• Kolom
  • NGABANDUNGAN: Sajak Kritis Politik Pendidikan

NGABANDUNGAN: Sajak Kritis Politik Pendidikan

Kekuasaan kerap kali menghindari pertanyaan-pertanyaan kritis dari rakyatnya. Sejarah pendidikan Indonesia telah menunjukkan itu. 

Iman Herdiana

Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].

Guru sedang menerangkan di SDN 025 Cikutra, Bandung, Jumat (2/9/2022). (Foto Ilustrasi dan desain: Prima Mulia dan Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

21 Maret 2023


BandungBergerak.id“Matahari terbit pagi ini,” tulis W.S. Rendra dalam Sajak Pertemuan Mahasiswa. Berulang kali diksi matahari muncul dalam sajak ini. Tentu Rendra tidak membicarakan keindahan alam pagi atau senja dengan semburat jingga di horison. Matahari bisa saja simbol dari waktu yang terus berjalan, atau penguasa. Rendra mengajak “memeriksa keadaan” kehidupan, pendidikan, dan mahasiwa. 

“Sajak Pertemuan Mahasiswa” ditulis W.S. Rendra untuk mahasiswa Universitas Indonesia terkait acara film “Yang Muda Yang Bercinta” di Jakarta, 1 Desember 1977. Dalam film garapan sutradara Sjuman Djaya yang naskahnya ditulis Umar Kayam itu, Rendra menjadi aktor utama bersama bintang kenamaan lainnya masa itu seperti Yati Octavia, Nani Wijaya, dan lain-lain.

Film “Yang Muda Yang Bercinta” mengisahkan kehidupan penyair yang penuh protes, seorang pacar yang hamil, korupsi, dan kejujuran. Ketika selesai digarap, film ini tak bisa langsung tayang karena masih harus melewati lembaga sensor negara. Pada 1978, setelah disensor selama 18 menit, film ini masih dilarang diputar di wilayah hukum Kodam Jaya “karena dinilai ada unsur propaganda, agitasi dan menghasut masyarakat, khususnya generasi muda” (Filmindonesia.or.id). Masalah ini terus berlarut sampai harus dibicarakan di tingkat Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, lembaga keamanan internal era Orde Baru). Baru 15 tahun kemudian (tahun 1993) film ini bisa diputar di Jakarta! 

Keadaan yang penuh dengan sensor dan larangan itulah yang menurut Rendra harus diperiksa oleh mahasiswa (generasi muda). Sajak Sajak Pertemuan Mahasiswa, sebagaimana film Yang Muda Yang Bercinta, lahir ketika matahari di puncaknya, saat rezim menjelma antikritik, dan kritik menjadi barang langka, amat jarang dilakukan di ruang-ruang terbuka, cukup disampaikan melalui simbol-simbol seni atau sastra. 

Tahun 70-an, Orde Baru memang sedang kuat-kuatnya berkuasa dan giat-giatnya menjalankan program utama pembangunan. Melontarkan pertanyaan kritis soal pembangunan akan berhadapan dengan senjata, walaupun pembangunan yang dijalankan dengan klaim “maksud baik” ini pada kenyataannya tak merata atawa timpang. 

“Ada yang bersenjata, ada yang terluka. Ada yang duduk, ada yang diduduki. Ada yang berlimpah, ada yang terkuras,” tulis Rendra. 

Jika pembangunan adalah maksud baik, lanjut penyair berjuluk si burung merak ini, maka “maksud baik saudara untuk siapa?” Karena “makin banyak petani yang kehilangan tanahnya”. 

Sajak Pertemuan Mahasiswa kental dengan isu politik dan pendidikan yang dikemas dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan kritis. “Kita ini dididik untuk memihak yang mana? Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan, ataukah alat penindasan?” 

Pertanyaan-pertanyaan kritis itu bergulir seiring berlarinya waktu dan semakin kukuhnya kekuasaan yang senantiasa dihantui pertanyaan-pertanyaan kritis dari rakyatnya. Rendra melukiskannya dalam penggalan, “Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Dan esok hari matahari akan terbit kembali” memancarkan kuasanya melalui politik. Lewat politiknya, penguasa harus hadir mengontrol segala lini kehidupan, tak terkecuali dunia pendidikan.

