• Dunia
  • Pil Covid-19 Buatan Amerika Serikat Diklaim Ampuh Kurangi Kasus Rawat Inap dan Kematian

Pil Covid-19 Buatan Amerika Serikat Diklaim Ampuh Kurangi Kasus Rawat Inap dan Kematian

Pil Covid-19 ini memungkinkan bagi pasien untuk menjalani perawatan di rumah, tanpa harus rawat inap di rumah sakit.

Antrean pembeli obat di Apotek Kosambi, Bandung, 28 Juni 2021. Meningkatnya kasus Covid-19 membuat kebutuhan obat pun meningkat. Prima Mulia

Penulis Iman Herdiana4 Oktober 2021


BandungBergerak.idSetelah negara-negara gencar memproduksi vaksin Covid-19, kini muncul pil Covid-19 yang dikembangkan Merck dan Ridgeback Biotherapeutics, perusahaan obat Amerika Serikat. Hasil uji klinis terhadap obat bernama molnupiravir itu diklaim menggembirakan.

Perlu diketahui, hingga saat ini di dunia belum ada obat Covid-19 dalam bentuk pil (oral). Merck kini berencana mengajukan izin darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) ke Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) dan berencana mengajukan izin serupa untuk ke badan obat di seluruh dunia.

Mengutip laman merck.com, Senin (4/10/2021), Merck, yang dikenal sebagai MSD di luar Amerika Serikat, bersama Ridgeback Biotherapeutics, mengumumkan hasil penelitian fase 3 pada molnupiravir (MK-4482, EIDD-2801) pada pasien Covid-19 dewasa berisiko ringan dan sedang yang tidak dirawat di rumah sakit.

Hasil analisis sementara, molnupiravir mengurangi risiko rawat inap atau kematian sekitar 50 persen; dengan rincian 7,3 persen pasien yang menerima molnupiravir dirawat di rumah sakit atau meninggal hingga hari ke-29, dibandingkan dengan 14,1 persen pasien yang diobati dengan plasebo.

Hingga hari ke-29, tidak ada kematian yang dilaporkan pada pasien yang menerima molnupiravir, dibandingkan dengan 8 kematian pada pasien yang menerima plasebo. Atas rekomendasi Komite Pemantau Data independen dan berkonsultasi dengan FDA, penelitian tersebut dihentikan lebih awal karena hasilnya positif.

“Lebih banyak alat dan perawatan sangat dibutuhkan untuk memerangi pandemi Covid-19, yang telah menjadi penyebab utama kematian dan terus mempengaruhi pasien, keluarga, dan masyarakat secara mendalam dan membebani sistem perawatan kesehatan di seluruh dunia. Dengan hasil yang meyakinkan ini, kami optimis bahwa molnupiravir dapat menjadi obat penting sebagai bagian dari upaya global untuk memerangi pandemi dan akan menambah warisan unik Merck dalam menghadirkan terobosan dalam penyakit menular saat paling dibutuhkan,” ungkap Robert M. Davis, pemimpin perusahaan Merck.

Robert M. Davis mengatakan, Merck konsisten dan komitmen untuk menyelamatkan dan meningkatkan kehidupan, dan berjanji akan membawa molnupiravir kepada pasien secepat mungkin. Tak lupa, ia menyampaikan terima kasihnya kepada jaringan peneliti uji klinis dan pasien yang menjadi relawan pengembangan molnupiravir.

Wendy Holman, CEO Ridgeback Biotherapeutics, mebambahkan di saat virus corona terus menyebar, dan masih terbatasnya terapi serta akses ke fasilitas kesehatan, maka sangat diperlukan fasilitas yang memungkinan bagi pasien untuk dirawat di rumah.

 “Kami sangat terdorong oleh hasil analisis sementara dan berharap molnupiravir, jika diizinkan untuk digunakan, dapat memberikan dampak besar dalam mengendalikan pandemi. Kemitraan kami dengan Merck sangat penting untuk memastikan akses global yang cepat jika obat ini disetujui, dan kami menghargai upaya kolaboratif untuk mencapai tahap pengembangan yang penting ini,” kata Wendy Holman.

