• Opini
  • Arsitektur Nusantara sebagai Bentuk Rekonstruksi terhadap Kesetaraan Gender di Indonesia

Arsitektur Nusantara sebagai Bentuk Rekonstruksi terhadap Kesetaraan Gender di Indonesia

Pada akhirnya akulturasi arsitektur nusantara adalah cara untuk mempertahankan budaya dan mengombinasikannya dengan perkembangan sosial budaya saat ini.

Alexandra Felicia Harto Atmodjo

Mahasiswi arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)

Masyarakat adat di Sukabumi, Jawa Barat, Minggu (28/8/2022). Masyarakat adat membutuhkan perlindungan berupa UU Masyarakat Adat. (Sumber Foto: Kemendikbudristek)

3 Januari 2023


BandungBergerak.id—“Hidup bukanlah persaingan antara pria dan wanita, melainkan adalah kolaborasi,” begitu pernyataan David Alejandro Fearnhead, jurnalis sekaligus tokoh penyokong feminisme yang kerap dikutip saat mengangkat isu kesetaraan gender. Isu yang menjadi satu 17 poin Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang disepakati pada September 2015 sebagai Agenda 2030 negara-negara PBB.

Diskriminasi terhadap gender masih menjadi problematika di kehidupan sosial Indonesia. Kajian gender banyak memberi perhatian pada maskulinitas dan feminitas yang menyebabkan masyarakat seolah memandang gender memiliki karakteristik dan identitas masing-masing sehingga menimbulkan berbagai ketimpangan dan ketidakadilan.

Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun  2022 terdapat 338.496 laporan kasus kekerasan berbasis gender pada perempuan. Tidak hanya pada perempuan, laki-laki juga dapat mengalami diskriminasi. Berdasarkan laporan mengenai data studi kuantitatif kesetaraan gender oleh IJRS (Indonesian Judicial Research Society) dan INFID (International NGO Forum on Indonesia Development), pada tahun 2020 sekitar 33,3% laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual.

Pandangan mengenai identitas dan peran masing-masing gender sebagai pola pikir muncul dari pola hidup masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun. Hal ini dituangkan dalam berbagai budaya di Indonesia, salah satunya melalui arsitektur nusantara.

Hal ini memunculkan pertanyaan apakah arsitektur nusantara dapat dipertahankan sebagai nilai budaya mempertimbangkan keberadaan pembagian tata ruang yang menimbulkan anomali pada perjuangan mencapai kesetaraan gender di Indonesia? Bagaimana caranya?

Indonesia merupakan negara dengan multikulturalisme yang tinggi sehingga melahirkan keragaman bangunan tradisional dan tata ruang pada masing-masing daerah. Pembagian tata ruang yang ada pada umumnya menerapkan pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Namun setiap daerah memiliki latar belakang, sejarah, serta nilai budaya yang berbeda.

Pada masa globalisasi yang modern ini, perkembangan merupakan hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, maka dari itu rekonstruksi menjadi salah satu hal yang dapat dilakukan sebagai bentuk akulturasi budaya

 yang mencampurkan konsep tata ruang arsitektur nusantara dengan desain modern saat ini. Rekonstruksi ini tidak mengubah arsitektur nusantara namun mengkaji lebih dalam mengenai latar belakang budaya dari terbentuknya ruang gender pada arsitektur nusantara. 

Konsep tata ruang arsitektur nusantara yang masih membedakan gender perlu mengalami alkulturasi budaya sebagai bentuk rekonstruksi menanggapi isu kesetaraan gender di Indonesia.

Baca Juga: Teknologi Telemedicine Terobosan Dunia Kesehatan?
Transformasi Bisnis Teknologi Menuju Bisnis Fintech
Daun Singkong sebagai Bahan Baku Pembuatan Kantong Plastik Ramah Lingkungan
Peluang dan Tantangan Seorang Analis Data di Indonesia

Alkulturasi Budaya pada Tata Ruang Arsitektur Nusantara dengan Perspektif Kesetaraan Gender

Menurut berbagai pustaka (Abdullah, 2003; Arifin, 2007), gender merupakan relasi antara perempuan dan laki-laki yang diatur dalam suatu konstruksi sosial. Banyak tema kesetaraan gender mengangkat bagaimana kesetaraan gender adalah kesamaan antara laki-laki dan perempuan padahal dalam kenyataannya kesetaraan adalah bagaimana tercapainya kerja sama antar laki-laki dan perempuan secara lebih adil. Keadilan bukan berarti sama secara kuantitatif namun bagaimana hak dan kewajiban masing-masing gender terpenuhi dengan setara sesuai dengan kebutuhan dan perannya masing-masing.

Arsitektur nusantara terdiri dari berbagai pola tata ruang bergantung pada daerahnya dan secara umum merupakan hasil dari pola hidup tradisional masing-masing. Setiap daerah memiliki peletakan tata ruang yang berbeda bergantung pada daerah masing-masing.

Rumah adat Sapo masyarakat Kaili Da’a dari Sulawesi Tengah memiliki pembagian di mana bagian inti dari rumah memiliki relasi erat dengan perempuan di mana orientasi dan hirarki perempuan Kaili Da’a dihormati, dilindungi, dan terhormat sehingga memiliki kontrol lebih dominan.

Sedangkan di sisi lain, Arsitektur Nusantara dari Sunda memiliki pembagian tata ruang. Di mana ruang perempuan dan laki-laki hanya boleh dilalui oleh gender yang bersangkutan, sedangkan ruang bersama dapat digunakan oleh laki-laki dan perempuan.

