• Opini
  • Politik Baperan: Personalisasi Politik dan Warisan Feodalisme

Politik Baperan: Personalisasi Politik dan Warisan Feodalisme

Pemilu 2024 menampilkan wajah politik baperan. Perdebatan politik melenceng dari masalah-masalah substansial dan kepentingan rakyat. Menyasar aspek personal.

Ari Ganjar Herdiansah

Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran (Unpad)

Ilustrasi. Surat suara Pemilu.(Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

18 Januari 2024


BandungBergerak.id - Kalau kita amati kontestasi Pilpres 2024 ini, ada hal yang sebenarnya menggelikan, yakni bagaimana para kontestan dan politisi menampilkan berbagai drama dalam kehidupan sehari-hari. Kontestasi politik terlalu menampilkan sisi personal dan emosional, yang terkadang kekanak-kanakan.

Salah satu drama yang paling panas dan tragis pascareformasi adalah pecah kongsi antara Presiden Jokowi dan PDIP yang mengemuka sejak awal Januari 2023. Tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang kader partai yang menjabat presiden malah bermusuhan dengan partainya sendiri. Parahnya, semua itu terjadi menjelang pemilu 2024.

Dari rumor yang beredar, keretakan hubungan antara Jokowi dan PDIP bermula dari sakit hati Ibu Iriana atas perlakuan elit-elit PDIP yang menurutnya kurang menghargai Jokowi. Perasaan terhina itu kabarnya terkait dengan ucapan berulang Megawati tentang “Presiden Jokowi sebagai petugas partai” dan “Jokowi tidak ada apa-apanya tanpa PDIP”.

Unggahan vlog Puan Maharani yang memperlihatkan Jokowi sedang menghadap Megawati di kantor partai semakin menyayat harga diri keluarga Jokowi. Pecah kongsi antara Jokowi dan PDIP juga diduga berhubungan dengan ambisi politik Jokowi untuk memperpanjang kekuasaannya—konon, demi menuntaskan proyek-proyek strategis nasional yang tertunda akibat pandemi Covid-19.

Friksi internal di tubuh PDIP berlanjut pada intrik politik yang melibatkan keluarga Jokowi. Peran sang paman telah membuka jalan bagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dalam mendampingi Prabowo untuk berlaga di Pilpres 2024. PDIP meradang, tapi berupaya menahan diri. Khawatir elektabilitasnya nyungsep. Posisi Jokowi makin jelas mendukung Prabowo, bukan Ganjar. Bobby dipecat sebagai kader PDIP, status keanggotaan Gibran digantung, Kaesang tiba-tiba jadi ketua umum PSI.

Drama yang tidak kalah menariknya terjadi di panggung debat capres dan cawapres. Ada paslon yang tampak sengaja memancing emosi paslon lain yang sudah sepuh. Ada juga paslon yang terus menumpahkan kekesalannya pascadebat, marah-marah, hingga keluar makian. Tidak terima dirinya terpojok saat beradu argumen.

Perang mulut berlanjut di antara para politisi pendukung paslon. Pembahasannya, mudah kita lihat, sudah melenceng dari masalah-masalah substansial dan malah menyasar aspek personal. Misalnya, tentang pengkhianatan, baik Anies kepada Demokrat, Anies kepada Prabowo, Prabowo kepada pendukungnya di Pemilu 2019, maupun Jokowi kepada Megawati. Mereka terus saling balas ejekan, seakan-akan lupa dengan kebijakan, gagasan, atau program paslon.

Di media sosial, para pendukung paslon memposting derai air mata, bersimpati pada paslon jagoannya yang babak belur di panggung debat, sementara lawan-lawannya menuding itu semua hanya setingan.

Dramatisasi politik menjelang Pemilu 2024 menyiratkan pertanyaan: mengapa politik kita cenderung baperan (terbawa perasaan), atau dalam istilah akademisnya terpersonalisasi (personalized)? Maksudnya, berbagai proses politik itu malah melekat pada kehidupan pribadi para politisi dan isu-isu dikelola dengan mengusik emosi khalayak.

Padahal, politik adalah urusan publik yang ditujukan untuk memenuhi kemaslahatan bersama, yang semestinya memiliki kadar impersonalitas dan fokus pada masalah-masalah substansial.

