• Opini
  • Politik Memaksa dan Merayu Rezim Jokowi

Politik Memaksa dan Merayu Rezim Jokowi

Diperlukan praktik konkret saling menghormati antara negara dan rakyat, meskipun negara mampu melakukan rekayasa politik yang canggih untuk memonopoli kebenaran.

Acep Jamaludin (Cepjam)

Bergiat di Sosia Politika

Presiden Joko Widodo bersama Gubernur Ridwan Kamil menyambangi sejumlah pedagang pasar di Pasar Sederhana, Bandung, Senin (17/1/2022). Presiden Joko Widodo berkomitmen mengurangi penggunaan batu bara dalam COP 26 di Glasgow, 1 November 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

7 Juni 2023


BandungBergerak.id – Saya memulai tulisan ini dari sebuah pengalaman pribadi yang pernah mengikuti berbagai forum diskusi, melakukan demonstrasi dan membaca dari sejak 2014. Ketika saya masuk lingkungan kampus di mana dalam beberapa pengalaman saya hingga saat ini mendapatkan sebuah kesimpulan jika kebijakan politik yang dilakukan oleh rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggunakan cara memaksa dan merayu agar dapat dukungan rakyat banyak padahal menindas.

Diawali pada tahun 2014 ketika saya baru masuk menjadi mahasiswa di salah satu kampus di Bandung, saat itu perbincangan mengenai terpilihnya Jokowi menjadi Presiden RI dianggap akan membawa angin perubahan dengan gagasannya mengenai jalan perubahan. Selain itu beliau selalu terlihat sederhana dengan selalu melakukan blusukan di gorong-gorong dan atau tempat lainnya yang tidak pernah presiden sebelumnya memiliki kesederhanaan tersebut.

Terlepas dari hal itu saya selaku mahasiswa baru yang tidak mengerti mengenai apa yang harus dibicarakan meskipun saat itu saya mencoblos Joko Widodo, namun saya mengingat sampai sekarang mengenai Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian'". Visi misi tersebut dimulai dengan memaparkan tiga masalah utama bangsa, yaitu "merosotnya kewibawaan negara", "melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional", dan "merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa". Ketika saya tahu hal tersebut saya langsung percaya bahwa kedepan perubahan besar akan dimulai dan di tahun ini saya hanya melakukan pendidikan serta mencari tahu saja.

Setelah itu tepatnya di tahun 2015 secara mengejutkan Joko Widodo meluncurkan paket ekonominya dari I hingga VII dengan waktu 4 bulan kurang lebih yang berisi berbagai macam kebijakan; mulai dari deregulasi aturan, pemberian insentif pajak hingga kemudahan bagi Pedagang Kaki Lima (PKL) untuk mendapatkan Hak Guna Bangunan (HGB). Paket-paket ini diluncurkan dimulai pada 9 September 2015 dan paket terakhir di 21 Desember 2015. Kementerian Desa yang secara besar besaran merombak struktur sampai tingkat desa menjadi penambah angin segar selain paket-paket tadi, yang dulunya ada PNPM digantikan dengan Pendamping Lokal Desa.

Baca Juga: Mahasiswa dan Rakyat Bandung Turun ke Jalan Mengkritik Pemerintahan Jokowi
Presiden Jokowi: Negara telah Melakukan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu
Manuver Diplomasi Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia, Antara Kegagalan dan Keberhasilan

Perubahan Arah Politik

Di sini saya mulai melihat sebuah perombakan yang lebih baik dan akan membawa percepatan kemajuan meskipun saya belum memahami secara analisis seluruhnya. Namun di tahun ini saya sudah mulai terlibat aksi-aksi di dalam kampus mengenai sistem UKT/BKT yang akan merugikan bagi mahasiswa, selain itu aksi aksi menolak kenaikan BBM, masalah beras Bulog, dan lainnya.

Kemudian pada tahun 2016 tidak terlihat pergerakan yang besar, yang saya ketahui hanya seputar ekonomi saja. Namun di tahun 2017-2018 di sini pergerakan mulai membesar pertama mengenai reforma agraria palsu dan konflik lahan yang terus menggunakan aparat bersenjata dalam penyelesaiannya. Selain itu pergerakan penolakan mengenai direvisinya UU MD3 yang dianggap akan mengancam demokrasi Indonesia memancing mahasiswa untuk melakukan demonstrasi di mana-mana. Di tahun tersebut saya sedang menjabat menjadi ketua senat mahasiswa, maka setidaknya saya sudah mulai terlibat dalam pergerakan langsung menanggapi isu nasional - meskipun saat itu tidak banyak dukungan untuk menolak kebijakan pemerintah.

