• Opini
  • Manuver Diplomasi Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia, Antara Kegagalan dan Keberhasilan

Manuver Diplomasi Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia, Antara Kegagalan dan Keberhasilan

Presiden Jokowi berbeda dengan Sukarno yang pemahamannya tentang politik dunia amat matang. Sukarno mampu bermain di dalamnya.

Adrian Aulia Rahman

Penulis merupakan mahasiswa Universitas Padjajaran (Unpad)

Presiden Joko Widodo menyambangi sejumlah pedagang Pasar Sederhana, Bandung, Senin (17/1/2022). Presiden Jokowi baru-baru ini melakukan lawatan ke Ukraina dan Rusia. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

7 Juli 2022


BandungBergerak.idPolitik luar negeri adalah salah satu aspek yang amat krusial bagi suatu bangsa, terutama menyangkut kedaulatan, eksistensi, dan kemerdekaan. Bahkan, salah satu yang menjadi indikator suatu negara maju dan tidaknya, bisa dilihat dari bagaimana kebijakan politik luar negeri dan jaringan diplomasinya. Artinya, politik luar negeri (polugri) atau disebut juga politik internasional (international politics), memiliki sifat yang krusial bagi suatu negara. Sebagaimana dalam pasal 1 Konvensi Montevideo 1933, salah satu syarat dari eksistensi negara berdaulat adalah kemampuan untuk melakukan hubungan internasional (capacity to enter into relations with other state).

Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat dan merdeka, dituntut untuk mampu dan berkapasitas dalam menjalin relasi internasional dengan seluruh negara-negara di dunia. Sebagaimana sering kita dengar dan perbincangkan, asas politik luar negeri Indonesia adalah bebas dan aktif. Namun sayangnya, masih banyak yang mispersepsi terhadap asas bebas aktif ini, dengan menganggap asas ini berarti bahwa Indonesia secara nonkompromi harus netral dalam setiap percaturan dan diskursus politik internasional. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Oleh karena itu, perlu kiranya kita memahami dan mendalami asas bebas aktif yang merupakan asas fundamental politik luar negeri Indonesia.

Secara historis, asas politik luar negeri bebas dan aktif tercetus dari pidato bersejarah wakil presiden RI yang pertama, Mohammad Hatta, dengan judul pidato Mendayung di antara Dua Karang. Pidato bersejarah tersebut disampaikan Hatta di depan KNIP pada 2 September 1948. Saya mengutip penggalan pidato tersebut, yang secara gamblang menegaskan prinsip dasar politik luar negeri Indonesia:

“Betapa juga lemahnya kita sebagai bangsa yang baru merdeka dibandingkan dengan dua raksasa yang bertentangan, Amerika Serikat dan Soviet Russia, menurut anggapan Pemerintah kita harus tetap mendasarkan perjuangan kita atas adagium; percaya kepada diri sendiri dan berjuang atas tenaga dan kesanggupan yang ada pada kita”.

Sikap percaya diri yang termaktub dalam penggalan pidato Bung Hatta di atas, secara jelas dan tegas menunjukkan bahwa politik luar negeri Indonesia haruslah bebas dan aktif. Bebas berarti merdeka dalam menentukan sikap dan pandangan politik, sedangkan aktif berarti berperan serta dalam percaturan politik dunia dan turut berpartisipasi dalam melahirkan keputusan-keputusan global.

Contoh nyata dari peran aktif Indonesia dalam politik dunia belum lama ini adalah, lawatan Presiden Joko Widodo ke dua negara yang tengah berkonflik di Eropa Timur yaitu Ukraina dan Rusia. Saya akan menuliskan opini pribadi saya terkait dengan lawatan diplomatik Jokowi ke daerah konflik dan apa implikasinya.

Jokowi Sang Juru Damai?

Politik dunia belum menemui titik yang stabil terutama semenjak dilancarkannya operasi militer khusus Rusia kepada Ukraina sejak Februari lalu. Berbagai sanksi terus menghujani Rusia sebagai implikasi langsung dari perang. Bahkan, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres pada bulan Juni lalu memperingatkan seluruh dunia akan ancaman wabah kelaparan yang bisa melanda dunia pada 2022 dan 2023, jika perang di Ukraina terus berlangsung.

Hal itu cukup beralasan, mengingat Rusia dan Ukraina adalah salah satu penyuplai bahan pangan, terutama gandum, terbesar di dunia. Bahkan beberapa waktu yang lalu, sebagaimana diberitakan okezone.com, Rusia melakukan blokade 25 juta ton jagung dan gandum. Apabila blokade ini terus berlangsung, jutaan orang di dunia terancam kelaparan.