Bahkan politik penguasa harus ikut campur sampai masuk ke ruang-ruang kelas. Sejarah mencatat, pada masa Orde Baru dan Orde Lama pendidikan dimanfaatkan menjadi alat untuk mengontrol warga negaranya, alih-alih menjadi media pembebasan dan melahirkan generasi-generasi kritis. Sunarso dalam bukunya “Politik Pendidikan Tiga Rezim” cukup rinci menguraikan politik negara yang merongrong dunia pendidikan ini. 

Politik Pendidikan Orde Lama

Sunarso dalam buku yang diterbitkan CV. Indotama Solo, Surakarta, Februari 2021, itu mendedahkan pengaruh politik pada pendidikan di Indonesia zaman Sukarno, Suharto, dan reformasi. Pada periode awal kemerdekaan, disebutkan bahwa sistem pendidikan sebenarnya dibangun dalam fondasi Pancasila yang demokratis. Ini tercermin pada UU No. 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, dengan tujuan pendidikan sebagai berikut: “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”.

Undang-undang tersebut menunjukkan sejak awal pendidikan diniatkan untuk melahirkan murid-murid yang kritis, “membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis”. Pelajaran yang mengusung demokrasi diterapkan melalui mata pelajaran kewarganegaraan atau civic. Melalui pelajaran kewarganegaraan ini, kata Sunarso, sejak kecil setiap murid sudah diajarkan untuk bersikap kritis terhadap hak-haknya sekaligus mengetahui kewajiban negara terhadap warganya. Dengan kata lain, pelajaran kewarganegaraan akan menumbuhkan sikap kritis pada setiap murid.

Sistem pendidikan yang demokratis dan kritis yang ditanamkan pada periode awal kemerdekaan (1945-1950) itu tentunya tidak lepas dari pengaruh tokoh-tokoh pergerakan nasional yang masuk ke dalam jajaran kabinet, antara lain Ki Hadjar Dewantara (Suwardi Suryadiningrat), tokoh penggerak Taman Siswa yang dikenal sangat kritis di era kolonial. Suwardi tercatat menjadi Menteri Pengajaran (1889-1959).

Namun memasuki periode tahun 1950, situasi sisial politik Indonesia penuh gejolak. Masalah dengan Belanda dan Jepang belum selesai, bibit-bibit pemisahan diri dari kekuasaan terus tumbuh, para tokoh dan partai politik saling berdebat. Situasi ini merembet pada sistem pendidikan. Dalam kurun waktu lima tahun saja (1945-1950) telah terjadi 12 pergantian Menteri Pengajaran dalam 10 pergantian kabinet presidentil.

Puncaknya, dalam catatan Sunarso, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, membubarkan Konstituante yang gagal menyusun undang-undang dasar baru, dan kembali kepada UUD 1945. Masa ini kemudian dikenal demokrasi terpimpin. Wajah pemerintah pun berubah menjadi otoriter. Pada masa ini, Dwi Tunggal sudha pecah. Bung Hatta mundur dari kekuasaan sejak 1 Desember 1956 (Cara Legendaris ala Hatta Mengkritik Sukarno, tirto.id, diakses Selasa (21/3/2023)).

Menurut Sunarso, konsep demokrasi era demokrasi terpimpin berubah. Pancasila yang seharusnya dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan bergeser menjadi konsep demokrasi yang dipimpin oleh Presiden Pemimpin Besar Revolusi. Era demokrasi terpimpin dikenal juga dengan era Manipol Usdek, dasar dari pemerintahan demokrasi terpimpin, akronim dari Manifesto Politik  Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.

Gelora Manipol Usdek itu kemudian mempengaruhi sistem pendidikan. Dalam Keputusan Presiden RI, No. 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan ditetapkan sebagai berikut:

“Tujuan Pendidikan Nasional baik yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak swasta, dari pendidikan Prasekolah sampai Pendidikan Tinggi, supaya melahirkan Warga Negara Sosialis, yang bertanggungjawab atas terselenggaranya Masyarakat Sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spirituil maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila” (Sunarso, Politik Pendidikan Tiga Rezim, Surakarta, Februari 2021). 

