• Kolom
  • NGABANDUNGAN: Membahasakan Maneh

NGABANDUNGAN: Membahasakan Maneh

Kata maneh pada mulanya bisa dipakai untuk menyebut siapa pun, tak terkecuali pejabat atau orang yang lebih tua. Dalam perkembangannya, istilah maneh dianggap kasar.

Iman Herdiana

Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dalam peresmian perubahan nama Jalan Layang Pasupati menjadi Jalan Layang Mochtar Kusumaatmadja di Bandung, Selasa (1/3/2022). Penyebutan kata maneh pada Ridwan Kamil menjadi polemik. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

17 Maret 2023


BandungBergerak.idPada mulanya suatu bahasa diciptakan untuk semua, tidak mengenal kasta atau kelas. Perkembangan masyarakat yang feodal membuat bahasa terkelas-kelas. Ada bahasa halus, sedang, kasar. Ini berlaku juga pada bahasa Sunda yang awalnya bersifat umum. Masuknya pengaruh Mataram membuat bahasa Sunda mengenal undak usuk atau tingkatan-tingkatan (Kebangkitan Kembali Orang Sunda, Edi S Ekadjati, Pusat Studi Sunda dan Kiblat, 2004).

Kata maneh, seperti yang sekarang ramai dibicarakan, pada awalnya bermakna umum (egaliter) untuk menyebut orang kedua tunggal. Maneh bersifat setara, mungkin kesetaraannya sama seperti “you” dalam bahasa Inggris, atau Anda dalam bahasa Indonesia.

Saya menduga pada mulanya kata maneh bisa dipakai untuk menyebut siapa pun, tak terkecuali pejabat atau orang yang lebih tua, setelah menemukan hasil penelitian Elis Suryani NS dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran dalam penelitian berjudul “Kamus Bahasa Dan Seni Budaya Sunda Kuno Abad XI Sampai Dengan XX Masehi”. Penelitian ini mengulas sejumlah prasasti peninggalan kerajaan Sunda sekitar abad ke-11 hingga abad ke-20 Masehi. Salah satunya mengenai prasasti Carita Parahiyangan yang menunjukkan bahwa maneh adalah istilah Sunda buhun atawa arkaik:

Ndeh nihan carita parahiyangan. Sang Resi Guru mangyuga rajaputra. Rajaputra miseuweukeun sang Kandiawan lawan sang kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan maneh Rahiyangta ri Medangjati, inya sang  Layuwatang, nya nu nyieun Sanghiyang Watangageung ... (Nah, inilah Carita Parahiyangan. Sang Resiguru beranak Rajaputra. Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati; dua orang kakak beradik. Sang Kandiawan kemudian menamakan dirinya Rahiyangta Dewaraja...)

Elis Suryani menjelaskan, Carita Parahiyangan isinya mengenai raja-raja Pajajaran terakhir yang memerintah selama sadewadasa (12) tahun. Sang Kandiawan yang disebut dalam prasasti jelaslah bukan orang sembarangan, manehna tokoh penting dari kerajaan. Tapi pujangga dalam prasastri menyebut Kandiawan dengan istilah maneh!

Jelaslah bahwa istilah maneh di masa lalu dipakai sebagai penyebut orang kedua tunggal umum, untuk bangsawan, bahkan raja, hingga jelata. Prasasti tersebut menurut Elis ditulis tahun 1579 masehi.

Namun zaman terus berubah. Feodalisme menguasai masyarakat yang kemudian semakin dikukuhkan kolonialisme. Hal ini merembes ke dalam bahasa. Sayangnya di alam kemerdekaan sekarang, pola pikir feodal masih menguasai orang-orang merdeka, termasuk di jagat maya era digital ini. Orang-orang ramai-ramai memvonis seorang guru honorer bersalah karena tidak sopan menyebut seorang pejabat dengan kata maneh, seolah-olah istilah maneh terlarang.

Sebelum menulis esai ini, saya sempat memasukkan kata maneh ke Google, hasilnya berita tentang maneh berhamburan luar biasa. Isi berita-berita tersebut bermula dari seorang guru yang melontarkan pertanyaan kritis terkait kapasitas Ridwan Kamil saat zoom bersama anak-anak SMPN 3 Kota Tasikmalaya pada Selasa (14/3/2023). “Dalam zoom ini, maneh teh keur jadi gubernur Jabar atau kader partai, atau pribadi?” demikian tanya sang guru.

