Ingar-bingar Politik dan Kepanikan Presiden Jokowi di Ujung Kekuasaan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara psikologis seperti memendam kegelisahan yang membuatnya tak bisa melepaskan kekuasaan politiknya dengan adem dan tenang.
Muhammad Andi Firmansyah
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)
29 Januari 2024
BandungBergerak.id – Ketika Lear, seorang raja tua di Inggris, mengadakan upacara publik yang aneh dalam rangka menyerahkan kerajaannya kepada putrinya, sedikit yang mengerti bahwa sebetulnya dia tak berniat melepaskan kekuasaannya. Justru, niatnya adalah untuk mempertahankan kuasanya dengan cara apa pun. Sadar akan usianya yang terus menua, secara paradoksal dia berusaha melanggengkan kekuasaannya dengan bersikap (seolah-olah) legawa untuk lengser.
Upacara publik tersebut, dengan demikian, hanyalah sandiwara belaka. Dia menguji ketiga putrinya, meminta masing-masing untuk mengatakan betapa mereka mencintainya. Goneril dan Regan, putri sulung Lear, mempersembahkan kata-kata manis dan ragam rayuan untuk ayahnya. Namun Cordelia, putri bungsu dan kesayangan Lear, tetap bungkam, mengatakan bahwa dia tak memiliki kata-kata untuk menggambarkan cintanya kepada sang ayah.
Lear marah dan tak mengakui Cordelia. Seiring waktu, pasca kehilangan kekuasaannya, Lear menyadari bahwa Cordelia-lah yang paling tulus mencintainya, mengakui “mataku bukanlah yang terbaik”. Di ujung hayat, usai melewati rentetan tragedi tragis, dia mengucapkan kata-kata terakhir yang singkat tapi ikonik: “Lihatlah, lihatlah!” Itu mungkin adalah permohonan simbolis agar mereka yang tersisa melihat diri mereka sendiri, dan dunia, dengan akurat.
Kisah Raja Lear, yang ditulis sekitar tahun 1608 oleh William Shakespeare, merupakan suatu lakon yang menggambarkan efek mengerikan dari penyalahgunaan kekuasaan. Secara garis besar, Raja Lear adalah lakon tentang kebutaan—kebutaan terhadap pengkhianatan orang-orang terpercaya, kebutaan terhadap ilusi kekuasaan dan privilese, serta kebutaan terhadap cinta yang tanpa pamrih.
Lakon Raja Lear, walaupun tergolong kisah klasik, tak pernah menjadi (terlalu) kuno. Inti dari tragedinya—seperti keangkuhan penguasa dan kerapuhan kekuasaan—tetap ada dan masih relevan, bahkan ketika sistem demokrasi telah menggeser dominasi rezim kerajaan. Hari ini, bukan di Inggris, kita memiliki seorang pemimpin berlabel “demokrat” yang mengaku sangat legowo untuk melepaskan kekuasaannya, tapi di sisi lain keluarganya gesit bermanuver.
Saya ingin membicarakan Presiden Jokowi.
Baca Juga: Pion Suprastruktur Politik Rezim Jokowi dan Kemelut Negara
Bawa-bawa Jokowi, Alat Peraga Kampanye PSI Bertebaran di Tiang Listrik, PJU, dan Pohon di Kota Bandung
Warisan Buruk Jokowi untuk Transisi Energi
Kegelisahan di Ujung Kekuasaan
Pada Rabu, 24 Januari 2024, kemarin, Presiden Jokowi mengatakan bahwa presiden dan wakil presiden boleh berkampanye dalam pemilu, berdalih bahwa hal itu sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2017. Presiden Jokowi memang belum resmi menyatakan dukungannya pada salah satu kandidat, tapi secara luas dianggap memberi sinyal dukungan kepada Prabowo Subianto, yang tampak tersenyum di belakang Presiden Jokowi ketika pernyataan kontroversial ini diucapkan.
Selang dua hari kemudian, untuk merespons hujan kritik terhadapnya, Presiden meluruskan ucapannya lewat keterangan pers dengan menunjukkan karton putih besar berisikan aturan undang-undang yang dirujuknya. Di situ disebutkan bahwa keikutsertaan presiden dan wakil presiden dalam kampanye harus memenuhi beberapa ketentuan, di antaranya tak memakai fasilitas jabatan dan menjalani cuti di luar tanggungan negara.
“Jangan ditarik ke mana-mana,” katanya.
Bagaimanapun, mengingat Prabowo berjanji akan meneruskan hasil kinerjanya dan bahwa pendamping Prabowo adalah putra sulungnya sendiri, sulit untuk tak “menariknya ke mana-mana”. Dulu, sebelum Gibran resmi menjadi cawapres, publik mungkin masih bisa percaya dan menimbang ucapannya yang menegaskan bahwa dirinya akan “mendukung semuanya untuk kebaikan negara ini”.
