• Opini
  • Di Balik Tawa Pahit Humor Politik

Di Balik Tawa Pahit Humor Politik

Kekuatan cair dari humor dapat mengikis lapisan pelindung sebuah rezim yang terlihat kebal, membuat tawa itu sendiri menjadi sebuah tindakan pembangkangan.

Muhammad Andi Firmansyah

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)

Peserta demonstrasi mengusung spanduk penolakan perpanjangan masa jabatan presiden di Bandung, tahun 2021. Mereka menuntut Pemilu 2024 tetap digelar. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

13 Oktober 2023


BandungBergerak.id – Sepertinya tak ada negara yang menyimpan lelucon politik antikomunis sebanyak Uni Soviet. Perhatikan anekdot berikut. Dua orang lelaki sedang mengantre untuk membeli vodka. Satu jam berlalu, kemudian dua jam. Antreannya hampir tak bergerak. Semua orang benar-benar kesal dan marah.

“Begini lagi!” celetuk salah satu pria dengan gusar. “Aku muak dengan kehidupan seperti ini. Di mana-mana ada antrean, kita tak bisa membeli apa pun, dan rak-rak toko kosong. Semua ini gara-gara Gorbachev dan perestroika-nya yang bodoh. Cukup! Aku akan pergi ke Kremlin sekarang juga untuk membunuhnya.”

Sang pria balik setelah dua jam, masih marah dan kesal, lalu berkata, “Bodo amat! Antrean di Kremlin untuk membunuh Gorbachev lebih panjang dari yang ini.”

Penggunaan komedi untuk mencerca penguasa sebenarnya telah menjadi hobi kuno. Penyair Yunani seperti Aristophanes kerap mengolok-olok pemimpin politik Athena lewat kumpulan syair yang mengandung kekuatan humor dan kecerdasan retoris. Pada masanya, teater adalah forum warga negara biasa untuk memperdebatkan isu-isu politik, membongkar korupsi, serta mengoreksi ketidakadilan.

Di zaman modern, kita mengenal Jonathan Swift yang secara ikonik menerbitkan esai satire berjudul “A Modest Proposal” (1729). Dalam esai ini, Swift menyoroti masalah pelik dari kelebihan populasi dan kemiskinan di Irlandia. Sebagai sebuah komentar sosial yang bernada sarkas dan ironis, proposal Swift tentu saja keterlaluan.

Dia mengusulkan agar anak-anak orang miskin yang berusia satu tahun dijual saja ke pasar daging. Selain menambah nuansa kuliner kaum kaya, negara juga dapat memerangi masalah kelebihan penduduk dan pengangguran. Swift menerbitkan esai ini secara anonim (untuk alasan yang jelas), dan karyanya ini masih menjadi salah satu contoh satire politik paling menggigit yang pernah dibuat.

Meskipun sebagian besar rezim otoriter sudah hanya menyisakan jejak-jejaknya saja, bahkan tingkat kemiskinan penduduk secara global telah berkurang drastis ketimbang masa hidup Swift, kebiasaan menertawakan politik tak pernah memudar dan malah semakin bervariasi. Komedi tampaknya masih menerangi cara-cara kita hidup di dunia secara politis.

Politik adalah profesi yang keras, kasar, dan menuntut tanpa henti. Ketika para politisi gagal, goyah, atau tak memenuhi harapan publik, kita kecewa, dan terkadang marah. Alternatif jalan keluar lainnya adalah menertawakan mereka.

Baca Juga: Politik Memaksa dan Merayu Rezim Jokowi
Mempertanyakan Keberadaan Para Artis di Panggung Politik
Warga Dago Elos Geruduk Jakarta demi Hak atas Tanah

Humor sebagai Protes Politik

Beberapa lelucon bukan hanya menggelikan hati, tapi juga menyiratkan kebenaran yang pahit atau terlalu tabu untuk disampaikan terang-terangan: korupsi politik, kemunafikan politisi, dan keserakahan korporasi. Humor semacam ini menekankan kesenjangan antara apa yang kita harapkan dan apa yang kita alami.

Dalam hal ini, lebih dari sekadar hiburan, humor bisa menjadi alat komunikasi yang kuat dan memantik perubahan. Ia mengandung harapan yang tak terucapkan untuk pemimpin politik yang lebih baik dan lebih tercerahkan, dan untuk keadaan sosial dan politik yang lebih stabil. Sederhananya, humor adalah sebuah koreksi sosial.

Di balik jenis humor seperti itu, ada semacam idealisme dan keyakinan bahwa sistem yang ada bisa dibuat bekerja: jika kekurangan dan kekonyolannya sudah dibongkar, keadaan dapat membaik. Ia berbicara kepada komunitas untuk menemukan apa yang menjadi pengalaman bersama, lalu, jika berhasil, ia menandai awal mula perubahan sosial-politik yang nyata.

Jadi, walau sindiran politik bisa sangat menggigit dan bahkan tampak agresif, premis yang mendasarinya sering kali bersifat optimis. Pikirkan lagi lelucon yang saya ceritakan di awal. Keluhan sang pria bahwa antrean ada di mana-mana, termasuk untuk membunuh Gorbachev, sebenarnya menyiratkan bahwa kita semua layak mendapatkan yang lebih baik.

Itulah mengapa, selain untuk koreksi sosial, humor juga sering digunakan sebagai alat protes politik. Bahkan tawa dan keriangan tak lagi menjadi bagian marjinal dalam strategi gerakan kontemporer; humor dan komedi sekarang telah menjadi bagian utama dari gudang senjata aktivis, terutama untuk mematahkan budaya ketakutan yang ditanamkan rezim.

