• Kolom
  • Ironi Pemidanaan Buruh Tani Garut dan Petani Milenial Jawa Barat

Ironi Pemidanaan Buruh Tani Garut dan Petani Milenial Jawa Barat

Ada benang merah yang menghubungkan kasus pemidanaan buruh tani dari Garut dan isu petani milenial, yaitu sejauh mana keberpihakan negara kepada mereka.

Iman Herdiana

Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].

Salah seorang petani gurem di Garut yang mengalami kriminalisasi karena menggarap lahan telantar. Mereka dituntut 6 bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Garut, Selasa (24/1/2023). (Sumber Foto: LBH Bandung)

7 Februari 2023


BandungBergerak.idDi tengah banjir kritikan terhadap program petani milenial, kabar mengenaskan datang dari buruh tani di Garut yang diseret ke meja hijau karena dituding membabat dan merusak lahan milik sebuah BUMN. LBH Bandung menyatakan perkara ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap buruh tani.

Ada benang merah yang menghubungkan kasus buruh tani dari Garut dan isu petani milenial, yaitu sejauh mana keberpihakan negara kepada mereka. Benang merah lainnya adalah kepemilikan lahan. Baik buruh tani maupun petani milenial sama-sama membutuhkan lahan garapan.

Masalah tersebut menjadi ironi karena Indonesia sudah lama dikenal sebagai negeri agraris, negeri pertanian. Bertahun-tahun para petani menyediakan pangan, bertahun-tahun pula mereka hidup di garis kemiskinan tanpa memiliki lahan garapan seperti yang dialami Nandang, Pakih, Ujang, dan Saepudin – perkara mereka telah divonis di Pengadilan Negeri Garut.

Kasus yang dialami Nandang dan kawan-kawan bermula ketika mereka menggarap lahan telantar. Belakangan, si pemilik lahan menuding bahwa mereka melakukan pengrusakan lahan. Walaupun faktanya, mereka bukan merusak melainkan memanfaatkan lahan terbengkalai agar menghasilkan produk pertanian.

“Para petani tersebut harus dibebaskan, karena mereka tidak merusak lahan tersebut, bahkan malah memperbaiki dan menggunakan lahan tersebut untuk kehidupannya,” kata M Rafi Saiful Islam, kuasa hukum dari 4 petani Garut, dikutip dari Instagram LBH Bandung, Selasa (7/2/2023).

Dari kasus kriminalisasi petani Garut ini terlihat bahwa pemerataan kepemilikan lahan adalah akar persoalan. Keempat petani Garut tersebut sehari-hari adalah buruh tani yang tak memiliki lahan. Sementara hidup mereka bergantung dari hasil tani.

Namun siapa yang seharusnya peduli terhadap buruh tani? Jawabannya adalah negara. Pertanyaannya, apakah negara hadir dalam kasus yang dihadapi buruh tani Garut?

“Negara harus hadir dalam pemenuhan hak atas tanah para petani penggarap ini, karena mereka merupakana aktor utama yang berperan memberdayakan sumber daya agraris dan tulang punggung negara dalam ketersediaan pangan,” kata M Rafi.

Seandainya negara hadir, kasus mereka tidak mungkin sampai ke meja hijau. Dalam kasus ini terlihat bahwa posisi buruh tani sangat lemah. Tindakan mereka menggarap lahan bukan untuk mengeruk keuntungan, melainkan untuk bertahan hidup.

Pakih, salah seorang buruh tani, merupakan tulang punggung keluarga. Ia bertani untuk menghidupi istri dan tiga anaknya yang masih sekolah. Hasil yang didapat Pakih hanya 30 ribu rupiah sehari, itu pun kalau lahan garapannya membuahkan hasil.

Pakih mengatakan lahan garapan yang kini menyeretnya ke ranah hukum adalah lahan yang tadinya telantar dan tak terurus. “Sehingga saya berinisiatif untuk menggarap lahan tersebut untuk saya tanami sayur mayur,” ujar petani lainnya yang senasib dengan Pakih, Nandang.

Saepudin, petani lainnya yang diperkarakan, memiliki beban tak kalah beratnya. Selama menjalani proses hukum, ia risau dengan kehidupan anak cucunya. Selain menghidupi anaknya yang belum membayar uang pendaftaran SMA, Saepudin juga mengurus tiga cucu.

