Jokowi, Mitos Politik, dan Kematian Nalar Publik
Ketika politisi menggunakan mitos politik secara berlebihan, kita patut curiga ada sesuatu yang disembunyikan dari sorotan publik.
Ari Ganjar Herdiansah
Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran (Unpad)
3 Februari 2024
BandungBergerak.id – Dalam sebuah acara diskusi yang dihadiri para aktivis dan akademisi, sosiolog dan novelis Okky Madasari menjelaskan tentang bagaimana rezim Jokowi bisa bertahan hampir 10 tahun, meskipun banyak kekacauan terjadi. Tidak sedikit kebijakan dan langkah politiknya acapkali dianggap meminggirkan demokrasi. Seperti yang terjadi belakangan ini, di mana ia cawe-cawe dan “memaksakan” anaknya ikut dalam kontes Pilpres 2024. Dengan cerdas, Okky menggunakan konsep fabrikasi mitos: Jokowi berhasil bertahan selama dua periode berkat mitos-mitos yang dibangun oleh dirinya dan para pengikutnya.
Menurut Okky, ada setidaknya lima mitos yang di fabrikasi pemerintahan Jokowi. Pertama, mitos “Jokowi itu orang baik”. Sejak kampanye pencalonannya di Pilpres 2014, bahkan sejak Pilgub DKI Jakarta 2012, Jokowi menampilkan citra dirinya sebagai rakyat biasa, bersedia masuk ke “gorong-gorong”, dan antitesis dari para elite politik dan oligark dominan. Dia juga menjual cerita anak-anaknya yang berjualan martabak dan pisang goreng untuk melengkapi imajinasi kolektif kita bahwa dia adalah orang baik.
Kedua, mitos “setiap orang bisa berkompetisi.” Setiap kali ditanya tentang dinasti politiknya, Jokowi mengelak dengan mengatasnamakan demokrasi. Dalam suatu kesempatan, dia berujar dengan santai, “Ya, itu kan masyarakat yang menilai.” Menurutnya, keberhasilan Gibran di Solo dan menantunya, Bobi Nasution, di Medan, adalah murni melalui proses yang demokratis. Jadi, pilihan-pilihan politik tersebut senantiasa dikaitkan dengan dukungan rakyat.
Ketiga, mitos “pemimpin muda”. Semangat untuk menghadirkan pemimpin muda tampaknya telah dijadikan rasionalisasi guna menghamparkan “karpet merah” untuk Gibran. Keempat, mitos “pemimpin gemoy cerminan anak muda hari ini.” Menurut Okky, narasi “pemimpin gemoy” merupakan sejenis penghinaan terhadap akal sehat kita, sebab ketajaman gagasan seolah bukan lagi fitur yang penting bagi seorang pemimpin. Dalam mitos ini, kontra intuitif dengan imajinasi khalayak yang mengidealkan pemimpin karismatik dan kuat, rakyat dibuat yakin untuk memilih calon pemimpin yang menggemaskan dan suka joget-joget. Kelima, mitos “presiden netral.”
Tidak mudah bagi publik untuk memahami bagaimana fabrikasi mitos dapat memainkan peran dalam melanggengkan kekuasaan, mengingat masyarakat kita cenderung menyamakan mitos dengan kebohongan. Atas dasar itu, perlu kiranya kita mendiskusikan tentang apa itu mitos, dan bagaimana mitos memiliki kekuatan regulatif yang sering kali dijadikan senjata untuk kepentingan politik. Artikel ini berupaya menguraikan pemahaman dasar dari mitos dan relevansinya dengan dunia politik, beserta efek korosifnya terhadap nalar publik dan demokrasi secara keseluruhan.
Baca Juga: Pendidikan dan Politik Bahasa, Sekolah sebagai Mitos Juru Selamat?
Politik Baperan: Personalisasi Politik dan Warisan Feodalisme
Ingar-bingar Politik dan Kepanikan Presiden Jokowi di Ujung Kekuasaan
Mitos
Claude Levi-Strauss, antropolog strukturalis dari Prancis, melakukan penelitian mendalam tentang mitos di berbagai masyarakat asli Amerika pada pertengahan abad ke-20. Levi-Strauss (1978) menemukan bahwa mitos mencerminkan struktur simbolik yang sejalan dengan sistem budaya masyarakat dan mengungkapkan cara berpikir dan struktur mental manusia pada tingkat yang sangat dasar. Melalui mitos yang diciptakannya, manusia dapat mengekspresikan bagaimana memaknai hubungannya dengan alam, masa lalu, masa depan, dan moral yang melandasinya.
Dengan begitu secara sederhana, mitos dapat diartikan sebagai narasi yang mengandung keyakinan kolektif yang membantu individu memahami dunia mereka. Aspek penting dari mitos bukanlah kebenarannya berdasarkan fakta, melainkan peranannya dalam mengarahkan perilaku individu melalui nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Mitos beroperasi pada level bawah sadar yang mempengaruhi pematuhan individu terhadap norma-norma sosial.
