Empat Petani Gurem dari Garut Dituntut 6 Bulan Penjara karena Menggarap Lahan Telantar Milik PTPN VIII
Keempat petani menggarap lahan perkebunan teh yang mati dan tidak produktif. Mereka biasa hidup dari bertani gurem, tidak punya lahan garapan.
Penulis Awla Rajul31 Januari 2023
BandungBergerak.id - Empat petani Cikandang, Garut, diseret ke pengadilan karena karena membabat lahan telantar milik PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Afdeling Cisaroni. Para petani ini padahal hendak memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka tidak punya lahan garapan dan menggantungkan hidup sebagai petani gurem.
Nandang, Pakih, Ujang, dan Saepudin, keempat terdakwa dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Garut dengan ancaman pidana selama lima bulan, Selasa (24/1/2023) lalu. Tuntutan ini ditetapkan berdasarkan bukti satu foto kopi legalisir Hak Guna Usaha (HGU) No. 7 dan 8 atas nama PTPN VIII Persero yang berkedudukan di Bandung tanggal 19 November 2009.
Selain dokumen HGU, bukti penguat lain yang dijadikan dasar tuntutan adalah lima batang pohon teh yang telah dipotong, dua gergaji bergagang kayu, satu arit bergagang kayu, dan satu gergaji bergagang kayu berwarna coklat.
Kasus ini bermula saat PTPN VIII melaporkan terjadinya pembabatan lahan teh di wilayahnya oleh empat petani yang sekarang ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Garut. Keempat petani tersebut membabat lahan karena meninilai tanah milik PTPN tersebut ditelantarkan dan tidak produktif.
"Menurut keterangan terdakwa lahan tersebut telantar ciri-cirinya adalah pohon teh sudah tumbuh sampai tiga hingga lima meter. Padahal untuk pohon teh produktif tingginya untuk bisa dipetik itu satu meter. Ditambah juga banyak semak belukar dan tumbuh pohon kayu-kayuan selain teh seperti kopi, mahoni, dan yang lainnya," ungkap M. Rafi Saiful Islam, salah satu kuasa hukum warga dari LBH Bandung, kepada BandungBergerak.id melalui sambungan telepon, Kamis (26/1/2023).
Rafi menjelaskan bahwa keempat terdakwa merupakan buruh tani harian yang tidak memiliki lahan alias petani gurem. Keempat petani menggantungkan kehidupan pada tanah. Bertani merupakan keahlian yang mereka miliki. Ketika melihat lahan telantar, maka mereka menjadikannya sebagai gantungan hidup.
"Penghasilan empat terdakwa rata-rata di bawah standar, 20-30 ribu rupiah itu pun kalau ada yang mempekerjakan. Karena ketimpangan pula yang mendorong para terdakwa, motifnya memang untuk memenuhi kebutuhannya yang seharusnya negara itu tidak abai," lanjut Rafi.
Empat terdakwa petani masing-masing menggarap blok atau lahan berbeda. Namun semua lahan tersebut tidak produktif dan telantar. Di sana mereka menebang pohon-pohon teh yang sudah mati.
Jumat (27/1/2023) agenda persidangan yang akan berlangsung adalah pledoi nota pembelaan dari penasehat hukum dan keempat terdakwa. Untuk kriminalisasi terhadap empat petani ini, Rafi menyebutkan, jaksa menggunakan dakwaan alternatif. Dakwaan pertama pasal 170 ayat 1 KUHP dan dakwaan kedua pasal 107 huruf c UU Perkebunan.
Baca Juga: Mengukur Jawa Barat sebagai Provinsi Toleran atau tidak
Plastik Berbahaya bagi Umat Manusia dan Lingkungan, Sudah Waktunya Berhenti Menggunakannya
Bandung (Lagi-lagi) Darurat Sampah
Penelantaran dan Ketimpangan Kepemilikan Lahan
PTPN VIII diduga menelantarkan tanah HGU yang seharusnya dimaksimalkan untuk digarap. Pada PP No. 20 tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar menyebutkan bahwa penelantaran tanah dapat menimbulkan konsekuensi atas hilangnya hak atas tanah tersebut.
Saksi ahli hukum agraria Rikardo Simarmata menyebutkan, keadilan agraria yang didasari pada UU Pokok-Pokok Agraria pasal 15. Kewajiban memelihara, meningkatkan kesuburan tanah dan mencegah kerusakan tanah bukan hanya kewajiban pemilik HGU.
“Tapi juga setiap orang yang berada di sekitaran wilayah itu. Artinya jika tanah tersebut tidak dikelola, tidak dimanfaatkan dengan baik, dan sudah lama ditelantarkan, maka masyarakat sekitar mempunyai kewajiban dan hak untuk bisa menggarap tanah tersebut,” ungkap Rikardo, dikutip dari siaran pers tuntutan LBH Bandung terhadap kasus kriminalisasi empat petani Cikandang.
Kriminalisasi yang dilakukan kepada petani merupakan pola yang kerap terjadi. Faktor yang paling jelas dari kasus empat petani Cikandang adalah ketimpangan penguasaan lahan. Ada dua desa yang terdampak pada HGU PTPN VIII, desa Margamulya dan Cikandang. Kepemilikan lahan antara warga dan perusahaan perkebunan milik negara sangat kentara.
Dalam persidangan, lahan yang dimiliki warga desa Margamulya hanya 70 hektare, sedangkan PTPN memiliki lahan seluas 317 hektare. Di desa Cikandang sendiri, PTPN memiliki luas lahan 756 hektare, dan warga hanya memiliki 50 hektare. Masyarakat sekitar sendiri mayoritas berprofesi sebagai buruh tani yang tidak punya lahan dan ikut bekerja di lahan milik orang lain atau lahan milik PTPN.
"Karena masalahnya ketimpangan lahan maka mengakibatkan ketidakadilan agraria," tegas Rafi.
Rafi menyebutkan, terdakwa melakukan penggarapan pada lahan yang telantar dan tidak terurus. Sebaliknya PTPN VIII yang mendapatkan HGU yang seharusnya tidak menelantarkan lahan tersebut malah membiarkan tidak produktif. Rafi menegaskan bahwa empat terdakwa semestinya dituntut bebas dari segala dakwaan karena sedang berjuang akan hak atas tanah dan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
LBH Bandung melalui siaran persnya menyebutkan, kasus kriminalisasi yang terjadi kepada empat petani Cikandang ini menambah panjang daftar kasus terkait agraria yang terjadi di era Presiden Joko Widodo. Padahal di masa pelantikannya, Jokowi berjanji bahwa konflik agraria akan diselesaikan. Kriminalisasi ini juga menunjukkan aparat penegak hukum hanya alat negara untuk mengawali investasi bukan menjaga rakyat dari bahaya.
LBH Bandung mendesak agar empat petani Cikandang dibebaskan dan HGU PTPN VIII Cisaroni Garut dicabut.
BandungBergerak.id mencoba meminta klarifikasi mengenai tuntutan PTPN VIII kepada empat petani Cikandang melalui bidang komunikasi PTPN, Adi Sukmawadi, Sabtu (28/1/2023).
"Saya lagi di luar kang. Nanti saya hubungi," jawabnya singkat melalui pesan WhatsApp. Senin (31/1/2023) BandungBergerak.id mencoba lagi untuk meminta klarifikasi. Namun tidak kunjung mendapat jawaban hingga berita ini ditayangkan.