Jalan keluar dari segala permasalahan sebenarnya cukup hentikan perang. Namun tentu saja tidak sesederhana dan semudah yang dikatakan. Kedua belah pihak yang berkonflik mempertahankan ego masing-masing dan national interest (kepentingan nasional) yang masih belum ditemukan titik temu kesepakatan. Belum lagi intervensi barat dan NATO yang semakin gencar mengirimkan bantuan senjatanya ke Ukraina membuat perang berlarut-larut dan berkepanjangan. Kita semua tentu masih bertanya-tanya kapan dan bagaimana akhir dari konflik Rusia dan Ukraina ini? Bagaimana pengaruhnya pada tatanan dunia dan regional Eropa? Siapa pihak yang paling diuntungkan di akhir konflik? Dan yang terpenting adakah seorang juru damai yang bisa menghentikan perang?

Pada saat saya membaca suatu berita di media yang inti judulnya menjelaskan bahwa Presiden Republik Indonesia Joko Widodo akan melakukan lawatan ke luar negeri, tepatnya ke Ukraina dan Rusia, saya cukup kaget. Di satu sisi ini adalah berita yang membanggakan, yang berarti Indonesia akan menjadi negara Asia pertama yang berkunjung ke dua negara yang sedang berkonflik dengan angan-angan mampu menjadi pendamai bagi keduanya. Namun di sisi lain, timbul keraguan, apakah mampu Indonesia yang dalam hal ini direpresentasikan oleh figur Presiden Jokowi melakukan manuver dan lobi diplomasinya untuk menghentikan perang dan menjadi pendamai?

Saya mengikuti berita lawatan diplomasi Presiden ke Eropa, yang diawali dengan kunjungannya ke Jerman untuk menghadiri acara KTT G7 yang saat ini bertepatan dituanrumahi oleh Jerman. Dikutip dari Kompas.com Konferensi Tingkat Tinggi G7 digelar di Schloss Elmau, Pegunungan Alpen Bavaria, pada 27 Juni yang lalu. Pertemuan tersebut membahas isu-isu yang saat ini sedang hangat bergulir, mulai dari perubahan iklim global sampai isu mengenai pangan dunia yang terdampak akibat perang Rusia-Ukraina. Saya melihat di pemberitaan-pemberitaan nasional, memang Presiden Jokowi cukup akrab dan hangat diterima di antara para pemimpin dunia waktu pertemuan G7 tersebut.

Kunjungan diplomatik Presiden dilanjutkan dengan perjalanan ke ibu kota Ukraina, Kiev, menggunakan Kereta Luar Biasa. Presiden mengunjungi Istana Marynsky guna melakukan pertemuan langsung dengan Presiden Volodymyr Zelensky. Apabila kita lihat di pemberitaan, pertemuan kurang begitu formal, terlihat dari pakaian yang dikenakan kedua pemimpin, yang hanya menggunakan pakaian yang nonformal atau semiformal, tapi itu bukanlah persoalan.

Dikutip dari CNBC, hasil dari pertemuan Jokowi-Zelensky tersebut pada intinya adalah penegasan komitmen Indonesia yang selalu mendukung kedaulatan penuh sebuah negara dan penyampaian simpati bagi Ukraina yang sedang menghadapi perang. Dan yang terpenting adalah Presiden Jokowi yang menawarkan diri bersedia untuk menjadi pembawa pesan Zelensky kepada Putin di Moskow. Sedangkan Ukraina tentu menyampaikan terima kasih atas kunjungan Jokowi dan berharap Indonesia bisa menjadi salah satu negara yang turut serta membangun atau merekonstruksi Ukraina pascaperang. Entah mengapa, saya tidak melihat substansi percakapan yang akan membawa perubahan signifikan, yang terlihat hanyalah percakapan yang semata-mata formalitas.

Selesai kunjungan ke Ukraina Jokowi berkunjung ke Moskow untuk menemui Vladimir Putin. Pertemuan Presiden Jokowi dan Presiden Putin memang terlihat cukup hangat, mengingat hubungan Moskow-Jakarta yang sudah sekian lama terjalin. Berbeda pada saat menyambut beberapa pemimpin Eropa seperti Presiden Prancis Macron dan Kanselir Jerman Olaf Scholz, Putin terlihat cukup ‘dingin’ dan enggan beramah tamah, sedangkan dalam menyambut Jokowi, raut persahabatan cukup kentara di muka Presiden Rusia tersebut. Pokok bahasan pada intinya adalah penegasan dari Jokowi akan komitmen Indonesia terhadap perdamaian dunia dan kedaulatan sebuah negara, serta kesediaannya untuk menjembatani komunikasi antara Ukraina dan Rusia. Lantas kemudian saya bertanya, adakah hasilnya manuver diplomasi yang dilakukan oleh Presiden Jokowi ini? Ataukah sia-sia belaka?