Dongeng Sangkuriang dan Malin Kundang merupakan contoh-contoh akrab tentang bagaimana mitos merefleksikan nilai-nilai sosial dan mengandung pesan normatif. Cerita Sangkuriang mengilustrasikan tabu incest, menekankan bahwa masyarakat menolak pernikahan antara anggota keluarga dekat. Cerita Malin Kundang, di sisi lain, mengisahkan akibat tragis dari ketidaktaatan anak terhadap orang tua, di mana ia dikutuk menjadi batu karena durhaka terhadap ibunya. Kedua cerita ini bukan sekadar narasi, tapi juga mengandung pelajaran moral dan norma yang mengatur perilaku, serta menekankan adanya konsekuensi dari pelanggaran terhadap nilai-nilai tersebut.
Mitos tidak hanya terbatas pada konteks masyarakat tradisional. Faktanya, dalam kehidupan modern, sering kali tanpa disadari mitos tetap beroperasi di kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan mitos tradisional yang lebih berfokus pada nilai-nilai dan kepercayaan komunal, mitos dalam konteks kontemporer cenderung berorientasi pada penguatan struktur kapitalis.
Roland Barthes (1957), seorang filsuf Prancis yang terkemuka, mengemukakan bahwa fenomena budaya kontemporer mengandung mitos-mitos yang membawa makna ideologis yang tertanam dalam objek dan praktik sehari-hari. Misalnya, masyarakat menganggap media sosial sebagai ruang demokratis. Padahal kanal-kanalnya dikuasai korporasi besar. Dengan penguasaan algoritma, mereka mampu mempengaruhi opini pengguna, mendorong konflik sosial, dan bahkan mengarahkan suara dalam pemilu. Semua tentu demi kepentingan modal mereka. Contoh nyata lainnya adalah bagaimana iklan produk kosmetik menggambarkan standar kecantikan yang asosiatif dengan tubuh yang langsing dan kulit yang putih. Dampaknya, banyak wanita merasa terdorong untuk mengejar standar tubuh dan penampilan yang justru tidak ada rujukan otentiknya.
Mitos Politik
Dengan dimensi kekuasaan yang signifikan, mitos memainkan peran krusial dalam kehidupan politik. Contoh paling sederhana adalah nasionalisme, suatu abstraksi yang membangkitkan perasaan kuat terhadap bangsa yang menuntut kesetiaan dan pengorbanan bagi negara. Nasionalisme bertindak sebagai fondasi atas berdirinya suatu negara. Tanpanya, tidak mungkin terbangun ikatan antar-individu dan antar-kelompok untuk berbagi aspirasi dan memperjuangkan tujuan bersama. Nasionalisme merupakan mitos yang memungkinkan individu-individu bekerja sama, mendorong untuk mementingkan nilai dan cita-cita bersama. Nasionalisme membantu mewujudkan keadilan, perlindungan, dan mengangkat harkat martabat bangsa.
Mitos politik tidak selalu memiliki dampak yang konstruktif, tapi juga destruktif. Sebagai contoh, kebangkitan Nazi di Jerman pada tahun 1940-an didorong oleh nasionalisme ekstrem (fasisme) dengan mitos bahwa bangsa Jerman merupakan ras superior yang berhak menguasai dunia. Demikian pula, mitos tentang keunggulan ras kulit putih menjadi landasan bagi praktik apartheid di Afrika Selatan dalam kurun tahun 1960-1983. Selain itu, gagasan tentang “tanah yang dijanjikan” (the promise land) telah memotivasi gerakan Zionis di Israel untuk mengambil alih tanah Palestina, mengakibatkan pengusiran penduduk Palestina, dan memberikan keistimewaan pada warga Yahudi.
Mitos politik juga dapat kita lihat pada kampanye Donald Trump pada 2016 di AS dengan slogan populisnya “Make America Great Again” (MAGA). Trump dan para pendukungnya menggambarkan Amerika yang sedang mengalami kemunduran, sehingga memerlukan pemimpin yang kuat untuk mengembalikan lagi kejayaannya. Slogan MAGA kemudian menjadi isu kontroversial setelah dikaitkan dengan narasi-narasi yang memicu kebencian terhadap pendatang dan superiortas kulit putih.
Tanpa kita sadari, mitos politik juga beredar dalam kehidupan politik saat ini di Indonesia. Misalnya, bahwa negara ini lahir atas perjuangan ulama. Terlepas dari fakta historisnya, narasi semacam itu condong bermotif kepentingan politik yang mengutamakan kelompok-kelompok keagamaan tertentu dalam lanskap politik nasional. Di sisi lain, narasi radikalisme terus menerus digaungkan, di mana kelompok penggaungnya dianggap penting sementara yang lainnya harus minggir dari pusat-pusat kekuasaan atau sumber daya. Bahkan, tanpa malu-malu isu radikalisme diarahkan demi kepentingan politik yang tak relevan dengan isu utamanya. Contoh, bagaimana pelemahan KPK disertai serangan isu “Taliban” terhadap para pegawainya yang berintegritas. Mirisnya, tidak banyak aktivis yang berteriak melawan. Publik pun cenderung membiarkan usaha lacung itu.
