NGABANDUNGAN: Winter is Coming di Tahun Politik
Film Games of Thrones berasal dari novel karangan George R.R. Martin. Semboyan dalam film ini, Winter is Coming, pernah dilontarkan Presiden Jokowi.
Iman Herdiana
Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].
9 Februari 2023
BandungBergerak.id - “Winter is Coming,” semboyan dari negeri utara – satu dari 7 kerajaan pada film Games of Thrones – itu diucapkan Presiden Joko Widodo saat membuka acara IMF-World Bank di Bali, 12 Oktober 2018. Belakangan frasa dari film fiksi ini seakan menjelma menjadi kenyataan dengan munculnya pandemi Covid-19 yang diikuti melemahnya ekonomi dunia. Bahkan kini dunia mulai memasuki resesi.
Dunia benar-benar masuk musim dingin berkepanjangan entah secara harfiah maupun simbolik. Secara harfiah, musim hujan tahun lalu terjadi sepanjang tahun dan masih terjadi hingga awal tahun 2023 ini. Penyebabnya diduga kuat karena pemanasan global dari aktivitas manusia sendiri. Secara simbolik, pelemahan ekonomi terjadi sejak pandemi yang dampaknya tidak akan hilang setahun atau dua tahun. Bahkan ketika pandemi mereda, angka inflasi justru melonjak. Akhif tahun kemarin, angka inflasi Kota Bandung mencapai 7,54 persen sekaligus tertinggi secara nasional (siaran pers Pemkot Bandung, 24 Januari 2023).
Jadi, dilihat dari fakta-fakta pernyataan “Winter is Coming” dari Jokowi memang terjadi. Tak salah jika ada orang yang bilang bahwa ramalan Jokowi jitu, meskipun saya yakin Pak Jokowi bukanlah tukang nujum. Sebagai kepala negara dari ribuan pulau – yang kerumitannya jauh lebih rumit dibandingkan Games of Thrones yang hanya terdiri dari 7 kerajaan – Jokowi pasti memiliki banyak data penting. Data-data inilah yang kemudian menjadi dasar terlontarnya “Winter is Coming”.
Selain data, jangan lupa bahwa sejarah selalu berulang. Data dan sejarah biasa menjadi pegangan untuk meramal masa depan. Winter is Coming yang menjadi semboyan negeri Utara pun lahir dari sejarah negeri Utara sendiri.
Film Games of Thrones berasal dari novel karangan George R.R. Martin. Alkisah, keluarga Ned Stark yang menjadi seri pembuka dari film Games of Thrones, hidup di negeri yang memiliki musim dingin terpanjang. Ned Stark merupakan Lord dari Utara yang tunduk pada Seven Kingdoms pimpinan maharaja Robert Baratheon.
Dari keluarga Ned Stark inilah cerita bermula, anak-anak Ned Stark seperti Robb, Sansa, Arya, Bran, dan John Snow kemudian memegang peranan penting masa depan 7 kerajaan di pulau Westeros.
Alur film semakin rumit manakala masing-masing 7 kerajaan menghadapi konflik internal, intrik politik, perebutan kekuasaan, ketika mereka sebenarnya sedang menghadapi ancaman yang lebih mengerikan dari dunia lain yang tak kasat mata. Jika dihubungkan dengan dunia nyata atau sejarah, sebenanya tidak sedikit kerajaan atau negara yang hancur karena tidak kuasa mengelola konflik dari dalam.
Kerajaan Sunda mengalami masa jaya di era Prabu Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja (1482-1521), misalnya. Di masa itu, kerajaan Sunda sedang dikepung pengaruh kesultanan Islam mulai dari Banten hingga Cirebon dan Demak. Untuk membendung pengaruh Islam, Prabu Jayadewata mengeluarkan pedoman Sanghyang Siksa Kandang Karesian, naskah berangka tahun 1440 saka (1518 M) ini merupakan pedoman hidup Hindu untuk warga Sunda Pajajaran. Setelah Prabu Jayadewata mangkat, tahta beralih pada Prabu Surawisesa (1521-1535) ketika konflik dengan kesultanan Islam semakin menguat. (Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Pedoman Masyarakat Sunda (Historia, diakses Kamis 9/2/2023)).
Peralihan kekuasan dari Prabu Jayadewata ke Prabu Surawisesa merupakan situasi internal yang rawan. Peristiwa transisi ini kemudian membawa akhir dari kerajaan Pajajaran dan berkibarnya kesultanan Islam.
Masa transisi pada peristiwa sejarah kemudian kerap dijadikan titimangsa penting dan pelajaran. Masa ini bisa dibilang memiliki makna yang serupa dengan “Winter is Coming” jika mengacu pada film Games of Thrones. Namun sebenarnya ada istilah lain yang lebih mengindonesia untuk menyebut masa transisi, yaitu pancaroba.
Dalam konteks pancaroba ini, barangkali berangkat dari fakta sejarah pula Sukarno pernah berujar, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”
Kalimat presiden pertama RI yang berbau ramalan itu lahir di masa penjajahan, di saat seluruh nasionalis berusaha mengusir musuh bersama, yaitu penjajah Belanda dan Jepang. Bagi orang-orang di zamannya, mungkin mereka akan berkata “ngomong apa sih si Bung Besar ini?”. Maklum saja, suatu ramalan baru terasa relevansinya ketika zaman sudah berubah, yakni dari alam penjajahan oleh bangsa lain ke alam penjajahan masa kini yang disebut alam merdeka. Ironisnya, pada fase alam merdeka justru terjadi penjajahan oleh bangsa sendiri.
