas institusi penyidik. Sebagai alternatif pilihan jatuh pada model pengawasan, yaitu dengan mengadopsi konsep Habeas Corpus yang diwujudkan dalam bentuk lembaga praperadilan (Supriyadi Widodo Eddyono, 2014).

Oemar Seno Adji (Anggara dkk, 2014) menegaskan, konsep Habeas Corpus dalam sistem hukum acara pidana Indonesia sengaja dimunculkan sebagai alat uji terhadap keabsahan proses (penerapan upaya paksa) penangkapan dan penahanan, terutama karena kedua upaya paksa tersebut nyata merupakan indruising terhadap hak-hak dan kebebasan dasar manusia. Itu alasannya mengapa pemberian kewenangan pada pengadilan untuk menguji keabsahan upaya hukum menjadi perlu.

Praperadilan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). UU ini disahkan pada 31 Desember 1981. Secara khusus praperadilan diatur di dalam ketentuan Pasal 1 butir 10 KUHAP, serta Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP. Keputusan Mahkamah Konsitutusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 16 Maret 2015 memperluas isi pasal 77 KUHAP tersebut.

Peneliti selanjutnya menjelaskan persamaan-perbedaan sistem peradilan pidana di Inggris dan tempat Habeas Corpus di dalamnya. Salah satu rujukan yang digunakan adalah Tolib Effendi dalam bukunya “Sistem Peradilan Pidana, Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara” (2013). Sistem hukum Inggris dapat dikategorikan sebagai Common Law System.  Sebaliknya sistem hukum Indonesia dapat digolongkan ke dalam tradisi hukum Civil Law System. Namun, terlepas dari perbedaan tradisi hukum di atas, secara garis besar sistem peradilan pidana Inggris mau pun Indonesia meliputi elemen penegak hukum yang tidak berbeda dengan negara lainnya yakni meliputi kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.

Pengadilan tingkat pertama yang wenang memeriksa-memutus perkara pidana di Inggris disebut Magistrates Courts.  Di pengadilan ini proses pemeriksaan tindak pidana dimulai. Lingkup kewenangan pengadilan ini adalah memeriksa-memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang diajukan kehadapannya, pemeriksaan pengajuan jaminan, termasuk menerbitkan – atas permintaan penyidik – surat penangkapan/penahanan atau penggeledahan.  Selanjutnya dengan merujuk pada Magistrates Courts Act diketahui pula bahwa hakim memiliki kewenangan untuk mengawasi kinerja penyidik (polisi) terutama terkait dengan pelaksanaan upaya paksa: penangkapan dan penahanan.

Bagaimanapun juga ditemukan bahwa Habeas Corpus di Inggris pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme kontrol (pengawasan).  Kewenangan pengawasan in diberikan pada hakim Magistrates Courts, yakni untuk menguji keabsahan penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh pihak kepolisian Inggris. Salah satu ukurannya adalah seberapa jauh kegiatan itu sejalan dengan kebijakan Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated Sistem of Policing). Satu catatan penting di sini ialah bahwa pengawasan perihal keabsahan justru dilakukan sebelum upaya paksa penangkapan dan penahanan dapat dilaksanakan. Hakim yang akan memberikan persetujuan untuk melaksanakan penangkapan dan penahanan tersebut.

Hakim di ruang sidang Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Selasa (11/1/2022), saat membacakan putusan pengadilan. (Foto Ilustrasi: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Hakim di ruang sidang Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Selasa (11/1/2022), saat membacakan putusan pengadilan. (Foto Ilustrasi: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Perbedaan Praperadilan dan Habeas Corpus

Praperadilan dan Habeas Corpus sejatinya adalah mekanisme kontrol terhadap prosedur penegakan hukum pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Peneliti mengurai perbedaan di antara keduanya.

Pertama, pada cakupan objek pengujian. Habeas Corpus hanya melakukan pengujian pada sah tidaknya penangkapan dan penahanan yang akan dilakukan kepolisian. Habeas Corpus menjadi mekanisme pengawasan  yang dilakukan oleh Pengadilan Magistrate justru sebelum upaya paksa penangkapan dan penahanan dilakukan.

Sementara objek cakupan praperadilan jauh lebih luas. Tidak sebatas pengujian sah tidaknya penangkapan dan penahanan, tetapi juga mencakup penghentian penyidikan atau tuntutan, permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya. Ini dapat terbaca dari ketentuan Pasal 77 KUHAP. Bahkan saat ini, sebagaimana telah disinggung di atas, objek perkara tersebut diperluas lagi oleh Mahkamah Konstitusi hingga menjangkau pada penetapan tersangka, penyitaan, penggeledahan, serta pemblokiran rekening.