Pertanyaan Sabil, guru tersebut, dibalas oleh Ridwan Kamil: “Ceuk maneh kumaha?” (Duduk Perkara Guru Dipecat Usai Komentar 'Maneh' di IG Ridwan Kamil, CNN, diakses Jumat (17/3/2023)).

Kita juga bisa mencari potret atau gambar maneh pada Google. Hasil pencarian menunjukkan bahwa potret maneh menampilkan foto-foto Ridwan Kamil maupun Sabil. Ada pula yang membikin potret kolase Ridwan Kamil yang sedang nge-zoom menggunakan jas kuning dan Sabil yang berdiri di lorong sekolah.

Pertanyaan Sabil terbilang kritis. Dia tahu bahwa Ridwan Kamil baru-baru ini mendapatkan dukungan dari partai politik yang identik dengan warna kuning. Mungkin bagi Sabil kurang etis Ridwan Kamil mengenakan jas kuning di hadapan murid-murid SMP. Tapi Sabil tidak langsung menuduh dengan pernyataan, melainkan mengajukan pertanyaan: “maneh teh keur jadi gubernur Jabar atau kader partai, atau pribadi?” 

Belakangan yang dinilai tidak etis justru Sabil sendiri, ia dipecat sebagai guru honorer, dan datanya sebagai pengajar di Dapodik terancam dihapus. Sungguh malang nasib guru honorer ini, terancam kehilangan pekerjaan mengajar karena menyebut maneh.

Sabil menjadi bulan-bulanan warganet yang yakin bahwa kata maneh sebagai istilah kasar atau tidak sopan. Warganet mungkin melihat Ridwan Kamil sebagai orang yang berkedudukan tinggi atau lebih tua sehingga tidak pantas disebut maneh oleh warga biasa atau yang usianya lebih muda.

Namun Sabil mengklarifikasi bahwa ia memilih kata meneh karena Ridwan Kamil selama ini dikenal akrab dengan pengikutnya di media sosial. Maka tanpa berpikir lebih panjang, terlontarlah pertanyaan itu. “Kan RK (Ridwan Kamil) mah akrab dengan para followersnya, jadi pakai diksi maneh. Saya sadar sebagai yang lebih muda memang tidak sopan ke yang lebih tua,” kata Sabil (Duduk Perkara Guru Dipecat Usai Komentar 'Maneh' di IG Ridwan Kamil, CNN, diakses Jumat (17/3/2023)).

Sampai sini kita berhenti sejenak untuk bertanya, jadi maneh itu kasar atau akrab, sih? Seperti sudah disinggung, suatu bahasa dipengaruhi budaya yang hidup di masyarakat pada masanya. Suatu waktu masyarakat menjadi feodal sehingga bahasa pun menjadi feodal; ada bahasa yang biasa dipakai untuk orang yang lebih tua atau tinggi kedudukannya, ada bahasa yang biasa dipakai untuk sesama atau dalam pergaulan, dan ada juga bahasa yang dipakai sebagai bahasa kasar.

Namun dalam praktiknya, bahasa kasar sering dipakai sebagai bahasa pergaulan yang setara dan akrab, tidak melulu mengandung ketidaksopanan. Dalam konteks inilah, kalau mengacu pada penjelasan Sabil, maneh yang dipakai menjadi tidak kasar.

Lebih jelasnya, mari kita memeriksa kamus untuk mengetahui arti maneh. Dalam Kamus Sunda-Indonesia yang diterbitkan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1985, kata maneh memiliki dua arti, 1 kata pengganti orang kedua, 2 diri pribadi. Kamus ini memberikan padanannya dalam kalimat; sing bisa mawa maneh (harus pandai membawa diri) (Halaman 281). Kamus ini tidak menyebutkan bahwa kata maneh sebagai kata ganti yang kasar.

Kamus Sunda-Indonesia Kemendikbud kemudian memuat lema lain dari maneh, yaitu manehna yang berarti mereka atau pengganti orang ketiga jamak. Dalam kehidupan sehari-hari, kata manehna setara dengan dia (orang ketiga tunggal dalam bahasa Indonesia). Namun kamus ini tidak memberikan padanan kata manehna dalam contoh kalimat. Tapi saya mendapat padanan yang tepat yang diambil dari sebuah lagu berjudul Potret Manehna yang berarti potret dirinya atau potret dia. Sekarang mari kita dengarkan dulu lagu yang diciptakan Doel Sumbang dan populer dibawakan artis pop Sunda Nining Meida itu:

Potret manehna

Nu katampa minggu kamari

Dipiguraan

Disimpen dihade-hade

...