Dari tujuan tersebut tampak ada pergeseran mendasar dari pendidikan yang demokratis menjadi pendidikan yang sosialis. Arah pendidikan ini lantas dirombak total di masa Orde Baru.

Baca Juga: NGABANDUNGAN: Bunga Rawa dan Burung Pelikan
NGABANDUNGAN: Membahasakan Maneh
NGABANDUNGAN: Winter is Coming di Tahun Politik

Politik Pendidikan Orde Baru 

Jika pada masa Manipol Usdek pendidikan bertujuan “melahirkan warga negara sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia”, maka di era Orde Baru tujuan pendidikan nasional berubah menjadi ”membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh pembukaan UUD 1945. Ide Manipol Usdek telah diganti secara tegas menjadi falsafah Pancasila.

Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai alat untuk melancarkan politiknya, termasuk menghapus pengaruh paham Sukarno. Produk pendidikan yang bermuatan politik Orde Baru tersebar pada berbagai aspek. Kita ambil beberapa contoh yang paling mencolok dari uraian Sunarso, yaitu mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (sebagai pengganti pendidikan kewarganeragaan/civic di era Sukarno), Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), dan pelajaran sejarah.

Jika pada pendidikan kewarganegaraan era awal Orde Lama murid sekolah dirangsang kritis dengan dikenalkan pada hak dan kewajiban, sebaliknya PMP dan P4 lebih menuntut ketaatan dan kepatuhan pada ideologi negara. Di sinilah pendidikan kritis mulai dipangkas. Wajar bila kemudian produk pendidikan yang lahir dari mata pelajaran PMP ini adalah orang-orang yang taat, dan tidak kritis (Darmaningtyas, 2004: 10, dalam Sunarso, Politik Pendidikan Tiga Rezim, Surakarta, Februari 2021).

Orde Baru melihat pelajaran yang mengenalkan hak-hak warga negara tidak akan menguntungkan bagi negara. Pendidikan yang melahirkan lulusan kritis akan beresiko bagi kelanggengan kekuasaan. Melalui pelajaran PMP dan Penataran P4, risiko-risiko itu dibungkam. PMP dan Penataran P4 bersifat mengikat dan berdampak besar bagi kelulusan murid maupun angkatan kerja. Tidak lulus PMP berarti sulit untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Bahkan Penataran P4 berlaku wajib bagi murid, Pegawai Negeri Sipil (PNS), sampai rakyat di tingkat desa (Sunarso, Politik Pendidikan Tiga Rezim, Surakarta, Februari 2021).

Berikutnya, catat Sunarso, Orde Baru memanfaatkan pelajaran sejarah untuk mendukung kepentingannya. Sebagai contoh, Sejarah Nasional sangat menonjolkan materi peristiwa 1965-1966 yang menampilkan penguasa Orde Baru sebagai pahlawan. Beban pendidikan oleh muatan politik semakin berat dengan penambahan mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) pada Kurikulum 1984. Padahal materi di dalam pelajaran PSPB sami mawon dengan Sejarah Nasional yang menonjolkan heroisme Orde Baru dalam kampanye anti-PKI. 

Beban pendidikan semakin berat manakala kekuasaan mengatur seragam sekolah. Menurut Sunarso, ketentuan seragam secara nasional mulai diberlakukan sejak 1987. Merah-putih untuk SD, biru-putih untuk SLTP, dan abu-abu-putih untuk SMTA. Sebelumnya seragam pelajar itu ditentukan oleh masing-masing sekolah dan fungsinya hanya untuk menghindari terjadinya persaingan yang tidak sehat saja.

Guru pun tak lepas dari cengkeraman politik Orde Baru. Organisasi guru (PGRI) yang awalnya berwatak serikat kerja, diubah menjadi organisasi profesi yang harus terafiliasi pada partai politik penguasa. Hilangnya status serikat pekerja membuat PGRI kesulisan memperjuangkan kesejahteraan dan hak-hak guru.

