Pion Suprastruktur Politik Rezim Jokowi dan Kemelut Negara
Pembangunan birokrasi politik di babak pasca reformasi era Jokowi berpotensi membentuk kultur feodal.
Mohamad Akmal Albari
Mahasiswa, aktif membuat blog
16 Oktober 2023
BandungBergerak.id – Memasuki satu dekade jabatan Presiden Jokowi di puncak kekuasaan eksekutif negara, memperlihatkan banyak perubahan drastis dengan ambisinya pada akhir pucuk kepemimpinan, salah satunya memastikan Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) atau Omnibus Law agar legal. Produk hukum yang menuai kontroversi itu sejak 2020 dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Rekam jejak legislasi dari UU No. 11 Tahun 2020 lalu diatur kembali oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 dan ditetapkan DPR RI dengan UU No. 6 Tahun 2023 menjadi cara pemerintah memaksakan kehendak supaya diundangkan. Salah satu alasan inkonstitusional adalah tidak adanya metode Omnibus Law dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3).
Jalan keluar pemerintah yakni mengubah UU P3 dengan memasukkan metode itu dalam UU No. 13 Tahun 2022 yang selanjutnya Perppu Ciptaker lahir enam bulan setelahnya dengan alasan kegentingan mendesak. Kelihaian pemerintah tidak berhenti di situ, meski penolakan dengan demo dari seluruh elemen dari tahun ke tahun mengepung DPR RI tidak diindahkan.
Masyarakat yang resah berkali-kali mengajukan permohonan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK), pertanda jika Omnibus Law belum mendapatkan legitimasi kuat dari rakyat. Mengutip bbc.com, lima permohonan uji formil UU Ciptaker ditolak seluruhnya pada 2 Oktober 2023. Alhasil, harapan rakyat untuk berjuang di MK menimbulkan ketidakpercayaan atas badan suprastruktur politik negara.
Berbicara MK yang sepatutnya independen dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) memperlihatkan penjaga konstitusional telah melanggar nilai-nilai rule of law. Secara gamblang, permainan Omnibus Law berkutat pada Presiden, DPR dan MK yang masing-masing cooperate and maintain. Walau sejak 2019 direncanakan, tetap saja 11 klaster yang menggabungkan 78 UU seperti kereta “Whoosh” demi alasan penyederhanaan hukum.
Kultur Feodal Konsolidasikan Kekuasaan
Memang catur politik yang disusun secara party based government, memerlukan ukuran fit and proper test. Ukuran tersebut sejatinya mengkualifikasi mereka yang cukup kooperatif dan dapat memaksimalkan kepentingan. Rezim Jokowi mengaktualisasikan dengan cara penyerapan kekuatan militer dalam birokrasi dan mengoneksikan kekuasaannya di jalur patrimonial.
Mengutip kompas.com, Luhut Binsar Panjaitan, Prabowo Subianto, Tito Karnavian, dan Hadi Tjahjanto memiliki posisi strategis sebelumnya. Belum lagi, dari cnbcindonesia.com, catatan penyokong rezim di Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 berjumlah tujuh partai politik. Ketika eksekutif dan legislatif sudah merapat berjejer di belakang Jokowi, maka masing-masing mengusung tiga hakim MK untuk menjaga kepentingan tertentu sesuai konstitusi. Isu kredibilitas Ketua Hakim MK Anwar Usman yang menikahi adik Jokowi dan Kaesang Pangarep menjabat Ketua Partai Solidaritas Islam (PSI) menjadi persoalan pelanggengan legacy.
Lebih lanjut, Omnibus Law bukanlah satu-satunya yang membuka peluang ketidakstabilan hukum, UU Ibu Kota Nusantara (IKN) selayaknya mendapat perhatian lebih karena kawasan tersebut di alienasi khusus setingkat kementerian dan menjadi daerah sirkulasi para pengusaha, korporasi dan investor sejalan Ciptaker nantinya.
Oleh karena itu, pembangunan birokrasi politik di babak pasca reformasi era Jokowi berpotensi membentuk kultur feodal. Dalam buku Perkembangan Politik & Sistem Birokrasi di Beberapa Negara (2016) , dijelaskan saat pejabat memperlakukan sumber daya yang ada sesuai kemauannya mengarahkan pada kepentingan raja, yang membentuk birokrasi patrimonial, mengingatkan pengalaman di masa kolonial dan Orde Baru (Orba).