Kini, meminjam istilah Ben Bland, publik mulai melihatnya sebagai “man of contradictions”.
Mengapa, yang puncaknya belakangan ini, Presiden Jokowi penuh kontradiksi, tak konsisten, dan (menurut saya pribadi) kian angkuh? Apakah memang tabiat kekuasaan (dan kekayaan), atau dalam istilah Rocky Gerung “ODGJ (Orang Dengan Gila Jabatan)”, untuk pada akhirnya mengubah watak seseorang menjadi begitu? Atau apakah selama ini kita telah salah menilai Jokowi sebagai bagian dari wong cilik dan, tiba-tiba saja, kita melihat watak aslinya?
Penilaian dan analisis bermunculan.
Ada yang halus seperti Jusuf Kalla, menyebut bahwa Jokowi telah berubah karena “terlena menikmati kekuasaan”, dan ada pula yang lebih terang-terangan dan temperamental seperti Amien Rais, menilai Jokowi dan keluarganya telah menunjukkan kebodohan dan ambisinya.
Saya sendiri cenderung berpendapat bahwa Presiden Jokowi, sama halnya dengan Raja Lear, secara psikologis memendam kegelisahan tertentu yang membuatnya tak bisa melepaskan kekuasaan politiknya dengan adem dan tenang. Seolah ada yang belum beres, sesuatu yang masih mengganjal, setelah memerintah selama hampir satu dekade. Lalu, dari mana asalnya kegelisahan ini? Jawaban saya: kegagalan.
Ada ungkapan, “Penulis terus berambisi menulis karena mereka merasa karyanya terdahulu adalah kegagalan.” Ungkapan yang sama mungkin bisa kita adaptasi ke kasus Jokowi: ambisi dan keinginannya, entah tersirat maupun tersurat, untuk memperpanjang kekuasaan lewat keluarganya merupakan bentuk defensif guna menutupi kegagalannya memerintah selama hampir satu dekade ini—dan syukur-syukur bisa membuatnya dikenang baik.
Dia mungkin cemas bahwa dirinya akan dikenang sebagai presiden yang menjungkirbalikkan visi pembaharuan, merongrong demokrasi, memajukan politik orang dalam di mana dinasti-dinasti politik tumbuh subur (baik level lokal maupun nasional), menindak keras perbedaan pendapat dan toleransi, dan justru melemahkan upaya-upaya anti korupsi. Faktanya, Jokowi tak melakukan apa-apa dalam masalah korupsi karena KPK telah dilemahkan.
Mari kita lihat, untuk menyebutkan salah satunya, Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia pada tahun 2022. Berdasarkan data yang dirilis Transparency International, Indonesia mempunyai skor 34/100. Selain fakta bahwa angka itu masih jauh di bawah rata-rata negara-negara Asia Pasifik (kisaran 45/100), hasil tersebut juga merupakan penurunan paling drastis sejak tahun 1995, terburuk di sepanjang era reformasi.
Daftarnya masih sangat panjang jika kita memeriksa aspek-aspek lainnya, mulai dari indeks HAM dan penanganan selama pandemi Covid-19 sampai pembangunan ibu kota baru yang nasibnya semakin samar-samar. Intinya, serangkaian kegagalan ini telah membuat Presiden Jokowi begitu gelisah tentang nasib politiknya, terutama citra dirinya setelah lengser nanti—was-was akan dikenang sebagai orang yang membawa demokrasi Indonesia mundur.
Saya pikir kegelisahan inilah yang akhirnya memotivasi Jokowi untuk bersikeras memastikan presiden berikutnya merupakan sekutu—atau syukur-syukur anaknya sendiri—yang dengan demikian akan menutupi jejak-jejak kegagalannya selama memimpin satu dekade, termasuk meneruskan program-program yang selama ini menjadi ikonnya, seperti hilirisasi nikel serta (tentu saja) ibu kota negara Nusantara.
Lihatlah bagaimana cara Jokowi membangun dinasti politiknya, bukan hanya linear tapi juga menggemuk, dalam arti mengamankan posisi di cabang-cabang pemerintahan lainnya. Inilah masa ketika negara menjadi semacam urusan keluarga belaka. Prosesnya, bagi saya, sangat menggelikan. Mahkamah Konstitusi, yang saat itu dipimpin ipar presiden dan paman Gibran, seolah-olah menghamparkan karpet merah untuk Gibran.