Kedua, waktu pengujian. Habeas Corpus di Inggris melakukan pengujian sejak di awal penyidikan sebagai peran aktif negara yang dijalankan oleh hakim Magistrate untuk mengawasi kinerja kepolisian yang sejatinya adalah to serve and protect the public. Untuk melakukan penangkapan misalnya, penyidik harus mengantungi surat perintah pengadilan.

Sementara itu, praperadilan di Indonesia, kendati sama-sama melakukan pengujian serupa namun hal tersebut dilakukan setelah semua tindakan upaya paksa telah dilakukan oleh penyidik. Penangkapan dan penahanan misalnya cukup berbekal surat perintah dari atasan penyidik atau penuntut. Pengujian oleh pengadilan dilakukan belakangan, itu pun jika tersangka atau keluarganya mengajukan permohonan praperadilan (keberatan).

Ketiga, perbedaan terletak pada cara pengujian. Habeas Corpus memiliki jangkauan pengujian yang  lebih luas. Pengujian dilakukan tidak hanya pada fase Pra-Ajudikasi, tetap juga pada fase Ajudikasi, hingga Purna Ajudikasi.

Sebagai bandingan dan sekaligus kritik dapat disimpulkan bahwa jangkauan pengujian hakim praperadilan hanya berada pada Yurisdiksi Post Vacum atau Post Facto. Hakim praperadilan hanya memiliki pengetahuan terbatas pada fase Pra Ajudikasi, sebatas surat yang diterbitkan penyidik. Hakim praperadilan hanya melakukan pemeriksaan sebatas prosedur administratif, seperti kelengkapan surat. Artinya, jika kelengkapan administratif sudah terpenuhi, upaya paksa dinilai sah oleh pengadilan. Pengujian yang dilakukan justru tidak menyentuh substansi terkait ada tidaknya penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum.

Kesimpulan dan Saran

Peneliti beranjak dari pengandaian bahwa pranata hukum praperadilan merupakan transplantasi dan adaptasi dari konsep Habeas Corpus. Hanya saja dalam prakteknya, praperadilan mengalami perkembangan dan perubahan. Mekanisme praperadilan yang sejatinya bertujuan untuk melindungi mereka yang berhadapan dengan penegakan hukum pidana dari penyalahgunaan kewenangan justru berkembang menjadi sesuatu yang lain dan tidak lagi untuk melindungi rakyat dari penyalahgunaan kewenangan penyidik.

Praperadilan di Indonesia dalam prakteknya berpeluang menjadi sarana untuk melegitimasi kesewenang-wenangan penyidik dalam melakukan upaya paksa penangkapan dan penahanan. Potensi tersebut terbuka saat hakim praperadilan hanya dituntut untuk memeriksa prosedur administratif perkara.

“Bahkan, ada potensi praperadilan akan digunakan menjadi suatu yang malicious oleh tersangka ‘eksklusif’, baik secara harta dan jabatan, yang akan berusaha untuk memenangkan perkara praperadilan dengan tujuan terbebas dari hukuman dengan cara cepat dibandingkan dengan lamanya persidangan pokok perkara,” tulis peneliti dalam jurnalnya.

Peneliti menyimpulkan praperadilan yang diterapkan saat ini sudah melenceng dari semangat awal Habeas Corpus. Praperadilan sejatinya untuk mengawasi kinerja penyidik, yakni agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.

Peneliti menyarankan agar secepat dilakukan upaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada sistem peradilan pidana Indonesia, khususnya pranata hukum praperadilan sebelum situasinya  semakin memburuk. Upaya yang perlu dikedepankan adalah dengan mengembalikan marwah praperadilan sebagai sarana untuk melindungi hak-hak dasar warga negara yang berhadapan dengan kewenganan penegak hukum yang begitu besar. Peneliti menyarankan pelibatan pemerintah untuk mereformasi dan mereformulasi pengaturan dan praktek penggunaan praperadilan dalam sistem peradilan pidana secara holistik dan berkelanjutan.

Peneliti mengingatkan jika perbaikan tak kunjung dilakukan, praperadilan makin berpeluang merusak institusi penegak hukum secara terstruktur, masif, dan sistematis, yang pada akhirnya akan meruntuhkan sistem peradilan pidana Indonesia. Untuk itu dibutuhkan peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara komprehensif dan terkoordinasi pada pengaturan dan praktek penggunaan praperadilan dalam sistem peradilan Indonesia.

*Artikel RISET UNPAR terbit sebagai bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Unpar Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//