Dampak Invasi Rusia ke Ukraina pada Perekonomian Indonesia
Kenaikan harga minyak global memberikan pukulan bagi harga jual sektor industri termasuk Indonesia. Terlebih dunia saat ini masih berhadapan dengan pandemi Covid-19.
Penulis Iman Herdiana1 Maret 2022
BandungBergerak.id - Di saat dunia masih berkutat dengan pandemi Covid-19, seluruh mata terbelalak dengan keputusan Rusia melakukan invasi ke negeri serumpunnya, Ukraina, Kamis, 24 Februari 2022. Perang ini diyakini akan semakin menghambat pertumbuhan ekonomi global yang sudah terpuruk karena dua tahun dilanda pagebluk.
Apa dampak perang Rusia versus Ukraina bagi perekonomian Indonesia? Aknolt Kristian Pakpahan, dosen Program Studi Hubungan Internasional FISIP Unpar, dalam artikelnya di laman resmi Unpar, Selasa (1/3/2022), mengatakan perekomian Indonesia terutama akan terpengaruh dengan kenaikan harga minya dunia.
“Sejak Presiden Putin mengeluarkan instruksi untuk melakukan operasi militer (yang dianggap invasi oleh banyak negara), muncul ketidakpastian ekonomi di berbagai sektor,” ungkap Aknolt Kristian Pakpahan.
Pertama, papar Aknolt, perang berpengaruh terhadap ketersediaan minyak dan gas bagi negara-negara Eropa. Rusia menguasai 40 persen pasokan gas alam dan 25 persen pasokan minyak di Eropa. Hal paling dekat yang akan terjadi adalah berkurangnya pasokan minyak dan gas untuk konsumen Eropa yang masih menghadapi musim dingin dalam setidaknya satu bulan ke depan.
Kekurangan pasokan minyak dan gas akan berakibat pada naiknya harga minyak dan gas padahal dalam situasi normal beberapa waktu yang lalu harga minyak dan gas sendiri sudah melonjak naik.
Kedua, naiknya harga minyak dan gas tentu juga akan berpengaruh kepada aktivitas produksi yang sangat mengandalkan minyak dan gas sebagai bahan baku produksi.
“Kenaikan harga minyak global tentu akan memberikan pukulan bagi harga jual sektor industri termasuk Indonesia apalagi dunia masih berhadapan dengan pandemi Covid-19,” terangnya.
Harapan akan terjadi pemulihan ekonomi di tahun 2022 ini bisa jadi berantakan seiring dengan kenaikan harga barang-barang dan ancaman inflasi. Ancaman inflasi di Eropa ditakutkan akan memberikan dampak buruk pada pembelian produk-produk impor. Pasar potensial Eropa akan terganggu karena masyarakat Eropa akan berhitung dengan cermat apa saja kebutuhan dasar mereka untuk dapat berhemat di situasi tidak pasti ini. Dampaknya adalah pada negara-negara yang terbiasa mengekspor produk-produknya ke pasar Eropa.
Instabilitas kawasan dan ketidakpastian ekonomi akan menyebabkan turunnya pasokan produk ekspor ke wilayah Eropa dan tentu saja perekonomian domestik negara-negara pengekspor. Walaupun wilayah Eropa bukan tujuan utama produk ekspor Indonesia, akan tetapi turunnya nilai ekspor ke Eropa tentu akan mempengaruhi perekonomian domestik termasuk para produsen lokal Indonesia. Hal ini tentu akan mengganggu proses pemulihan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan berbagai negara lain.
Ketiga, lanjut Aknolt, instabilitas politik yang terjadi di Eropa memberikan ketidakpastian terhadap sektor keuangan dunia. Harga-harga saham dan obligasi di berbagai bursa global menunjukkan tren negatif. Nilai tukar sebagian besar mata uang pun terdepresiasi jika dibandingkan dengan US Dollar. Melemahnya nilai tukar tentu akan memberikan dampak serius pada perekonomian domestik termasuk Indonesia. Ketidakpastian di pasar saham dan keuangan akan menyebabkan kehati-hatian investor global dalam menanamkan investasi.
“Hal ini tentu berpengaruh pada negara-negara yang sedang menarik para investor untuk pembiayaan program-program pembangunan dan pemulihan ekonomi sebagai respons dari pandemi Covid-19 saat ini,” ungkapnya.
Menurutnya, invasi Rusia ke Ukraina harus menjadi perhatian semua negara saat ini. Jika tidak disikapi dengan bijak, akan muncul instabilitas politik-ekonomi kawasan yang dapat memberikan dampak serius pada negara-negara di dunia termasuk Indonesia.
“Jangan lupa, dunia masih berkutat dengan penyelesaian pandemi Covid-19, jangan pula sekarang dunia harus memecah fokusnya untuk bersiasat mengurangi dampak ketegangan Rusia-Ukraina,” katanya.