Adalah benar bahwa politik sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari aspek personal, karena memilih partai politik atau kandidat tertentu pada akhirnya ditentukan preferensi pribadi. Di negara-negara yang konon paling demokratis pun, seperti Amerika Serikat atau Kanada, politik tidak pernah bisa lepas dari aspek psikologis masyarakatnya.

Namun, yang menjadi persoalan dalam politik kita akhir-akhir ini adalah bahwa keterlibatan emosional dibuat terlalu dominan, sehingga mengaburkan diskusi objektif berbasis fakta.

Baca Juga: Menanti Langkah Elite-elite Politik untuk tidak Menggunakan Politik Identitas di Pemilu 2024
Sajak Kritis Politik Pendidikan
Di Balik Tawa Pahit Humor Politik

Warisan Feodalisme

Akar personalisasi politik di Indonesia bisa kita telusuri dari nilai-nilai feodalisme dalam praktik kekuasaan. Feodalisme merujuk pada sistem sosial-politik yang berlaku di Eropa pada abad pertengahan dan di era kerajaan-kerajaan Jawa. Untuk memastikan dan memelihara keteraturan, raja memberikan lahan kepada para bangsawan. Sebagai imbalan, para bangsawan memberikan loyalitas—baik dirinya maupun pengikutnya—kepada raja.

Pola semacam itu diberlakukan hingga pada tingkatan-tingkatan di bawah bangsawan. Rakyat jelata dituntut taat dan patuh pada raja dan bangsawan demi mendapatkan perlindungan dan sumber daya. Hubungan timbal-balik semacam itu dikenal dengan istilah “patron-klien”, hubungan berbasis loyalitas personal, bukan meritokrasi atau kebijakan.

Aspek-aspek feodalisme diterapkan oleh rezim Suharto, di mana ia dapat berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Suharto, yang didukung oleh kelompok militer dan birokrat, membangun kronisme, yakni menempatkan rekan-rekan dekat pada posisi-posisi di berbagai lembaga pemerintahan dan negara.

Kompetensi tidak diutamakan. Yang terpenting adalah jaminan kesetiaan kepada penguasa. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merupakan konsekuensi logis dari praktik kekuasaan semacam itu. Untuk menutupi kekacauan akibat inkompetensi penguasa, kekerasan sering kali menjadi alat untuk meredakan atau mencegah gejolak.

Praktik feodalisme dan hubungan patron-klien di era Suharto melanggengkan personalisasi kekuasaan negara. Mirip dengan kata-kata yang diyakini keluar dari mulut Louis XIV, “L'État, c'est moi” (negara adalah aku). Frasa tersebut mengungkapkan sentralisasi kekuasaan yang absolut, di mana raja mengendalikan kekuasaan eksekutif (pemerintah), legislatif (DPR), dan yudikatif (lembaga hukum).

Merujuk Mujianto (2001), dalam falsafah kepemimpinan Jawa tempo dulu, yang pada taraf tertentu dipraktikan oleh Suharto, diyakini bahwa kepemimpinan haruslah terpusat dan tunggal. Kekuasaan besar dikatakan “gung binathara, bahu dhenda nyakrawati” (sebesar kekuasaan dewa, pengendali hukum, penguasa dunia).

Sistem kekuasaan terpusat yang dipraktikkan dalam kehidupan bernegara telah membuat Indonesia tergolong pada kategori negara demokratis semi-otoriter waktu itu.

Disebut demokratis karena memang terlaksana pemilu, tapi pemilu yang penuh kecurangan, sehingga tidak pernah terjadi pergantian penguasa. Kebebasan berekspresi dan kritik terhadap penguasa dibungkam oleh instrumen hukum dan perangkat negara. Alasannya, demi kemajuan ekonomi yang menuntut stabilitas. Padahal untuk menyejahterakan penguasa dan kroninya.

Setelah rezim Suharto tumbang pada 1998, mentalitas feodal masih bercokol pada diri para elit politik. Desentralisasi malah menumbuhkan “raja-raja kecil” di daerah. Puluhan partai politik berdiri dengan basis ideologi yang lemah. Kekuasaan partai politik terpusat di tangan individu atau segelintir orang.