Fakta sejarah bahwa Suharto tumbang menunjukkan terbuktinya petuah Sukarno. Reformasi dikhianati dengan melahirkan regulasi yang bertentangan dengan amanat reformasi, adalah fakta lain lagi. Aktivis reformasi yang dulu berapi-api menentang otoritarianisme Suharto, kini duduk dalam sepi ketika menyesap anggur kekuasaan.
Baca Juga: ESAI TERPILIH JANUARI 2023: Mengkritik Perpu Cipta Kerja, Mengenang Djuanda Kartawidjadja
Ironi Pemidanaan Buruh Tani Garut dan Petani Milenial Jawa Barat
Peran Masyarakat dalam Mencegah Pelecehan Seksual terhadap Perempuan
Tahun Politik
Peringatan pancaroba dari Sukarno maupun kiasan “Winter is Coming”, saya kira, tanpa bermaksud meramal, masih berlaku sampai hari ini: Indonesia masih menghadapi musim dingin, inflasi masih terjadi, ekonomi dunia tak kunjung membaik, dan kita menghadapi tahun politik. Tahun politik adalah pancaroba.
Tahun politik bukan hanya terjadi di lingkup nasional, sejumlah daerah juga memasuki tahapan pilkada karena akan banyak kepala daerah yang tahun ini atau tahun depan habis masa jabatannya. Misalnya, Ridwan Kamil tinggal satu tahun lagi menjabat Gubernur Jawa Barat, Yana Mulyana kurang dari setahun lagi menjabat Wali Kota Bandung, dan di luar Bandung maupun di luar pulau Jawa, banyak kepala daerah yang juga habis masa jabatannya.
Tak heran jika kini bermunculan spanduk atau baliho besar yang menampilkan sosok-sosok familiar maupun tak dikenal. Mereka berpose di mana saja lengkap dengan jargon dan kiasan yang terasa muluk. Merekalah yang mungkin nantinya akan mengisi kursi-kursi kekuasaan. Di tangan mereka negeri ini akan masuk ke musim semi atau malah terjerumus ke musim dingin berikutnya.
Ada asa agar musim dingin bisa dihindari di tahun politik ini. Caranya, generasi muda harus bergerak. Anak muda selalu menjadi kunci pada setiap zaman yang bergerak. Hengkangnya kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang di nusantara tidak lepas dari gerakan anak-anak muda. Runtuhnya rezim otoriter Orde Baru juga digagas anak muda. Bahkan, masa depan Westeros pun berada di tangan lady Sansa dan saudara-saudara mudanya.
Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Unpad, Ari Ganjar Herdiansah, saat saya wawancarai, mengatakan pemilh muda dan mula pada tahun ini mememiliki potensi besar sebagai suara mayoritas, yakni lebih dari 50 persen. Mereka berusia 18-40 tahun. Mereka menentukan kontestasi politik.
Karena anak muda memiliki suara besar, maka kontestan politik pun harus mewadahi mereka, termasuk menyiapkan gagasan yang menjadi konsens anak muda, mulai dari isu lowongan kerja, harga perumahan yang terjangkau, isu lingkungan, pendidikan, kesejahteraan, dan isu-isu lain yang berkaitan erat dengan anak muda.
“Pemuda memungkinkan turut menentukan arah politik ke depan. Sejauh mana peluang ini dimanfaatkan, tergantung dari gerak politik para pemuda itu,” kata Ari.
Menurut Ari, cara yang bisa ditempuh anak muda di tahun politik ada dua, yaitu terjun memasuki politik praktis atau memperkuat basis-basis politik ekstraparlementer atawa bergerak di luar panggung politik prakis.
Di panggung politik praktis, anak muda harus mengemban misi melakukan dobrakan politik. Mereka harus menjadi elite baru dan tidak terpengrahuh elite-elite lama yang berkuasa saat ini. Tantangan calon elite baru ini adalah sekuat apa mereka dalam melakukan dobrakan. Jika tidak, seperti yang sudah-sudah, mereka hanya menjadi elite baru yang seiya sekata dengan elite lama.
Di luar panggung politik praktis, gerakan ekstraparlementer tetap diperlukan. Namun, kata Ari, gerakan ekstraparlementer saat ini cenderung melempem. Teknologi digital yang tadinya mendukung mereka, justru berbalik arah melemahkan mereka. Contohnya, banyak gerakan mahasiswa yang mengalami doxing, dipermalukan dan diviralkan data pribadinya.
Gerakan mahasiswa sejak menggaungkan isu “reformasi dikorupsi” hingga menolak RKUHP seakan menemui jalan buntu. Semakin regulasi yang bertentangan dengan semangat reformasi ditolak, ujungnya tetap disahkan. Maka dari itu, Ari berharap ada kemauan anak muda untuk melakukan perubahan dari dalam dengan masuk ke partai-partai politik, merebut panggung politik, dan melakukan perubahan di sana.
Tahun politik sudah menjelang dan musim dingin atau pancaroba akan datang. Di tangan anak muda musim akan berganti atau sama saja.