WHO Mengingatkan Jangan Anggap Ringan Varian Omicron, Indonesia Perlu Mewaspadai Multirisiko Pandemi Covid-19
Pandemi yang belum usai membuat Indonesia menghadapi multibencana, mulai banjir, gunung api, gempa bumi. Pemerintah harus menyiapkan skenario multibencana.
Penulis Iman Herdiana20 Desember 2021
BandungBergerak.id - Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan semua negara agar meningkatkan kewaspadaan terhadap omicron, varian baru virus corona penyebab Covid-19. Hingga 18 Desember kemarin, WHO mencatat sudah tujuh negara di wilayah Asia Tenggara yang mengonfirmasi kasus varian Omicron.
WHO menekankan pentingnya peningkatan skala kesehatan masyarakat dan langkah-langkah sosial untuk mengurangi penyebaran varian omicron lebih lanjut. Sementara itu, Indonesia telah mengonfirmasi masuknya varian corona yang pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan itu.
Peringatan lain muncul dari epidemolog Universitas Indonesia (UI), bahwa Indonesia harus memiliki skenario multibencana di era pagebluk ini. Seperti diketahui, Indonesia adalah negeri seribu bencana. Di masa pagebluk masih melanda –walau saat ini jumlah kasusnya rendah– ancaman bencana yang dihadapi negeri ini masih serius, mulai banjir, gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dan lain-lain.
Khusus mengenai ancaman omicron, WHO mengatakan, negara-negara harus mencegah penyebarannya dengan langkah-langkah penanganan yang telah terbukti. Fokusnya harus terus melindungi mereka yang paling tidak terlindungi dan berisiko tinggi, kata Poonam Khetrapal Singh, Direktur Regional, Wilayah Asia Tenggara WHO, dalam keterangan resmi, Sabtu (18/12/2021).
Menurutnya, ancaman keseluruhan yang ditimbulkan oleh omicron sangat bergantung pada tiga pertanyaan kunci, yaitu tingkat penularan (transmisibilitas); seberapa baik perlindungan dari vaksin dan infeksi alamiah, dan seberapa ganas varian tersebut dibandingkan dengan varian lainnya.
“Dari apa yang kita ketahui sejauh ini, omicron tampaknya menyebar lebih cepat daripada varian delta yang dikaitkan dengan lonjakan kasus di seluruh dunia dalam beberapa bulan terakhir,” kata Poonam Khetrapal Singh.
Data yang muncul dari Afrika Selatan menunjukkan omicron meningkatkan jumlah kasus infeksi ulang (orang yang pernah terinfeksi tertular kembali). Ada juga kecenderungan bahwa omicron meningkatkan keparahan klinis, walaupun data tingkat keparahan ini masih dalam skala terbatas.
“Informasi lebih lanjut diperlukan untuk sepenuhnya memahami gambaran klinis dari mereka yang terinfeksi omicron. Kami mengharapkan lebih banyak informasi dalam beberapa minggu mendatang,” katanya.
Maka ia pun menegaskan, omicron tidak boleh dianggap ringan, bahkan jika varian ini menyebabkan sakit yang tidak terlalu parah. Sebab, banyaknya jumlah kasus akan tetap berpotensi membanjiri sistem kesehatan. Oleh karena itu, kapasitas perawatan kesehatan termasuk tempat tidur ICU, ketersediaan oksigen, staf perawatan kesehatan yang memadai, dan kapasitas lonjakan perlu ditinjau dan diperkuat di semua tingkatan.
“Itu semua harus terus kita lakukan. Melindungi diri sendiri dan melindungi satu sama lain. Vaksinasi, pakai masker, jaga jarak, buka jendela, bersihkan tangan dan batuk serta bersin dengan aman. Terus lakukan semua tindakan pencegahan meskipun kita telah mendapat vaksin dengan dosis penuh,” katanya.
Mengenai perlawanan varian omicron pada vaksin, Poonam Khetrapal Singh menyatakan data awal menunjukkan bahwa vaksin kemungkinan telah mengurangi efektivitas infeksi yang disebabkan varian hasil mutasi tersebut. Namun hal ini masih dalam penelitian lebih lanjut, terutama mengenai sejauh mana omicron dapat menghindari vaksin dan atau kekebalan alamiah pascainfeksi.
Secara global, pandemi saat ini didorong oleh varian delta, di mana vaksin terus memberikan tingkat perlindungan yang kuat dari penyakit parah, rawat inap, dan kematian. Oleh karena itu, upaya meningkatkan cakupan vaksinasi harus terus berlanjut dalam menghadapi omicron.
Tetapi Vaksin saja Belum Cukup
Vaksin adalah alat penting dalam perjuangan melawan pandemi, kata Poonam Khetrapal Singh. Tetapi, vaksin saja tidak akan membuat negara mana pun keluar dari pandemi ini.