“Selama saya ditahan anak dan cucu saya tidak tahu gimana mereka makan,” kata Saepudin.

Baca Juga: Jawa Barat Menghadapi Kelangkaan Petani Pangan
Kebijakan Impor Beras Tak Berpihak kepada Petani
Jabar Hadapi Krisis Petani Muda dan Tantangan Teknologi

Buruh Tani dan Petani Milenial sama-sama Membutuhkan Lahan

Tak bisa dipungkiri bahwa pertanian adalah nadi ekonomi bagi mayoritas warga. Fakta ini tak mampu memupus kesan pertanian masih dianomorduakan, misalnya jika dibandingkan dengan industri manufaktur.

Kasus kriminalisasi pada petani Garut menjadi bukti bahwa kehidupan petani di negeri ini bermasalah. Kusutnya program petani milenial yang baru-baru ini ramai dikritik di media sosial, menjadi bukti lainnya lagi. Program petani milenial yang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani justru menimbulkan masalah baru.

Rizky Anggara, peserta program petani milenial tanaman hias dari Lembang, Kabupaten Bandung Barat, membeberkan kesulitannya saat menghadapi gagal panen. Di saat yang sama, ia memiliki beban utang yang sebelumnya ia dapatkan melalui program petani milenial Pemprov Jabar.  

Keluhan Rizky kemudian diunggah di media sosial dan viral. Pemprov Jabar melalui lembaga terkait telah menyampaikan klarifikasinya. Rizky yang mengunggah keluhannya juga telah bertemu dengan Pemprov Jabar. Ia akhirnya mengapresiasi atensi Gubernur Jabar dan keseriusan Pemdaprov Jabar dalam menyelesaikan kesulitan yang dihadapi ia dan kawan-kawan.  

"Saya sangat mengapresiasi keseriusan dari Pemprov Jabar menyelesaikan masalah yang saya hadapi dan teman-teman petani milenial tanaman hias," ujar Rizky (siaran pers, Rabu (2/2/2023)). 

Keluhan yang dialami Rizky dan kawan-kawan sebenarnya bukan masalah baru bagi petani milenial. Di samping soal gagal panen dan permodalan, masih ada sederet kendala yang dihadapi mereka di lapangan termasuk soal sulitnya mengakses lahan garapan.

Dengan kata lain, baik petani milenial maupun buruh tani sama-sama mengalami sulitnya akses terhadap lahan garapan. Dalam jurnal penelitian Aspek Pendorong Petani Muda Untuk Berkolaborasi Dalam Kelompok Tani (Kasus Pada Petani Muda Hortikultura di Kecamatan Lembang  Kabupaten Bandung Barat) yang ditulis Gema Wibawa Mukti, Yosini Deliana, Rani Andriani Budi Kusumo, diketahui para petani muda memiliki kepemilikan aset lahan yang rendah sehingga mereka cenderung untuk menyewa lahan untuk menjalankan usaha taninya.

Tidak jarang mereka menyewa lahan di beberapa tempat sekaligus, yang secara administratif wilayah hal ini menyulitkan mereka untuk tergabung dalam kelompok tani. 

Gema Wibawa Mukti dan kawan-kawan melakukan penelitian terhadap 93 responden petani muda di Lembang. Umur responden dalam rentang 23 sampai 44 tahun. Dari penitian ini terlihat bahwa petani yang memiliki akses terhadap lahan cenderung bisa mandiri. Bahkan semakin besar lahan yang mereka miliki maka mereka semakin tidak membutuhkan kelompok tani.

“Petani dengan lahan yang luas tetap memiliki minat untuk berkelompok, namun tidak menjadi yang prioritas atau utama bagi mereka,” tulis Gema dkk.

Dari penelitian tersebut, tampak bahwa lahan merupakan persoalan krusial yang diperlukan para petani, baik petani milenial maupun buruh tani. Masalah lahan ini pula yang membuat empat buruh tani di Garut kini terseret kasus hukum.

Andai saja negara memberikan lahan telantar kepada para petani, tentu masalahnya akan lain. Minimal tidak ada lagi petani yang terancam kriminalisasi atau tidak ada petani milenial yang harus meminjam uang demi bisa menyewa lahan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//