Baca Juga: WHO Mengingatkan Jangan Anggap Ringan Varian Omicron, Indonesia Perlu Mewaspadai Multirisiko Pandemi Covid-19
Pil Covid-19 Buatan Amerika Serikat Diklaim Ampuh Kurangi Kasus Rawat Inap dan Kematian
Kekebalan Super Berpotensi Mengubah Peta Pandemi Covid-19
Konflik dan Jalan Budaya
Seperti diketahui, ketegangan antara Rusia dan Ukraina terjadi setelah Rusia mengakui kemerdekaan dua wilayah timur di Ukraina, yaitu Donetsk dan Luhansk yang dikuasai kelompok separatis pro-Rusia pada 21 Februari2022. Pemberian status kepada dua wilayah tersebut yang menjadi alasan Rusia mengerahkan pasukannya ke wilayah Ukraina dengan dalih menjaga stabilitas dan perdamaian.
Sejatinya, Rusia dan Ukraina adalah saudara serumpun, ibarat Indonesia dan Malaysia yang sama-sama dari rumpun Melayu. Dosen Program Studi Sastra Rusia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad), Supian, melihat perang ini sebagai konflik antarsaudara kandung. Kedua negara berasal satu rumpun budaya yang sama, yaitu Slavia Timur.
Supian yang pernah tinggal selama 7 tahun di Kota Moskow dan Voronezh, perbatasan Rusia-Ukraina, menuturkan karakter masyarakat Rusia dan Ukraina tidak jauh berbeda. Begitu juga dengan bahasa mereka.
Banyak warga negara Ukraina yang sehari-hari sekolah ataupun bekerja di Rusia. Dua di antaranya berasal dari Provinsi Donestk dan Luhansk, wilayah di Ukraina yang akhirnya diakui kedaulatannya oleh Rusia. Setiap akhir pekan, mereka mudik ke Ukraina.
“Secara kekerabatan masyarakat, sebenarnya tidak ada masalah. Sampai sekarang pun masyarakat Rusia dan Ukraina biasa saja,” tutur Supian, dikutip dari laman resmi Unpad.
Tetapi budaya ternyata menjadi akar pemicu perang Rusia dan Ukraina. Supian menjelaskan, larangan penggunaan bahasa Rusia di sekolah Donestk dan Luhansk memicu lahirnya konflik tersebut. Padahal, bahasa Rusia menjadi bahasa sehari-hari yang digunakan di dua provinsi tersebut.
Faktor ekonomi memperburuk masalah tersebut. Sebagai negara bekas pecahan Uni Soviet, tingkat ekonomi Ukraina ternyata tidak semaju Rusia yang notabene memegang saham terbesar dari aset Uni Soviet.
Ukraina akhirnya membuka peluang investasi yang besar dari luar agar bisa mengatasi ketertinggalan di bidang ekonomi. Investor asing, terutama dari Amerika Serikat dan Eropa Barat masuk ke Ukraina.
Ada anggapan bahwa secara budaya, rumpun Slavia Timur sulit berbaur dengan rumpun Indo-Jerman Barat. Ada banyak perbedaan yang tampak dari budaya Slavia dengan budaya negara-negara barat. Hal ini kemudian menuai kritik keras dari Rusia.
“Jadi konflik ini murni lebih ke politik. Akar masyarakat Rusia dan Ukraina itu sangat kuat, dan mereka sama-sama menganut Ortodoks,” tambah alumnus Pushkin State RL Institute Rusia ini.
Berakhir di Perundingan?
Ada kemungkinan konflik Rusia-Ukraina akan berakhir di meja perundingan. Sejarah telah membuktikan bagaimana diplomat Uni Soviet mampu menghindarkan konflik perang nuklir pada 1962.
“Ada satu moto yang dipegang teguh para diplomat Rusia-Ukraina hingga saat ini, yaitu ‘lebih baik 10 tahun berunding daripada 1 hari berperang’. Slogan ini jadi kurikulum wajib calon diplomat,” kata Supian.
Moto tersebut lahir dari Menteri Luar Negeri Uni Soviet Andrei Gromyko. Ia berhasil menjadi pahlawan yang mampu menghindarkan konflik perang nuklir di Kuba melalui meja perundingan.
Profil Andrei, sang pahlawan Uni Soviet tersebut, menarik. Andrei Gromyko berdarah Ukraina. Hal ini terlihat dari nama belakangnya yang merupakan marga Ukraina. Meski berasal dari Ukraina, Andrei kemudian besar di Moskow sampai ia wafat.
Dari sejarah ini Supian menemukan bahwa Rusia dan Ukraina selayaknya saudara kandung yang tidak bisa dipisahkan. Konflik terjadi akibat soal politik. “Saya yakin konflik ini akan berakhir di meja perundingan,” ujarnya.