Lihatlah Mesir. Selama beberapa dekade, Mesir di bawah Hosni Mubarak merupakan negara di mana oposisi politik dibungkam dengan penyiksaan, penculikan, dan pembunuhan yang disetujui negara. Mubarak, seperti diktator Timur Tengah lainnya, berharap cara semacam itu dapat meredam protes yang muncul setelah revolusi Tunisia pada awal 2011.

Namun, alih-alih menerima umpan rezim, para aktivis berhasil memanfaatkan bibit ketakutan yang ditanamkan Mubarak untuk balik melawannya. Mereka turun ke Tahrir Square sembari membawa poster biasa tetapi dengan keluhan yang cerdas. Pembangkangan mereka segera menyebar ke luar Tahrir Square, kebanyakan didorong oleh media baru seperti media sosial.

Salah satu pesan komputer menggambarkan tangkapan layarInstalling Freedom”, kemudian ada file-file yang sedang disalin dan ditempelkan dari sebuah folder berlabel “Tunisia”. Foto tersebut diikuti pesan kesalahan yang sangat menggigit: “Cannot installing Freedom: Please remove ‘Mubarak’ and try again.

Pola serupa juga terjadi pada warga Dago Elos yang memperjuangkan hak atas tanah dan ruang hidupnya. Selasa kemarin (10/10/2023), sekitar 80an warga datang ke Jakarta dengan pakaian serba hitam. Selama konferensi pers, mereka duduk berjejer di depan podium berlatar poster biru “Dago Melawan Mafia Tanah”.

Meskipun mereka membawa sedikit kegetiran, untuk alasan yang jelas, sebagian dari mereka tetap tertawa satu sama lain. Setiap tawa mereka adalah pancaran harapan dan rasa persatuan, sekaligus kritik menohok terhadap trio Muller, PT Dago Inti Graha, dan keadilan di Indonesia secara keseluruhan. Senyuman mereka adalah mimpi buruk para mafia tanah.

Setiap Lelucon adalah Sebuah Revolusi Kecil

Jika digunakan dengan benar, kita bisa tertawa, terkikik, dan terkekeh menuju perlawanan dan kemajuan. Namun, kebanyakan lelucon mungkin tak berfungsi sebesar itu. Humor sering kali hanyalah penenang bagi jiwa yang tertindas, obat penawar di saat-saat sulit. Ia adalah mekanisme pelepasan rasa takut, momen pemulihan saat kita perlu menyampaikan kebenaran pada penguasa, sebuah pembangkangan yang halus, batu retorika yang dilemparkan kepada penindas.

Dengan membalikkan dinamika kekuasaan, lelucon dapat melawan rasa takut yang menjadi andalan para tiran. Ejekan terhadap mereka mungkin membangkitkan rasa takut, tapi secara paradoksal itu juga mengurangi rasa takut tersebut. Ini adalah logika yang sangat sederhana: kita tak bisa takut pada sesuatu yang kita tertawakan.

Humor juga membantu kita mengatasi hal yang menyakitkan dan terlarang, dengan demikian, setidaknya pada saat tertentu, membantu kita menghadapi keadaan yang sewenang-wenang. Inilah mengapa di mana pun manusia ditindas oleh pemerintah yang korup, kemiskinan atau wabah penyakit dan kematian, lelucon tumbuh subur.

Di mana terdapat absurditas, di situ terdapat kelucuan.

Bagi mereka yang tertindas di dalamnya, tawa telah menjadi cara untuk mencari pembalasan, mengejek kebusukan, dan meringankan beban atas aneka kerusakan yang telah (atau masih) dilakukan para penguasa. Dengan cara inilah rakyat mengelabui sistem, karena lelucon sering kali merupakan sebuah bahasa rahasia yang hanya dimengerti warga negara, anggota klub yang disisihkan oleh pemerintah.

George Orwell melukiskannya dengan sangat tepat: “Setiap lelucon adalah sebuah revolusi kecil.” Tentu saja “kecil” karena humor tak bisa mengubah struktur dengan sendirinya, dan jelas satu lelucon saja tak akan membawa revolusi. Tapi, dengan menertawakan kekuasaan, orang-orang setiap saat melakukan “revolusi kecil”, mengekspos kelemahan dan kekurangan para penguasa, serta melawan rasa takut yang coba dijejalkan dari atas.

Lagi pula, para diktator takut diejek. Mereka membenci sindiran dan lelucon karena membuat mereka terlihat konyol, walau persembahan terhadap mereka kebanyakan amat menggelikan. Pikirkan parade Kim Jong-un atau salam hormat pada Hitler. Intinya, mereka adalah makhluk dengan ego yang besar sehingga cenderung rentan terhadap humor. Mereka terlihat perkasa, tapi sering kali merupakan balon yang membutuhkan peniti tajam.

Tawa tampaknya adalah karat yang mengotori keperkasaan para diktator.

Jadi, protes politik melalui tawa mungkin tak berpotensi untuk segera menggulingkan sistem yang menindas, tapi humor dapat membangkitkan pola pikir perlawanan yang pada gilirannya membingkai protes sosial. Hal ini terutama karena kekuatan cair dari humor dapat mengikis lapisan pelindung sebuah rezim yang terlihat kebal, membuat tawa itu sendiri menjadi sebuah tindakan pembangkangan.

Itulah upaya terakhir, tawa terakhir.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//