Baca Juga: Presiden Jokowi: Negara telah Melakukan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu
Politik Memaksa dan Merayu Rezim Jokowi
Rahasia Umum Korupsi dan Politik Uang di Tahun Politik
Tunduk Kepada Leviathan
Suprastruktur politik dari ajaran Montesquieu “Trias Politica“ merupakan kelengkapan sistem bernegara. Faktanya, saat rezim menguasai sistem seluruhnya, aturan main diubah, atribusi diperkuat, sejalan kemauan golongan beralaskan kepentingan nasional. Apalagi menyangkut hak atas tanah warga negara yang dirampas.
September 2023 lalu, melansir detik.com, warga Pohuwato marah kepada pemerintah daerah, meminta ganti rugi atas lahan yang digunakan perusahaan tambang emas. Mereka membakar gedung Bupati dan DPRD Pohuwato. Meski dinilai anarkis, Pohuwato hanyalah permulaan konflik kekerasan. Sengketa dengan penguasa seperti Rempang dan Seruyan membentuk negara kekuasaan (machtstaat).
Kembali ke Abad 16, sebuah buku berjudul “Leviathan” ditulis Hobbes untuk menjelaskan kekuasaan negara setelah Raja Charles I kalah oleh Oliver Cromwell, yang selanjutnya Cromwell mendirikan Republik di dataran Inggris. “Leviathan” bisa diartikan sebagai raksasa atau monster laut, di mana Hobbes menggambarkan negara sebagai Leviathan.
Namun penjelasan secara tekstual saja tidak cukup untuk menguraikan “Leviathan” dengan tindakan rezim Jokowi. Franz Magnis Suseno atau Romo dalam buku Etika Politik menafsirkan negara Hobbes sebagai negara absolut, mendasarkan kekuasaan negara yang tidak tergoyahkan. Untuk itu, negara harus mengancam dan mengerikan agar ditaati dan hidup tanpa ketakutan.
Stabilitas negara didasarkan oleh peraturan yang baik meskipun pembatasan kekuasaan yang lemah berujung penyalahgunaan kewenangan dikembalikan pada kesadaran penguasa. Dan sebenarnya, negara Hobbes adalah negara hukum (rechtstaat) namun praktiknya ditentukan oleh kekuasaan, sehingga hukum tidak memiliki arti berhadapan dengan kekuasaan dan hanya sarana formal belaka.
Leviathan menurut Hobbes barangkali bubar karena ia Deus mortalis (Allah yang dapat mati) dan “manusia buatan“. Perkataan Hobbes “Allah“ selayaknya dimaknai negara yang bertindak seumpama tuhan, menentukan mana yang baik dan yang buruk. Konflik dalam rezim Jokowi jika berlanjut besar dan meluas, boleh jadi rakyat akan kehilangan motivasi untuk taat, tindakan anarkis membludak.
Ada dua jalan keluar bagi Hobbes atas hal itu, yakni tunduk kepada penguasa bagaimanapun atau pembubaran negara dan anarki total. Pandangan dari beberapa abad lalu ini memang tidak ada jaminan akan terjadi. Tetap saja, perubahan sosial politik secara tiba-tiba semakin dekat, sosiolog Jerman, Dahrendorf dikutip Ramlan Surbakti dalam Memahami Ilmu Politik, menilai pemicu itu adalah konflik kelas dan kekerasan yang intens.
Dengan begitu, rezim Jokowi yang lengser di 2024 harus menerima keputusan presiden selanjutnya, bukan malah mempermainkan law and order semata untuk keberlanjutan proyek di masanya. Orientasi ekonomi sebagai tujuan utama bagi negara berkembang akan selalu menimbulkan demokrasi yang beralih otoritarianisme birokrasi.
Guillermo O’Donnell dikutip dari David Collier dalam Bureaucratic Authoritarianism, memandang otoritarianisme birokrasi terjadi karena tiga hal, yaitu mendorong perkembangan ekonomi; menginginkan ekonomi yang kompetitif secara internasional dan menggaet aktor ekonomi internasional sebagai mitra; selanjutnya berusaha mengontrol atau menghancurkan pergerakan buruh.
Berangkat dari negara berkembang di Amerika Latin yang menjadikan ekonomi fokus terpenting, Guillermo melihat kebangkitan otoritarianisme tersebut membangun karakter rezim militer dan represifitas. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat realisasi investasi sebanyak Rp 349,9 triliun pada triwulan II tahun 2023, di mana sektor tersier menjadi payu bertepatan rencana IKN.
Pertumbuhan itu selalu dipandang positif pemerintah karena penanaman modal di Indonesia meningkat, tidak dengan rakyat yang semakin hari tergerus lahannya. Oleh karena itu, mendekati Pemilu 2024, kepemimpinan Indonesia membutuhkan sosok yang andal dan cakap politik mengurus negara sesuai hukum agar kembali stabil.