Catatan 24 Tahun Reformasi
21 Mei 1998, Presiden Suharto menyatakan mundur sebagai Presiden Indonesia. Hari ini 24 tahun lalu menandai tumbangnya rezim otoritarian Orde Baru.
Adrian Aulia Rahman
Penulis merupakan mahasiswa Universitas Padjajaran (Unpad)
21 Mei 2022
BandungBergerak.id - Di penghujung abad ke-20, tepatnya pada tahun 1998, di Indonesia terjadi suatu peristiwa politik yang memiliki signifikansi pengaruh bagi struktur tata negara, tata hukum dan tata ekonomi Republik Indonesia. Kompleksitas problematika ekonomi politik yang terjadi saat itu tentu sudah menjadi rahasia umum dan menjadi sejarah nasional, yang dipelajari di berbagai tingkatan pendidikan mulai dari sekolah menengah sampai perguruan tinggi. Peristiwa krusial dan menentukan bagi bangsa Indonesia tersebut kita kenal dengan peristiwa reformasi.
Sebelum membahas lebih jauh, perlu kiranya kita memahami apa yang dimaksud dengan reformasi. Apabila mengacu pada kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), reformasi berarti perubahan secara drastis untuk perbaikan baik di bidang sosial, politik, ekonomi atau agama dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangkan menurut ahli Sedarmayanti, dikutip dari ombudsman.go.id, reformasi merupakan proses upaya sistematis, terpadu, komprehensif, ditujukan untuk merealisasikan tata pemerintahan yang baik (good governance). Pendapat Sedarmayanti tentang reformasi, saya kira yang paling tepat menggambarkan secara definitif peristiwa reformasi 1998. Mengapa demikian? Saya akan mengulasnya berdasarkan opini dan catatan pribadi saya.
Terus terang saja, saya bukanlah orang yang turut merasakan bagaimana hidup di bawah rezim Orde Baru Suharto. Sehingga saya bukanlah orang yang menjadi saksi sejarah bagaimana dinamika dan problematika sosial yang ada di bawah kepresidenan Suharto. Namun hal itu tidak menjadikan saya buta terhadap berbagai persoalan krusial yang terjadi di era Orde Baru bahkan sampai detik-detik terakhir keruntuhannya, karena kemudahan aksesibilitas pengetahuan melalui media dan berbagai sumber literatur. Mengingat di bulan Mei ini bangsa Indonesia akan memperingati peristiwa bersejarah reformasi 1998, maka saya tergerak untuk menuliskan opini sederhana saya mengenai hal tersebut terutama berfokus pada seberapa jauh reformasi membawa Indonesia pada kemajuan, baik di bidang ekonomi, politik dan sosial budaya.
24 Tahun Reformasi dan Cita-Cita Perubahan
Presiden Suharto dengan raut muka yang sukar untuk digambarkan dengan kata-kata, rambutnya yang sudah memutih, dan kewibawaannya yang kian meredup menyampaikan pidato pengunduran dirinya sebagai presiden pada 21 Mei 1998, 24 tahun yang lalu. Pidato Presiden Suharto ini menandai tumbanya rezim otoritarian Orde Baru, dan Indonesia memasuki periode sejarah yang dianggap cerah yaitu masa reformasi.
“Saya memutuskan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998,” begitulah pidato terakhir sang Presiden di Istana Negara, Jakarta.
Fakta lengsernya Suharto dari tampuk kekuasaan setelah 32 tahun berkuasa, menjadi tanda kemenangan masyarakat sipil yang diwakili oleh mahasiswa yang melakukan demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia. Fakta sejarah menjelaskan bahwa, di akhir masa Orde Baru, permasalah yang dihadapi negara amat sangat kompleks dan memantik ketidakstabilan sosial di masyarakat. Diawali dengan krisis ekonomi Asia yang berdampak bagi Indonesia pada 1997, ditandai dengan inflasi, depresiasi Rupiah, utang luar negeri, gagalnya bantuan IMF, yang berujung menjadi krisis multidimensi. Mengutip ekonomi.bisnis.com, krismon (krisis moneter) 1997-1998 ditandai dengan anjloknya kurs Rupiah terhadap dollar AS (USD) hingga 254 persen YoY dari Rp 3.030 pada September 1997, menjadi Rp 16.000 per USD. Selain itu, tingkat inflasi mencapai 78,2 persen pada Agustus 1998. Tidak heran apabila krisis moneter meluas menjadi krisis politik yang menjadi penyebab runtuhnya kekuasaan Suharto dan akhir era Orde Baru.
Tadi telah disinggung bahwa krisis moneter yang mendera Republik ini berubah menjadi suatu krisis multidimensional. Pada 19 Mei 1998, tepat dua hari sebelum pengunduran diri Presiden Suharto, puluhan ribu mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR di Senayan. Dikutip dari Kompas, pada hari di mana Gedung DPR/MPR sudah dikepung dan diduduki oleh ribuan mahasiswa, pimpinan DPR/MPR Harmoko secara mengejutkan meminta Suharto untuk lengser dari jabatan kepresidenannya.
“Dalam menghadapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” ujar Harmoko. Dukungan terhadap Soeharto baik dari pihak Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) maupun dari lembaga legislatif telah memudar. Sehingga tuntutan rakyat dan mahasiswa seakan gayung bersambut dengan lemahnya dukungan politik bagi kepemimpinan Suharto.