Namun, visi Jokowi guna membangun sebuah dinasti politik tak berhenti pada Gibran. Putra bungsunya, Kaesang Pangarep, adalah ketua umum Partai Solidaritas Indonesia yang dipilih hampir secara instan, dan disebut-sebut akan mencalonkan diri dalam pemilihan wali kota Depok. Menantunya, Bobby Nasution, saat ini menjabat sebagai wali kota Medan dan akan mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur Sumatera Utara.
Bagi Jokowi, melempar dadu dengan membangun dinasti keluarga ini berarti meningkatkan pertaruhan pribadi pasca Pemilu 2024, yaitu antara mengamankan pijakan buat dirinya dan keluarganya dalam sistem politik di tahun-tahun mendatang, dan dengan begitu melindungi memori kegagalannya selama menjabat dua periode dan memastikan beberapa monumen kekuasaannya tetap bertahan, atau dikenang dengan lebih memalukan lagi.
Ya Ampun, Raja Lear
Kembali ke Raja Lear-nya Shakespeare. Lakon ini menampilkan perjuangan kekuasaan klasik yang berakhir dengan kematian semua orang, mirip dengan Game of Thrones (maafkan saya kalau Anda belum menontonnya, tapi semua orang mati dalam perjuangan kekuasaan yang sangat dramatis). Di akhir Game of Thrones, Daenerys kehilangan akal sehatnya dan lantas membakar ibu kota dengan naganya.
Dalam kisah Raja Lear dan Games of Thrones, banyak orang yang mati saat memperebutkan kekuasaan dan saya merasa bingung dan marah dengan akhir cerita yang, bagi saya, terlalu buru-buru dan tak berperasaan. Mengapa harus membangun sesuatu yang megah ini hanya untuk membuat semua orang mati? Namun, setelah melihatnya lagi dan membandingkan kedua cerita tersebut, saya mulai menyukai akhir cerita tersebut.
Lord Acton berkata, “Power tends to corrupt,” tapi kedua cerita tersebut juga berkata bahwa kekuasaan (dan kekayaan) dapat merusak orang-orang yang memiliki nilai-nilai paling kuat sekalipun. Sensasi serupa saya cecap pada sosok Presiden Jokowi.
Dia datang sebagai wong cilik—atau setidaknya begitulah citra yang ditonjolkannya selama berkampanye—yang diyakini dapat menjadi antitesis para elite politik dan oligark dominan. Dia terpilih, sebagian, karena dipandang independen dari para pengawal lama era Soeharto, sementara Prabowo adalah menantu Soeharto dan memiliki rekam jejak buruk perihal HAM. Namun, seolah memasuki zona zombie, Jokowi pergi dalam keadaan terinfeksi.
Dengan memperdalam patronase dan politik dinasti di Indonesia, Jokowi justru merupakan kebalikan dari reformasi demokratis yang telah dicapai oleh negara kita sejak meruntuhkan pemerintahan otoriter seperempat abad yang lalu. Jokowi, sejauh kita sadari pada akhirnya, bertahan selama satu dekade bukan karena “memberi makan” rakyat secara keseluruhan, tapi karena “memberi makan” orang-orang yang berjajar di barisannya.
Saya pikir aman untuk mengatakan bahwa Jokowi akan dikenang lebih sebagai politisi yang menjadi presiden, bukan negarawan. Seorang negarawan memberikan apa yang mampu diberikan kepada negara, sedangkan politisi mencari apa yang dapat diperoleh dari negara. Hal ini menunjukkan bahwa dia sama saja dengan mayoritas politisi lain yang transaksional, pragmatis, dan mementingkan diri sendiri.
“Ini bukan hanya patronase seperti biasanya,” ujar Sana Jaffrey, seorang analis di Universitas Nasional Australia, “tapi juga keterlaluan dengan cara yang sudah lama tidak kita lihat.”
Dalam bukunya Man of Contradictions (2020), Ben Bland berpendapat bahwa Jokowi bukan “seorang reformis demokratis… tapi juga bukan serigala otoriter berbulu domba. Alih-alih, dia telah dibentuk oleh angin yang berputar di sekelilingnya”. Sementara itu, dosen senior di Murdoch University Australia Ian Wilson menilai bahwa Jokowi “akan memberi kesan lepas tangan karena itulah gaya politiknya, tapi dia sangat terlibat di belakangnya”.
“Saya sama sekali tak melihat Jokowi sebagai seorang demokrat,” sambung Wilson, “Jokowi memiliki kecenderungan otokratis, begitu pula dengan Prabowo.”
Atas berbagai pertimbangan, saya memilih menganggukkan kepala kepada Wilson.
* Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Muhammad Andi Firmansyah, dan artikel lainnya tentang politik.