Akhirnya, politik menguasai pendidikan melalui penyeragaman fisik dan mental. Di sisi lain, Sunarso memaparkan pembangunan ekonomi di masa Orde Baru berjalan gencar. Pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6,8 persen per tahun. Namun pembangunan berjalan tidak seimbang dengan demokrasi. Pemilu dilaksanakan tanpa sistem multi partai sebagaimana Pemilu 1955, bahkan sejak 1973 jumlah partai disederhanakan menjadi 3 saja.

Menurut William Liddle, pada tahun 1984 semua partai diharuskan berasas tunggal, yakni Pancasila Kebebasan pers dan kebebasan mimbar diawasi secara ketat. Dari tahun 1960 hingga tahun 1980, terjadi banyak insiden kekerasan yang diklaim oleh pemerintah sebagai ekstrim kanan, dan dijadikan alasan pemerintah Orde Baru untuk mewaspadai gerakan Islam militan (William Liddle, 1996: 5, dalam (Sunarso, Politik Pendidikan Tiga Rezim, Surakarta, Februari 2021).

Ketimpangan ekonomi dan demokratisasi menjadikan pembangunan bersifat semu. Di permukaan, insfrastruktur dan gedung-gedung tampak menjulang tinggi, sementara rakyat kecil tidak merasakan pemerataan hasil pembangunan. Fenomena tersebut tercermin dalam sajak W.S. Rendra, bahwa “Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota. Perkebunan yang luas hanya menguntungkan segolongan kecil saja”.

Politik Pendidikan Pascareformasi

Matahari timbul tenggelam. Reformasi bergulir. Suharto lengser pada 21 Mei 1998 digantikan wakilnya, B.J. Habibie. Pada era Presiden Habibie, meski pemerintahannya berlangsung amat singkat sampai Oktober 1999, Sunarso mencatat beberapa perubahan mendasar di bidang pendidikan. Di antaranya, pencabutan P4 dan penghapusan PMP sebagai upaya menghindari indoktrinasi negara terhadap anak-anak sekolah. Sementara di bidang politik, Dwi Fungsi ABRI yang hidup di era Suharto, juga dihapus. (B.J. Habibie: Presiden Peralihan, Peletak Dasar Demokrasi Indonesia", tirto.id, diakses Selasa (21/3/2023)).

Dengan dicabutnya Penataran P4 dan PMK, pendidikan kritis dan demokratis coba dihidupkan kembali. Anak-anak di sekolah dirangsang untuk aktif melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis, untuk “memeriksa keadaan”, meminjam istilah Rendra.

Kini, 25 tahun pascareformasi fenomena antikritik sepertinya belum enyah di negeri ini. Pasal-pasal antikritik masih bercokol di UU ITE dan UU KUHP. Sementara pada level lokal, sejumlah pejabat menunjukkan gejala antikritik yang sama. Paling mutakhir terjadi pada polemik istilah maneh dengan dalih kasar dan tidak sopan. Padahal kata maneh dipakai dalam bingkai pertanyaan kritis terhadap seorang pejabat.

Fenomena lainnya, kebijakan sekolah pukul 05.30 yang menimbulkan kegemparan bagi banyak kalangan. Kebijakan ini konon demi memajukan pendidikan, dalih yang sulit ditangkap nalar karena berani menyimpulkan bahwa pendidikan akan maju jika jam sekolahnya dimajukan! Kritik terhadap kebijakan ini terus mengalir. Namun pejabat setempat jalan terus bagai anjing mengonggong kafilah berlalu.

Menolak kritik dan mengabaikannya sama dengan jalan mundur bagi demokrasi. Penolakan terhadap kritik juga menjadi sinyal kembalinya otoritarianisme yang pernah hidup dalam sejarah Indonesia. Dalam situasi ini, Sajak Pertemuan Mahasiswa W.S. Rendra untuk generasi muda menemukan relevansinya. Apakah mereka “Akan hidup di dalam bermimpi...” dan hanya melihat “...esok hari matahari akan terbit kembali”. Atau “masuk ke sungai menjadi ombak di samodra”. 

Lebih lugas lagi Widji Thukul melalui puisi Peringatan telah memperingatkan:

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//