Antroposentrisme

Kubu antroposentrisme merasa bahwa manusialah pusat kehidupan. Alam dan manusia adalah kawan yang seharusnya berjalan beriringan.

Cheryl Natasha

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)

Cerobong asap industri di Bandung selatan, Jawa Barat, Jumat (22/3/2019). Industri yang tidak ramah lingkungan akan mencemari tanah, air, dan udara. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

4 Januari 2023


BandungBergerak.id—Jadi, terlalu nyaman dengan yang mudah atau terlalu naif untuk berbenah? Pemangku kepentingan nampaknya mulai terbiasa dengan kecaman, karena yang terpenting adalah bagaimana caranya berada di atas dan merasa paling aman.

Mencemari 46 persen sungai di Indonesia secara berat, 32 persen sedang-berat, 14 persen sedang, hingga hanya tersisa 8 persen tercemar ringan sepertinya bukan suatu fenomena yang membuat hati para peraup keuntungan terkoyak melihat masyarakat terbelenggu puluhan jenis penyakit. Oh, jangan lupa, merampas 72 persen hutan di Indonesia untuk memperkuat “benteng-benteng” penghasil asap dan limbah kimia juga rasanya semakin benar.

Nyatanya, gaungan “lingkungan berkelanjutan” hanya sebuah hitam di atas putih. Komitmen menjaga kestabilan ekosistem ternyata sebatas fatamorgana.

Katanya, “tidak ada pilihan lain, para investor akan pergi”. Atau yang paling sederhana “air limbahnya tidak membuat gatal, ini aman”.

Miris rasanya, menyadari ada begitu banyak tangan-tangan “kuat” yang mampu bertindak semaunya atas nama ekonomi negara. Apakah keuntungan yang didapat masih jauh dari kata cukup untuk sekedar mengolah limbah pabrik secara tepat.

Atau mungkin merasa ada terlalu banyak oksigen sehingga abai dalam melakukan penggundulan hutan. Atau yang paling masuk akal, mungkin belum pernah merasa dirugikan atas tindakannya sehingga merasa perbuatannya memang sudah tepat.

Siapa sangka, 99 persen kekayaan alam dikuasai 1 persen orang. Dan 99 persen orang menguasai hanya 1 persen kekayaan alam. Anda ada di posisi mana? Sedang berbangga hati atau justru di posisi terkhianati?

Bumi ini milik 195 negara. Indonesia itu milik 275.361.267 jiwa, tapi mengapa ketidakadilan rasanya tidak dibagi rata?

Akan terlambat jika tidak berbenah sejak hari ini. Alam akan terlanjur marah jika tidak memohon maaf mulai detik ini. Kita yang lahir dari alam, bukan kita yang melahirkan alam. Apa gunanya seluruh pundi-pundi Rupiah yang kau kumpulkan, jika pada akhirnya alam memilih untuk melepasmu dari naungannya.

Baca Juga: Teknologi Telemedicine Terobosan Dunia Kesehatan?
Transformasi Bisnis Teknologi Menuju Bisnis Fintech
Daun Singkong sebagai Bahan Baku Pembuatan Kantong Plastik Ramah Lingkungan

Kembali pada Pilihanmu

Kita memang makhluk berakal budi, berhati nurani, dan berkebebasan. Namun rasanya, hanya kebebasan yang semakin dipertajam.

Kita memang mampu menentukan arah dunia, tapi bukan berarti menjadi pusat organisme.

Pilihanmu untuk berada di kubu antroposentrisme yang merasa bahwa manusialah pusat kehidupan mungkin keliru. Kita tidak bergerak sendirian, kita tidak mungkin mengandalkan kekuatan sendiri.

Alam dan manusia adalah kawan yang seharusnya berjalan beriringan, bukannya lawan yang saling menghancurkan. Alam tidak akan murka, jika kita tidak pernah memancing pertikaian. Dia tidak akan tega, jika bukan kita yang mulai menyakitinya.

Ekonomi tidak dapat dijadikan pembenaran atas tindakan yang mengorbankan umat manusia. Kepentingan pribadi bukanlah suatu justifikasi untuk menekan masyarakat tidak bersalah.

Mungkin sebentar lagi, alam akan muak dengan ketamakan dan tingkah manusia. Mungkin besok, bukan lagi kita yang berkuasa atas tanah, air, dan udara, melainkan mereka yang akan menenggelamkan kita di dalamnya.

Yakin, masih bersiteguh untuk serakah? Yakin, sudah siap untuk menjadi lawan atas semesta?

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//