Baca Juga: Sebagai Saudara Muda Rusia, Sudah Tepatkah Indonesia Menyetujui Resolusi PBB?
Dampak Invasi Rusia ke Ukraina pada Perekonomian Indonesia
Membayangkan Vladimir Putin Menjadi Manajer Sepak Bola

Tiga Catatan Opini

Saya amat menekankan bahwasannya kunjungan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi ke Rusia dan Ukraina yang saat ini masih berkonflik patut diapresiasi. Dengan kemauan dan niat yang luhur untuk menjadi pendamai antara kedua belah pihak yang bertikai, ini menunjukan Jokowi turut serta peduli pada perdamaian dunia dan stabilitas dunia baik di bidang politik, militer, dan ekonomi. Namun saya sendiri memiliki beberapa catatan terkait dengan kunjungan Presiden ini, yang tentu saja ini merupakan opini pribadi saya. Ada beberapa catatan yang akan saya tuangkan sebagai berikut.

Pertama, Jokowi bukanlah figur pemimpin dunia. Apa maksudnya? Maksudnya adalah saya tidak melihat ketokohan Presiden Jokowi dalam geopolitik regional maupun internasional. Saya tahu, Presiden Jokowi tidak begitu menguasai persoalan dan dinamika geopolitik dan geoekonomi serta isu-isu dunia yang saat ini sedang bergulir. Sehingga kepemimpinan dan pengaruh Indonesia di tingkat regional dan global masih tidak begitu signifikan. Berbeda dengan figur Presiden pertama RI, Sukarno yang pemahamannya tentang politik dunia amat matang dan yang terpenting Sukarno mampu bermain di dalamnya, artinya ia memahaminya dan memainkannya. Kesimpulannya, Pak Jokowi bukanlah figur pemimpin dunia, sehingga niatnya untuk menjadi juru damai kedua negara hemat saya masih belum memungkinkan.

Kedua, ada suatu paradoks yang terjadi. Di satu sisi Jokowi dengan ide yang besar ingin mendamaikan Rusia dan Ukraina, tapi masyarakat sipil di negara yang dipimpinnya masih begitu tajam terpolarisasi. Ungkapan-ungkapan seperti ‘kadrun’, ‘cebong’, dan berbagai sebutan lainnya yang menandai terbelahnya masyarakat kita belum juga dapat diselesaikan. Belum lagi problematika dalam negeri yang begitu kompleks, seperti minyak goreng, BPJS, kelangkaan bahan bakar, lapangan kerja, isu tiga periode, dan masih banyak lagi masalah yang membelit bangsa ini.

Mungkin akan ada yang membantah catatan kedua saya ini, “kalau menunggu masalah dalam negeri selesai, lantas kapan Indonesia berperan dalam dunia internasional?”, “Itu persoalan lain, dalam negeri ya dalam negeri, luar negeri ya luar negeri, Indonesia harus berperan!” dan lain sebagainya. Begini, saya tekankan tadi di awal, bahwa lawatan diplomasi Presiden harus diapresiasi. Namun alangkah tepatnya apabila, problematika politik-ekonomi di dalam negeri terlebih dahulu diselesaikan. Jangan sampai dunia internasional menyoroti negara kita yang sok ingin jadi pendamai tapi masalah internal negaranya saja masih begitu amburadul dan tidak menentu.

Ketiga, perlunya kita mengembalikan pamor dan wibawa Indonesia di mata dunia. Kunjungan Presiden Jokowi ke G7 dan ke negara yang sedang berkonflik, menyadarkan saya kembali bahwa kewibawaan Indonesia memang harus ditumbuhkan kembali di mata dunia. Indonesia harus menjadi negara yang memiliki peran sentral terutama di regional Asia Tenggara, Indo Pasifik, dan bahkan di dunia.

Dua periode kepresidenan Jokowi saya berpendapat, terutama dalam hal politik internasional dan diplomasi kita tidak menonjol dan kurang bisa memanfaatkan keadaan Indonesia yang begitu strategis baik secara ekonomi, geografi, dan kekuatan politik. Kunjungan Presiden hanya menjadi formalitas semata yang tidak atau katakanlah belum menghasilkan apa-apa, menjadi pertanda bahwa pengaruh Indonesia dalam politik dunia masih begitu terbatas.

Sebagai penutup, perlu diketahui bahwa tulisan ini adalah murni opini pribadi saya sebagai wara negara yang bebas dan merdeka. Tanpa dimaksudkan untuk menyinggung dan merendahakan pihak mana pun. Kebebasan menulis dan berpendapat adalah hak semua warga negara, dan apabila terdapat kekeliruan dalam hal apapun kritik dan saran amat diperlukan. Sampai jumpa di tulisan berikutnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//