• Opini
  • Minimnya Petani Muda di Negara yang Katanya Agraris

Minimnya Petani Muda di Negara yang Katanya Agraris

Regenerasi petani menjadi tantangan untuk mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan.

Rafi Dewa Abhinaya

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)

Petani membajak sawah dan menanam padi di musim rendeng di area persawahan Gedebage, Bandung, Rabu (15/12/2021). Kecamatan Gedebage terus kehilangan sawah seiring meningkatnya laju pembangunan properti dan infrastruktur. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

6 Januari 2023


BandungBergerak.id—Indonesia mendapat julukan sebagai negara agraris karena mempunyai tanah yang subur, curah hujan yang tinggi, serta cahaya matahari yang cukup. Indonesia mendapatkan julukan tersebut bukan hanya karena hal-hal tersebut, tetapi juga jumlah penduduknya yang berprofesi sebagai petani sangat besar jumlahnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan bahwa selama tahun 2022 penduduk Indonesia paling banyak bekerja di sektor pertanian mencapai 1,88 juta orang, jumlah tersebut naik sekitar 29,66% secara year-over-year. Lalu apa yang menjadi masalah?

Masalah yang terjadi adalah regenerasi petani. Regenerasi petani menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah Indonesia dan harus diselesaikan agar Indonesia dapat mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan.

Berdasarkan data saja, pada tahun 2018 petani di Indonesia umur rata-ratanya adalah di atas 45 tahun, di mana umur ini sudah cukup tua. Tidak dapat dipungkiri bahwa profesi sebagai petani sudah banyak ditinggalkan, khususnya oleh para pemuda karena mayoritas dari mereka lebih memilih untuk bekerja di sektor manufaktur ataupun sektor jasa.

Dari data yang diambil oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pemuda yang bekerja di sektor pertanian angkanya terus menurun. Pada tahun 2011 tercatat ada 29,18% tetapi pada tahun 2021 angkanya menjadi 19,18%.

Sebaliknya yang terjadi pada sektor jasa. Pemuda yang bekerja di sektor tersebut tercatat mencapai angka 55,8% pada tahun 2021 dan angka tersebut meningkat apabila dibandingkan dengan tahun 2011 di mana persentasenya hanya mencapai 45,93%.

Lalu di sektor manufaktur. Pada tahun 2021 pemuda yang bekerja di sektor ini tercatat 25,02% dan tidak berubah secara signifikan seperti sektor jasa. Tetapi apabila dibandingkan dengan sektor pertanian, persentasenya tetap lebih tinggi.

Rendahnya minat para pemuda untuk bekerja di sektor pertanian juga terlihat dari data yang diambil oleh BPS. Pada tahun 2018 saja, kelompok usia di bawah 25 tahun yang bekerja sebagai petani hanya 885.077 petani saja. Lalu pada kelompok usia 25-34 tahun ada 4,1 juta petani, dan dalam kelompok usia 35-44 tahun terdapat 8,17 juta petani. Kemudian pada kelompok usia 45-54 tahun terdapat 9,19 juta petani. Dan pada kelompok usia 55-64 tahun serta di atas 65 tahun masing-masing sebanyak 6,95 juta jiwa dan 4,19 juta jiwa. Dari data tersebut kelompok usia yang mendominasi dalam profesi petani adalah kelompok usia 45-54 tahun.

Baca Juga: Satu Pemilik Modal untuk Satu Bibit Pohon
Antroposentrisme
Arsitektur Nusantara sebagai Bentuk Rekonstruksi terhadap Kesetaraan Gender di Indonesia

Masalah Upah, Lahan, dan Teknologi Pertanian

Rendahnya minat pemuda untuk bekerja sebagai petani salah satu penyebabnya adalah karena rendahnya upah yang didapatkan sebagai petani. Menurut BPS, upah buruh di sektor pertanian tercatat hanya sebesar Rp 1,16 juta per bulan per Agustus 2021.

Rendahnya pendapatan petani juga dapat terlihat dari struktur produksi budi daya padi di sawah pada tahun 2017 di mana setiap satu musim panen, petani mendapatkan pendapatan senilai Rp 4, 95 juta per hektar. Jumlah ini didapatkan dari nilai produksi pertaniannya yang sebesar 18,51 juta tetapi angka tersebut kemudian dikurangi dengan biaya-biaya produksi, seperti bibit, pupuk, dll yang biayanya bisa mencapai Rp 13,56 juta. Artinya adalah pendapatan bersih petani hanya sebesar Rp 1,24 juta per bulan.

Persoalan lain yang muncul selain tentang upah adalah lahan pertanian. Tidak banyak petani mempunyai lahan pertanian yang luas di Indonesia.

Data yang diambil oleh BPS, mayoritas atau sekitar 15,89 juta petani hanya mempunyai lahan pertanian kurang dari 0,5 hektare. Sebanyak 4,34 juta petani lahan pertaniannya hanya di kisaran 0,5-0,99 hektare, lalu petani yang luas pertaniannya sebesar 1-1,99 hektare hanya sebanyak 3,81 juta petani. Kemudian petani yang luas lahan pertaniannya di kisaran 2-2,99 hektare hanya sekitar 1,5 juta petani. Di luas lahan tersebut, jumlah petaninya juga tidak ada yang sampai 1 juta petani.

Selain karena upah dan lahan pertanian, minimnya petani muda di Indonesia adalah kurangnya penggunaan teknologi di sektor pertanian. Kurangnya penggunaan teknologi di pertanian dapat dikatakan menjadi penyebab utama rendahnya minat pemuda untuk menjadi petani. Kebanyakan dari mereka enggan untuk turun ke lahan secara langsung karena kotor dan berpanas-panasan seperti yang dilakukan oleh para petani. Oleh karena itu, penggunaan teknologi di sektor pertanian harus dilakukan secara masif agar menarik minat pemuda untuk menjadi petani agar regenerasi petani di Indonesia dapat berjalan dengan baik.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//