Baca Juga: NGABANDUNGAN: Bunga Rawa dan Burung Pelikan
MAHASISWA BERSUARA: Menggugat Menara Gading
Winter is Coming di Tahun Politik

Saya berani bertaruh sampai saat ini lagu Potret Manehna masih populer terutama bagi orang yang sedang kasmaran. Menuliskan kata “potret manehna” di Google juga tidak akan tertukar dengan potret Ridwan Kamil dan Sabil atau berita-berita soal maneh, saking populernya lagu itu.

Dan mustahil orang yang menyebut foto Vladimir Putin atau Joe Biden dengan kata ganti “potret manehna” (ke potret Putin dan Biden) akan disebut kasar dan tidak sopan (saya mengambil contoh nama pejabat negara dari luar negeri untuk menghindari agar tidak ada yang merasa tersinggung karena disebut manehna); sebab kata manehna dalam potret manehna tidak bermakna kasar atau tidak sopan.

Kembali ke klarifikasi dari Sabil bahwa ia merasa akrab dengan Ridwan Kamil, sepertinya alasan ini sah-sah saja, walaupun Ridwan Kamil belum tentu merasa akrab dengan Sabil. Namun seandainya Sabil bermaksud kasar, bukan sok akrab, ada kata lain dalam bahasa Sunda yang bermakna kasar, yaitu sia yang artinya maneh-maneh juga. Untuk membedakannya, coba ganti lagu “Potret Manehna” dengan “Potret Siana” atau “Potret Maneh Euy”, akan terasa bedanya.

Cuma lagi-lagi kita tidak bisa memvonis sepenuhnya bahwa kata sia selalu bermakna kasar, karena kata sia juga biasa dipakai dalam bahasa pergaulan atau suasana yang penuh keakraban. Ini menjadi keiscayaan bagi bahasa yang arbitrer, suka-suka maneh, seperti yang dikatakan mbahnya linguistik Ferdinand de Saussure.

Untuk menyelidiki kasar tidaknya suatu bahasa atau istilah, kita harus melihat dulu konteksnya. Kita ambil contoh kata sia. Misalnya, sia teh nu bener atuh mimpin teh, yang diteriakkan rakyat saat demontrasi di jalan. Dalam konteks demonstrasi, kalimat “sia teh nu bener atuh mimpin teh”, pasti mengandung nada bertenaga atau emosional. Contoh lain, masih dalam konteks demonstrasi, demonstran yang marah bisa saja melontarkan kritik seperti ini: Ulah pencitraan wae atuh sia teh.

Atau pada kasus maneh, saya pernah mendengar anak-anak tetangga yang berdebat:

“Tong sua-sia atuh, meni kasar,” kata seorang anak.

“Ah, maneh mah teu payaan (baperan),” jawab anak yang lain.

Itulah bahasa pergaulan. Jangan salah, bahasa pergaulan ini bisa menjadi baku atau resmi. Bukankah bahasa Indonesia yang sekarang dipakai di seluruh nusantara tadinya berasal dari bahasa Melayu pasar yang semula dianggap kasar?

Bahasa melayu pasar berbeda dengan bahasa Melayu yang kini dipakai bangsa Melayu seperti Malaysia dan Brunai Darusalam. Bahasa melayu pasar dipungut para pujangga, dipakai para sastrawan, dan digunakan para pejuang sebagai bahasa persatuan, lalu dibakukan ke dalam kamus besar sehingga jadilah bahasa Indonesia saat ini.

Satu hal dari bahasa Indonesia: belum sepenuhnya lepas dari pengaruh feodalisme bahasa. Masih ada diksi-diksi yang dinilai kasar, misalnya kata kamu atau Anda (yang artinya maneh) yang dinilai tidak pas jika dipakai untuk menyebut orang lebih tua (atau mungkin pejabat). Namun dengan munculnya kasus maneh, mungkin saja istilah maneh menjadi sangat populer dan akhirnya dipungut kamus besar untuk mengurangi kekurangan yang ada dalam bahasa Indonesia, yaitu kurangnya kata ganti orang kedua tunggal yang bermakna setara.

Sekali lagi, bahasa adalah arbitrer. Hidup matinya bahasa tergantung dari penuturnya. Jika kemudian istilah maneh semakin hidup, maka bukan tidak mungkin makna maneh yang setara yang pernah hidup zaman kerajaan dulu hadir kembali di masa kini. Jika sudah begitu, pejabat mana pun atau warganet tidak bisa menolak disebut maneh. “Karena zaman tak bisa dilawan,” kata Chairil Anwar.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//