Pola hidup pada masa sebelum modern menerapkan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan sehingga memunculkan pola tata ruang berbasis gender. Umumnya ruang perempuan berada di belakang rumah karena identik dengan memasak, dan laki-laki di depan karena memiliki tanggung jawab untuk bekerja; dan masing-masing perempuan dan laki-laki hanya boleh beraktivitas dalam ruang gender masing-masing.

Masa modern saat ini membuka peran antara laki-laki dan perempuan. Sehingga pekerjaan rumah bisa saja dilakukan oleh laki-laki, dan perempuan juga dapat bekerja di luar rumah. Hal ini berarti tata ruang berbasis peran gender pada arsitektur nusantara tidak lagi relevan berdasarkan asal-usulnya, sehingga nilai pembagian ruang gender berdasarkan peran perlu diubah dan diperbarui sesuai dengan perspektif kesetaraan gender saat ini.

Ruang gender pada tata ruang arsitektur nusantara tidak hanya disebabkan oleh pembagian peran namun juga mengandung nilai budaya yang perlu dijaga. Arsitektur nusantara pada dasarnya menerapkan pembedaan ruang gender bukan untuk merendahkan satu gender dibanding yang lain namun berakar pada budaya saling melengkapi antara perempuan dan laki-laki.

Maka dari itu, diperlukan akulturasi budaya untuk mempertahankan nilai budaya peran gender yang tercermin dalam ruang spasial arsitektur nusantara dan menggabungkannya dengan perjuangan kesetaraan gender di masa modern saat ini. Akulturasi ini dapat diwujudkan melalui pertahanan konsep tata letak ruang dari arsitektur nusantara sebagai bentuk kelestarian budaya, tetapi melakukan perubahan pembagian aktivitas di mana baik laki-laki dan perempuan dapat menggunakan seluruh ruang dari bangunan yang ada.

Rekonstruksi Fisik dan Psikis Arsitektur Nusantara Menanggapi Isu Kesetaraan Gender di Indonesia

Akulturasi budaya menjadi salah satu cara rekonstruksi arsitektur nusantara dalam menanggapi isu kesetaraan gender di Indonesia. Rekonstruksi ini dapat dilakukan secara fisik dan psikis secara bersamaan.

 Secara fisik, tata ruang dari arsitektur nusantara merupakan bentuk pola pikir dan hidup yang menjadi budaya sehingga perlu untuk dipertahankan. Rekonstruksi yang dapat dilakukan secara fisik adalah mengubah batasan tata ruang secara perlahan sehingga tercipta kontinuitas antar ruang yang tidak membatasi aktivitas laki-laki dan perempuan, namun dengan masih mempertahankan fungsi dari setiap ruang sesuai budaya yang ada.

Rekonstruksi fisik tampak pada transformasi pola rumah coumpound yang ada di kawasan Kota Gede.  Pengaruh gender dalam pola penataan ruang telah mengalami perubahan dari pola rumah coumpound tradisional. Rumah coumpound tradisional umumnya menerapkan pembagian gender dan membatasi ruang karena dinilai tabu, namun saat ini nilai tersebut sudah tidak terlalu tampak.

Rekonstruksi secara psikis adalah mengubah pandangan masyarakat terhadap pembagian ruang yang ada di arsitektur nusantara. Arsitektur nusantara memberikan ruang gender yang membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan peran sosialnya pada masa itu, namun secara psikis hal itu bukan untuk merendahkan posisi perempuan dibandingkan laki-laki.

Saat ini, laki-laki dan perempuan telah mengalami perubahan peran sosial. Maka secara psikis masyarakat dapat melihat arsitektur nusantara sebagai bentuk sejarah perubahan peran sosial gender di masyarakat. Pada akhirnya penempatan gender pada arsitektur nusantara adalah bentuk penghargaan pada masing-masing laki-laki dan perempuan akan peran sosial mereka yang bertujuan untuk mempersatukan dan melahirkan pola kehidupan yang terintegrasi dan saling mendukung satu sama lain.

Rekonstruksi arsitektur nusantara secara fisik dan psikis dapat dikembangkan ke berbagai fungsi lainnya untuk mendukung tercapainya kesetaraan gender di Indonesia. Salah satunya adalah dengan mengalihfungsikan bangunan dan kampung adat menjadi ruang pameran atau museum.

Ruang pameran dan museum ini dapat mengakomodasi pengetahuan dan sejarah budaya mengenai asal-usul tata ruang dan pembagian ruang gender pada arsitektur nusantara. Perubahan peran gender dan arsitektur nusantara dapat disampaikan melalui pameran dan visualisasi secara langsung dari arsitektur nusantara itu sendiri.

Pada akhirnya akulturasi arsitektur nusantara adalah cara untuk mempertahankan budaya dan mengombinasikannya dengan perkembangan sosial budaya saat ini. Akulturasi ini membentuk rekonstruksi secara fisik arsitektur nusantara dengan mempertahankan pola ruang sebagai nilai budaya peran sosial laki-laki dan perempuan pada masing-masing daerah. Namun mengembangkan kontinuitas dan kelayakan masing-masing ruang akan mengubah penggunaan dan pola aktivitas di dalamnya.

Rekonstruksi secara psikis juga akan mengubah pandangan akan peran laki-laki dan perempuan tidak lagi terbatas pada ruang gender. Tata ruang gender selanjutnya akan berkembang menjadi bentuk kebersatuan dari peran laki-laki dan perempuan. Pada akhirnya, akulturasi arsitektur nusantara akan kembali mempertahankan nilai yang baik sebagai sejarah budaya, dan mengubah nilai yang buruk sesuai perspektif kesetaraan gender.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//