“Kita harus meningkatkan vaksinasi dan pada saat yang sama menerapkan langkah-langkah kesehatan dan sosial masyarakat, yang telah terbukti penting untuk membatasi penularan Covid-19 dan mengurangi kematian,” katanya.
Langkah-langkah kesehatan dan sosial tersebut mencakup pengawasan dan respons seperti pengujian, pengurutan genetik, pelacakan kontak, isolasi, dan karantina. Termasuk disiplin mematuhi protokol kesehatan, seperti masker; jarak fisik; menghindari keramaian, mengatur sirkulasi udara dalam ruangan; memastikan kebersihan tangan dan etika pernapasan seperti batuk dan bersin.
Baca Juga: Membandingkan Bahaya Varian Omicron dengan Delta
Mewaspadai Varian Omicron, Bandara Husein Sastranegara Perlu Diperketat
Membedakan Virus Corona Varian India dengan Covid-19 Biasa
Multirisiko Pandemi Covid-19
Di saat pandemi belum usai, Indonesia saat ini menghadapi multirisiko bencana alam. Termutakhir adalah banjir besar di sejumlah provinsi dan bencana letusan Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur.
Mondastri Korib Sudaryo, guru besar Universitas Indonesia, menyampaikan bahwa berbagai bencana alam maupun pandemi Covid-19, berawal dari interaksi yang tidak seimbang antara bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), pajanan (exposure), dan kapasitas (capacity).
Mondastri menjelaskan, kuantitas risiko bencana dapat diperkirakan dengan menggunakan sistem skor sebagaimana dikembangkan oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).
“Setiap komponen dari risiko bencana memiliki beberapa parameter yang ditentukan skor atau nilainya. Dari skor atau nilai-nilai seluruh komponen risiko bencana, dengan menggunakan formula di atas yang diberi pembobotan nilai, dapat dihitung nilai risiko bencana untuk setiap jenis bahaya (hazard) di suatu wilayah yang disebut indeks risiko bencana,” ujarnya, dalam pidato pengukuhan Guru Besar yang berjudul “Mewaspadai Multirisiko (Multi-Risk) Pandemi Covid-19 dan Bencana Lainnya di Indonesia”, Sabtu (11/12/2021).
Berdasarkan hal tersebut, beberapa jenis bahaya (hazard) di wilayah yang sama dapat menghasilkan multibahaya (multi-hazard). Multibahaya ini didefinisikan sebagai kombinasi dua atau lebih bahaya (hazard) dari berbagai sumber yang terjadi secara bersamaan atau bahkan lebih sering, satu bahaya mengikuti bahaya lainnya dengan daya rusak gabungan yang kuat.
“Multibahaya ketika berinteraksi dengan tiga aspek lainnya, yaitu kerentanan (vulnerability), pajanan (exposure), dan kapasitas (capacity) yang juga bersifat gabungan, pada akhirnya dapat menimbulkan multirisiko bencana,” paparnya.
BNPB pada kurun waktu sejak tahun 2015 hingga 2020 sudah membuat indeks risiko bencana di seluruh Indonesia sampai tingkat kabupaten dengan berbasis pada multibahaya dari 9 macam bahaya alam (natural hazard), yaitu banjir, gempabumi, tsunami, letusan gunung api, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), tanah longsor, gelombang ekstrim dan abrasi, kekeringan cuaca ekstrim.
“Dari perhitungan indeks risiko bencana di tingkat provinsi, tidak ada satu provinsi pun yang indeks risiko bencananya rendah. Semua provinsi berada pada status sedang dan tinggi. Dari 34 provinsi, 19 provinsi (56 persen) memiliki indeks risiko tinggi,” katanya.
Ia mengatakan, kepulauan Indonesia secara geografis berada di wilayah bahaya alamiah (natural hazard), masih harus berhadapan dan mengendalikan pandemi Covid-19 Yang sangat dinamis dan sulit diprediksi. Maka seyogyanya pemerintah mulai mempersiapkan diri untuk fokus pada manajemen multirisiko yang mengintegrasikan manajemen risiko bencana dari natural hazard dan dari pandemi Covid-19, dengan penekanan utama pada kesiapsiagaan dan akselerasi strategi pengurangan risiko bencananya.
Agar strategi itu mampu dilaksanakan, maka ia memandang perlu penguatan kerja sama kemitraan antara pemerintah, akademisi, dan stakeholder, kata Mondastri yang juga dekan terpilih dari Fakultas Kesehatan Masyarakat UI periode 2021-2025, dan menekuni bidang epidemiologi penyakit menular dan epidemiologi bencana.