Selanjutnya pada tahun 2019 menjadi puncak gelombang penolakan yang sangat besar. Situasi politik pada tahun ini tidak stabil pasca pemilu dengan menyisakan dendam bagi kedua pihak yang berkontestasi dalam pemilihan presiden, ditambah ada kebijakan yang menuai banyak penolakan dari semua aktivis pergerakan lintas sektor. Momen ini memunculkan gerakan “Reformasi Dikorupsi” sebagai penolakan Revisi RUU KUHP dan Revisi RUU KPK. Unjuk rasa terjadi di seluruh Indonesia. Aktivis yang ditangkap serta mengalami kekerasan oleh aparat keamanan juga tidak sedikit. Semua kritik dan masukan itu totally tidak sama sekali direspons pemerintah. Bahkan kebijakan-kebijakan itu masih ada sampai hari ini.

Tahun 2020 sampai 2022, di tahun ini dunia mengalami serangan pandemi Covid-19 yang mengakibatkan negara melakukan kebijakan darurat untuk menangani badai pandemi. Di sisi lain memang ya Indonesia sukses melewati badai pandemi, namun di sisi lain menyisakan penderitaan rakyat yang tidak akan pernah dilupakan.

Dimulai dari kebijakan membatasi aktivitas yang berdampak pada ekonomi, pendidikan, dan kesehatan terlihat jelas akan ketimpangannya. Di tengah-tengahnya, terbit keputusan mengesahkan UU Omnibus Law, paket UU yang di dalamnya memuat klaster krusial bagi masa depan generasi namun dibahas dan disahkan dengan cepat. Ditambah di tahun 2022 para pejabat mengusulkan adanya penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Situasinya sama halnya seperti 2019 tahun-tahun ini sangat melelahkan dan wajah rezim Jokowi semakin menampakkan keberpihakannya pada oligarki.

Politik Memaksa Sekaligus Membujuk

Gramsci yang mengatakan bahwa kekuasaan yang langgeng membutuhkan dua perangkat kerja. Rezim Jokowi mewujudkan kebijakan politik lewat strategi memaksa sekaligus membujuk. Perangkat yang memaksa dilaksanakan oleh pengadilan, polisi, TNI, dan ancaman penjara. Sedangkan perangkat membujuk dilancarkan melalui bidang pendidikan, keagamaan, kebudayaan dan keluarga. Semua itu dibantu oleh media untuk menyampaikan pesan negatif kepada rakyat yang menolak kebijakan rezim Jokowi.

Perkembangan politik mutakhir melihat bahwa rezim Jokowi berpotensi menjadi otoriter yang legal, hal itu terlihat dari campur tangannya dalam sengketa kepengurusan partai politik, dilakukannya politisasi hukum terhadap para ketua partai, berkumpulnya oligarki di dalam kabinet, tebang pilih terhadap para koruptor, hilangnya independensi lembaga antirasuah, pejabat yang berkuasa adalah keluarga, dan masih banyak yang lainnya. Dalam rangkaian perkembangan ini kita perlu menegaskan suatu kebijaksanaan, yaitu bahwa kekuasaan tidak akan bertahan lama tanpa kebenaran dan kebenaran takkan terlaksana sebagaimana mestinya tanpa kekuasaan yang sejalan dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Diperlukan adanya praktik konkret yang saling menghormati antara negara dan rakyat, meskipun negara mampu melakukan rekayasa politik yang canggih untuk memonopoli kebenaran. Akan tetapi, dalam politik nyata kebenaran adalah sesuatu yang dinamis dan terbuka serta akan menuntut partisipasi luas yang mustahil dibatasi hanya dalam legalitas dan formalitas yang melewati batas etika pejabat publik serta moral dengan pamer kemewahan dan menggunakan kekuasaan untuk suksesi di tengah penderitaan rakyat.

Kita tidak bisa memaksa orang untuk berbuat baik sebab yang namanya manusia pada dasarnya bebas untuk memilih, begitu pula Pak Jokowi beliau bisa memilih. Namun beliau pun harus ingat bahwa dirinya menjabat menjadi presiden di negara dengan segudang masalah yang harus lebih banyak diperhatikan untuk diselesaikan secepat mungkin, dibandingkan harus cawe-cawe capres.

Bagaimanapun kekuasaan akan membawa fitnah bagi penguasa maupun rakyatnya. Penguasa dapat mempengaruhi hubungan emosi, pandangan, pengekangan dan perilaku antar aktor politik, pengikut dan antar anggota masyarakat. Oleh karena itu, penguasa yang mampu mengendalikan diri terhadap wewenang dan kekuasaan yang ia pegang (tidak menindas rakyat dan tidak berorientasi pada kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok koalisi atau primordial) akan membawa kesan baik dan adil. Jika situasi saat ini dibiarkan, maka neo Orde Baru yang lebih destruktif akan terkonsolidasi, terlebih dengan gaya rezim hari ini yang melegalisasi semua keotoriterannya yang berdampak pada rakyat tanpa disadari seolah baik padahal menindas. Bahaya ini akan terus berlanjut jika kita kita tidak hentikan dan mengingatkan rezim Jokowi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//