Mitos politik juga terkadang dibumbui dengan narasi yang menakut-nakuti masyarakat. Dalam kontestasi politik kita sering mendengar tentang ancaman penjajahan asing, eksploitasi kekayaan alam oleh negara lain, atau potensi perang saudara seperti di Timur Tengah apabila kelompok lawannya yang berkuasa. Meskipun narasi-narasi ini sering kali dibesar-besarkan dan jauh lebih kompleks dari kenyataannya, mereka berhasil membentuk opini tentang siapa yang layak dipilih atau dihindari dalam suatu kontes politik.
Kematian Nalar Publik
Dalam sistem demokrasi, suara adalah kunci bagi para politisi untuk meraih posisi-posisi kekuasaan. Pada kontes pemilu para politisi terdorong menggunakan narasi yang bersifat mitos ketimbang narasi kebijakan. Mungkin, karena isu-isu kebijakan dianggap sulit dipahami oleh publik yang kebanyakan belum teredukasi secara politik. Padahal salah satu fungsi partai politik adalah memberikan pendidikan politik. Para politisi semestinya meningkatkan literasi publik dengan mengedepankan diskusi kebijakan yang bersifat ideologis.
Mitos politik bekerja dengan leluasa di era pasca-kebenaran, di mana fakta sering kali diabaikan demi informasi yang memenuhi preferensi pribadi. Pada situasi masyarakat cenderung memilih informasi yang sesuai dengan selera tanpa mengindahkan sumber yang kredibel, para politisi mengeksploitasi mitos untuk keuntungan mereka. Di era inilah para pendengung (buzzer) dan influencer berupaya menguasai arena-arena percakapan publik di media sosial. Mereka merupakan para intelektual partisan yang melayani ambisi-ambisi kekuasaan. Mereka berperan dalam menumpulkan wacana publik dengan isu-isu murahan, terkadang rasis, sehingga memperparah perpecahan atau polarisasi. Karenanya tidak salah kalau mereka disebut sebagai parasit demokrasi.
Mitos tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari kehidupan manusia. Karena bagaimanapun manusia memerlukan skema penjelasan yang sederhana, tidak selalu logis, atau faktual dalam memahami dunia. Masyarakat memerlukan suatu tatanan dan keteraturan yang terkadang tidak bisa dicapai melalui pendekatan legal-rasional. Dengan keteraturan, manusia dapat memprediksi situasi di mana hal itu sangat berguna dalam pemenuhan kebutuhan dan ketenangan hidup.
Adakalanya kita biarkan saja mitos-mitos itu bekerja. Misalnya dalam situasi di mana masyarakat adat memerlukan daya dalam menjaga hubungannya dengan alam atau pada kelompok-kelompok etnis yang berjuang mempertahankan identitasnya. Demikian pula dalam kehidupan politik, mitos masih dibutuhkan dalam rangka memelihara nilai-nilai luhur, cita-cita bersama, dan komitmen pada keadilan.
Namun, mitos politik yang dominan dapat mengaburkan pemikiran kritis dan bahkan mematikan nalar publik. Apabila publik menentukan pilihan atau dukungan politik tidak berdasarkan nalar, kekuasaan akan digunakan semena-mena. Pemerintahan dijalankan tanpa kompetensi yang layak. Ketika politisi menggunakan mitos politik secara berlebihan, kita patut curiga ada sesuatu yang disembunyikan dari sorotan publik. Apakah itu agenda yang dapat merugikan rakyat atau karut marut mengelola negara. Selama lebih dari tiga dekade masyarakat mengelu-elukan Suharto sebagai Bapak Pembangunan. Tapi yang luput dari pandangan publik adalah berlangsungnya praktik KKN yang kronis, sehingga akhirnya menghantarkan negara pada resesi multidimensi di 1997.
Dengan demikian, kita harus mendorong publik untuk meningkatkan literasi politik dan daya kritis agar mampu membongkar mitos-mitos yang bersifat destruktif pada sistem demokratis. Termasuk di antaranya narasi-narasi politik yang memicu tindakan-tindakan diskriminasi, penindasan, ketidakadilan, perusakan lingkungan, dan peminggiran terhadap kelompok-kelompok sub-altern. Tantangannya tidak mudah. Sebagaimana yang pernah diingatkan oleh Gramsci (1947), bahwa para elite penguasa tampaknya telah berupaya menghegemoni pikiran publik melalui tangan-tangan para intelektual partisan. Kita pun perlu memperbanyak para intelektual organik, yakni individu-individu yang berintegritas pada tiap-tiap kelompok dan komunitas, dalam rangka melawan mitos-mitos politik. Harapannya, publik lebih sadar untuk senantiasa waspada dengan narasi-narasi yang hanya melayani kepentingan segelintir elite penguasa.