Libatkan 775 Pasien Relawan Uji Klinis

Analisis sementara pada molnupiravir didasarkan penelitian pada 775 pasien yang terdaftar dalam uji coba MOVe-OUT Fase 3, 5 Agustus 2021. Awalnya perekrutan relawan untuk memenuhi fase 3 ini sebanyak 1.550 orang yang menjadi relawan uji klinis. Namun karena efikasinya dinilai meyakinkan, maka penelitian ini dihentikan untuk masuk ke fase selanjutnya, yaitu penggunaan secara darurat.

Pasien yang direkrut terdiri dari pasien Covid-19 dengan gejala ringan hingga sedang yang dikonfirmasi laboratorium. Semua pasien yang mengikuti uji klinis juga harus memiliki minimal satu faktor risiko penyakit.

Hasilnya, molnupiravir mengurangi risiko rawat inap dan/atau kematian di semua subkelompok utama penelitian; Selain itu, berdasarkan peserta dengan data pengurutan virus yang tersedia (sekitar 40 peserta peserta), molnupiravir menunjukkan kemanjuran yang konsisten di seluruh varian virus gamma, delta, dan mu.

Sementara insiden efek samping sebanding pada kelompok molnupiravir dan plasebo (masing-masing 35 persen dan 40 persen). Demikian pula, kejadian efek samping terkait obat juga sebanding (12 persen dan 11 persen).

Baca Juga: Data Sebaran Balita Keluarga Miskin di Kota Bandung 2019, Terbanyak di Kecamatan Babakan Ciparay
Pandemi Covid-19 Bandung Raya: Masih Ada Kasus Positif Aktif
Pelaku UMKM Cimahi Lesu, UMKM Bandung Perlu Insentif

Penelitian Pil Covid-19 di Indonesia

Sejumlah produsen obat selain Merck juga melakukan penelitian pil Covid-19 di dunia. Indonesia pun tak mau ketinggalan, pada 2 Desember 2020, Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan PT Filipina Antiviral Indonesia (FAI) tengah mengembangkan obat antivirus Covid-19.

Obat ini tengah dalam pengembangan dan menunggu izin dari BPOM dan Komite Etik untuk dilakukan uji klinis. Rencananya, obat antivirus Covid-19 ini ditargetkan akan siap dipasarkan pada 2022, seperti disampaikan Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni, Paripurna Sugarda, dalam keterangannya kepada wartawan secara virtual di sela kegiatan UGM-Industri Research Forum 2020, laman resmi UGM, Senin (4/10/2021).

Paripurna menuturkan kerja sama pengembangan obat menggandeng FAI di mana perusahaan filantropi ini menyediakan pendanaan bagi peneliti UGM untuk mengembangkan obat untuk membantu penanggulangan pandemi Covid-19.

“Kerja sama ini awalnya untuk mengembangan obat antiradang, namun juga dikembangkan untuk antivirus Covid-19 juga,” katanya.

Melalui kerja sama dengan mitra industri ini menurut Paripurna, UGM nantinya tidak hanya memproduksi alat diagnosis Covid-19 berbasis antigen RI-GHA maupun GeNose yang mendeteksi Covid-19 dari embusan napas, melainkan juga akan memproduksi obat anti virus juga.

”Kita tidak hanya memproduksi alat deteksi positif Covid tapi juga bisa memproduksi vaksin juga bahkan kita bisa memproduksi obat Covid-19,”katanya.

UGM juga akan menggandeng PT Kimia Farma untuk kerja sama dalam pengembangan lebih lanjut. Sementara Direktur Utama PT FAI, Mario Pacurso Marcos, menyampaikan ia menyambut baik terlaksananya kerja sama dengan pihak UGM ini dalam pengembangan obat untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.

Ia percaya bahwa UGM dengan kapasitas peneliti yang dimilikinya mampu menghasilkan obat anti inflamasi dan obat anti virus Covid-19 yang berstandar internasional.

“Saya harap kerja sama ini mendorong peningkatan kapasitas SDM di Indonesia maupun Filipina,”kata Mario Pacurso Marcos.

Jarir At Thobari,Ph.D., salah satu anggota tim peneliti dari FKKMK UGM, mengatakan pengembangan obat antiinflamasi dan antivirus sengaja dipilih dikarenakan di tanah air masih sedikit yang sudah mengembangkan.

“Beberapa obat antiviral masih sangat sedikit diteliti dan diproduksi langsung,” katanya.

Rencananya, awal 2021 ini uji klinis sudah dimulai, walaupun hingga kini belum ada kabar kelanjutan dari penelitian obat oral ini.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//