Sebagaimana pendapat Sedarmayanti mengenai reformasi yang telah disinggung di atas, bahwa reformasi adalah upaya sistematis untuk merealisasikan tata pemerintahan yang baik atau good governance. Reformasi 1998 memiliki suatu idealisme yang cerah untuk menciptakan suatu sistem tata negara Indonesia yang jauh lebih baik daripada era Orde Baru yang diwarnai dengan kolusi, korupsi dan nepotisme serta berbagai pelanggaran HAM dan otoritarianisme. Idealisme dan cita-cita reformasi dikenal dengan tuntutan reformasi. Beberapa tuntutan reformasi, dikutip dari bphn.go.id, antara lain adalah amandemen UUD, pemberantasan KKN, pencabutan Dwi Fungsi ABRI, penegakan hukum, penegakan hak asasi manusia dan demokrasi, penegakan kebebasan pers, dan pemberian hak otonomi kepada daerah-daerah.
Beberapa tuntutan reformasi tersebut di atas sudah tercapai dan terlaksana, seperti dihapuskannya Dwi Fungsi ABRI, amandemen UUD, serta desentralisasi atau otonomi daerah. Namun yang menjadi persoalan adalah, bagaimana dengan tuntutan reformasi lainnya seperti penegakan hukum, HAM dan demokrasi serta kebebasan pers? Kita patut merenungkannya.
Setelah bertahun-tahun reformasi berlalu, tidak sedikit orang yang merasa skeptis dan kecewa dengan reformasi yang digadang-gadang dapat membawa perbaikan struktural bagi negeri ini. Bahkan muncul slogan ‘reformasi dikorupsi’ yang menandai bahwa semangat reformasi seiring berjalannya waktu terus memudar berbanding lurus dengan situasi negeri dewasa kini. Ahli hukum tata negara yang saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pernah berkata dalam forum diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) tentang evaluasinya terhadap situasi di era reformasi.
“Kalau kita dulu menjatuhkan Pak Harto oleh karena dia KKN, apa kita tidak merasa berdosa sekarang ini kepada Pak Harto sekarang KKN-nya lebih banyak,” itulah penggalan pernyataan Pak Mahfud di ILC.
Dari pernyataan Mahfud MD dapat saya simpulkan bahwa amanat reformasi tidak terealisasi dengan baik di Indonesia, bahkan dalam beberapa bidang bukan perubahan progresif, yang ada justru perubahan yang regresif (kemunduran).
Baca Juga: Balada Komik RA Kosasih di Toko Buku Maranatha
Deklarasi Bandung Kota Angklung semoga Bukan Simbol Semata
Keliru sejak Awal Peruntukan, Teras Cihampelas Bisa Membahayakan Pengguna Jalan
Pelanggaran HAM dan Demokrasi
Catatan selanjutnya mengenai pelanggaran HAM. Di era Presiden Jokowi saat ini penanganan kasus pelanggaran HAM baik di masa lalu maupun masa sekarang, belum begitu menunjukkan perhatian yang serius. Bahkan riset dari Komisi Nasional Hak Asasi manusia Litbang Kompas tahun 2019, dikutip bbc.com, menyatakan bahwa mayoritas masyarakat menilai pemerintahan Jokowi-Ma’ruf kesulitan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu karena ingin menjaga harmonisasi politik. Hal ini cukup beralasan, terbukti dengan diangkatnya Prabowo menjadi Menteri Pertahanan, sedangkan kita tahu Prabowo diduga kuat terlibat penculikan aktivis tahun 1998. Persoalan HAM ini memang tidak sederhana dalam penyelesaiannya, namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa salah satu amanat reformasi mengenai hak asasi manusia belum efektif direalisasikan dalam kebijakan pemerintah.
Catatan terakhir saya adalah tentang demokrasi. Dalam indeks Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2021, demokrasi Indonesia menduduki peringkat ke-52 dengan skor 6,71. Peringkat ini masih menandai lemahnya Indonesia sebagai negara demokratis. Indonesia masih berstatus flawed democracy (demokrasi yang cacat). Negara flawed democracy secara sistem, sudah memiliki sistem pemilihan umum yang bebas dan adil serta menghormati kebebasan sipil. Namun ada ‘kecacatan’ dalam sistemnya, yaitu ditandai dengan rendahnya kebebasan pers, sikap antikritik, lemahnya partisipasi politik dan kinerja pemerintah yang belum optimal. Hal ini harus kita jadikan sebagai warning, agar senantiasa proses demokratisasi di Indonesia berjalan masif dan terstruktur. Pembelahan politik pascapilpres yang masih terasa, ancaman pidana dan serangan buzzer bagi para pengkritik, dan kelemahan demokrasi lainnya, menandai pemerintahan Jokowi-Ma’ruf masih gagal memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia.
Dari paparan di atas saya ingin menekankan bahwa reformasi saat ini masih jauh dari ketercapaian cita-cita murni pada saat awal reformasi. Penegakan hukum yang masih tidak menentu dan cenderung sesuka hati, ancaman hukuman yang mengintai kepada para kritikus pemerintah, kemelut persoalan hak asasi manusia yang sukar berujung penyelesaian, dan persoalan lainnya. Bahkan baru-baru ini terlontar wacana perpanjangan masa jabatan presiden, yang apabila terlaksana akan membawa Indonesia kembali pada kubangan otoritarianisme seperti di masa Orde Lama dan Orde Baru.
Amanat reformasi belum terlaksana sepenuhnya, dan masih jauh untuk mencapainya. Tapi putus asa bukanlah pilihan, Indonesia di masa depan harus lebih unggul dan paripurna secara sistem baik di bidang politik, hukum, militer, ekonomi dan sosial budaya. Perubahan niscaya akan datang dan kita harus optimis akan itu, seperti yang dikatakan Benjamin Disraeli, “perubahan tidak bisa dihindari, perubahan itu konstan”.