Mereka menjadikan partai sebagai alat bargaining politik dalam mengakses kue-kue kekuasaan. Ketika mengisi jabatan-jabatan publik, mereka memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Reformasi malah melahirkan politik predator. Tidak heran, angka korupsi malah makin menggila.

Berdasarkan hasil Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi/IPK) tahun 2022 yang dirilis Transparency International, Indonesia berada di skor 34/100 dan menempati peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun 4 poin dari tahun sebelumnya yang berada di skor 38/100.

Selain fakta bahwa angka itu masih jauh di bawah rata-rata negara-negara Asia Pasifik (kisaran 45/100), hasil tersebut juga merupakan penurunan paling drastis sejak tahun 1995, terburuk di sepanjang era reformasi. Mirisnya lagi, lebih buruk dari IPK Indonesia pada era Suharto yang berkisar di angka 20-an.

Ketika warisan feodalisme termanifestasi pada personalisasi politik, proses dan output politik senantiasa ditarik untuk kepentingan pribadi. Kroni-kroni dibangun demi terpenuhinya kepentingan para elit. Gejala ini tidak hanya berlaku di tingkat atas, tapi juga di bawah.

Jean Luc Maurer (2001), dalam penelitiannya tentang kekayaan dan kedudukan kepala desa di Pulau Jawa pada tahun 1970-an, mendapati bahwa tidak sedikit lurah yang meneruskan jabatannya kepada anaknya. Berbagai privilege sebagai lurah, seperti tanah bengkok dan kredit bank, diatur sedemikian rupa hingga menguntungkan dirinya dan keluarganya.

Kecenderungan personalisasi kekuasaan semacam itu masih menjadi ciri kehidupan politik Indonesia saat ini. Di saat kita membincangkan era digital 5.0 dan artificial intelligence, masih banyak aktor yang menganggap kedudukan, jabatan, dan lembaga pemerintahan/negara sebagai milik pribadi atau keluarganya.

Contoh sederhana, supir pejabat pemerintah/negara tidak hanya melayani sang majikan, tapi juga istri dan anak-anaknya. Padahal, gaji supir itu bersumber dari kas negara. Terkadang, lebih parahnya lagi, si istri ikut campur urusan kantor. Ia lebih berkuasa dari suaminya yang menjabat. Ketika suaminya tak lagi menjabat, muncul rasa malu dan rendah diri. Karena itu, sebisa mungkin suaminya tetap menjabat atau berkuasa. Kalau tidak bisa, diteruskan oleh istrinya atau anak-anaknya.

Saatnya Reformasi Jilid 2

Kalau perpolitikan kita masih terus seperti ini, entah kapan bangsa kita bisa lebih maju dan mampu bersaing di kancah global. Berkaca pada Jepang yang juga pernah menganut sistem feodal, kita harus berani melakukan reformasi dengan sungguh-sungguh. Patut kita akui bahwa reformasi 1998 hanya mengubah struktur politik, belum pada aspek budaya politik yang anti-feodalisme.

Jika restorasi Meiji pada 1868 menghapus kelas-kelas feodal, kita pun harus berani mengeliminir praktik-praktik feodalisme dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dengan mengedepankan kompetensi dan sistem meritokrasi apakah di bidang pemerintahan, pendidikan, partai politik, ormas, dan lainnya.

Para pimpinan partai politik harus menguatkan komitmen dalam menjunjung nilai dan praktik demokratis. Mereka seyogyanya memulai suksesi kepemimpinan secara rasional dan memberlakukan jenjang karier yang layak bagi para kadernya. Tempatkan tindakan-tindakan politik pada haluan ideologi, sehingga tidak ada lagi politik mencla-mencle, pagi tahu sore tempe, karena begitu cepatnya berbeda titik temu kepentingan.

Personalisasi politik yang nir-ideologi turut menyebabkan perdebatan politik mengarah pada serangan pribadi atau hal-hal yang remeh ketimbang argumentatif. Dramatisasi politik boleh saja, sekedar gula-gula di pinggir arena, supaya politik tidak terlalu tegang.

Jauhkan kontestasi politik dari watak baperan. Ruang-ruang diskusi publik semestinya menyehatkan akal dan memberikan jalan keluar bagi berbagai permasalahan bangsa.

*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan lain Ari Ganjar Herdiansah atau artikel-artikel menarik lainnya tentang Politik, Pemilu 2024, dan Pilpres 2024

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//