Menakar Sosok Wali Kota Bandung 2024-2029
Bagaimana kita dapat memastikan pemimpin kota Bandung berikutnya kompeten dan tidak korup?
Ari Ganjar Herdiansah
Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran (Unpad)
7 Mei 2024
BandungBergerak.id – Segudang masalah yang dihadapi warga Kota Bandung seakan tidak pernah menemukan pemecahannya. Mulai dari masalah sampah, PKL, transportasi publik, parkir liar, hingga premanisme. Miris, karena ini terjadi pada kota yang dikenal sebagai kota pendidikan dan industri kreatif.
Berbagai masalah kota yang tambah besar menandakan adanya persoalan dalam sistem politik yang berlaku di Kota Bandung, di mana berbagai potensi yang ada tidak mampu diarahkan pada peningkatan kualitas kota. Indikasi yang mudah diamati adalah banyaknya wali kota dan pejabat pemerintahan kota yang terjerat kasus korupsi.
Masih hangat dalam ingatan publik mengenai korupsi proyek Bandung Smart City yang menjerat mantan Wali Kota Bandung Yana Mulyana dan beberapa pejabat Dinas Perhubungan. Lebih dari itu, pengembangan perkara oleh KPK menyingkap gurita korupsi yang lebih luas. Mantan Sekda Kota Bandung Ema Sumarna dan empat anggota DPRD Kota Bandung turut ditetapkan sebagai tersangka—dan baru-baru ini lembaga anti rasuah tersebut menyebut adanya tersangka baru dari Pemkot Bandung dan DPRD Kota Bandung.
Kasus “makan duit haram” itu seolah merupakan déjà vu atau trauma yang berulang bagi warga Kota Bandung. Pada pertengahan 2013, dengan pola yang mirip, mantan Wali Kota Bandung Dada Rosada dan mantan Sekda Kota Bandung Edi Siswandi juga terjerat kasus korupsi terkait penyalahgunaan dana bantuan sosial Pemkot Bandung.
Tidak sedikit warga yang berharap masalah-masalah kronis tersebut dapat diatasi oleh wali kota Bandung berikutnya. Namun, bagaimana kita dapat memastikan pemimpin kota Bandung berikutnya kompeten dan tidak korup?
Seperti yang diketahui, pemilihan wali kota Bandung akan dilaksanakan pada November 2024. Sejumlah nama mulai meramaikan bursa bakal calon. Di barisan depan ada Atalia Praratya, istri mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, meskipun diisukan mundur dari bursa pencalonan setelah memastikan satu kursi di DPR RI.
Nama-nama lainnya yang sudah akrab di telinga publik adalah pembawa acara Muhammad Farhan, penyanyi Melly Goeslaw, mantan Ketua KPUD Jawa Barat Ferry Kurnia Rizkiansyah, dan Ketua DPRD Kota Bandung Teddy Rusmawan. Bahkan artis Irfan Hakim dan pendakwah Hanan Attaki juga masuk ke dalam bursa pencalonan, walaupun lebih dipertimbangkan sebagai wakil wali kota.
Baca Juga: Bertahan di Kota yang Katanya Ramah HAM
WAJAH CALON WALI KOTA BANDUNG DI BALIHO #1: Muhammad Farhan Ingin Beberes Bandung
WAJAH CALON WALI KOTA BANDUNG DI BALIHO #2: Kang Erwin Mau Membereskan Persoalan Kemiskinan
Kriteria Pemimpin Ideal
Dalam demokrasi langsung dikenal rumus bagi kandidat untuk dapat bersaing dalam ajang kontestasi pemilihan, yakni memenuhi unsur: popularitas, disukai, dan dipilih. Dalam mekanisme ini, kuncinya terletak pada mayoritas pemilih yang cerdas. Tapi kalau kebanyakan pemilih kurang rasional dalam menentukan pilihan, pemimpin yang terpilih belum tentu memiliki kemampuan.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mendorong partai-partai agar melaksanakan seleksi kandidat yang benar-benar mengedepankan karakter dan kapasitasnya, bukan semata-mata popularitas. Kriteria utama yang harus dimiliki pemimpin adalah karakter demokratis. Seberapa condong seorang kandidat pada nilai-nilai demokratis. Ini adalah karakter yang wajib dimiliki sosok wali kota.
Mengikuti aspek karakter demokratis dari Steven Levitski dan Daniel Zilbatt dalam bukunya Bagaimana Demokrasi Mati (2019), watak pertama dari seorang pemimpin adalah memiliki komitmen kuat terhadap aturan main demokrasi. Ia harus menghormati baik aspek aturan maupun etika dalam kontestasi pemilihan dan menjalankan pemerintahan. Misalnya menolak praktik politik uang, menjauhkan nepotisme, dan mengedepankan kompetensi dalam birokrasi.
Kedua, sosok itu harus menghargai legitimasi lawan-lawan politiknya. Seorang wali kota harus menghargai upaya-upaya yang menandingi dirinya. Misalnya tidak menuduh lawan-lawan politiknya dengan isu-isu SARA atau melibas para penantangnya dengan kriminalisasi.
Ketiga, ia harus menolak penggunaan kekerasan –entah sdalam bentuk fisik ataupun simbolik– baik dalam kontestasi maupun menjalankan pemerintahan. Ini berarti, seorang calon wali kota tidak boleh menggunakan kelompok-kelompok yang identik dengan kekerasan sebagai bagian dari pendukungnya.
Keempat, menjamin kebebasan sipil, kritik, termasuk kebebasan media dalam mengawal pemerintahannya. Ia harus memandang bahwa segala kritikan adalah mengarah pada jabatannya, bukan pada pribadinya. Kritikan adalah mekanisme penting dalam menjalankan pemerintahan yang benar-benar berorientasi pada kepentingan publik.
Setelah karakter di atas terpenuhi, sosok wali kota Bandung harus memiliki kapasitas untuk menyelesaikan berbagai permasalahan kota. Ia paham, misalnya, mengapa PKL dan parkir liar sulit ditertibkan. Ia pun tahu persis persoalan di balik masalah sampah yang terus memburuk. Ada aspek ekonomi-politik dan sosiologis yang harus dicermati. Selain memahami, ia pun mesti punya konsep dan gagasan untuk membereskan semua permasalahan tersebut.
Selanjutnya, sosok wali kota harus mampu mengelola dimensi sosial politik Kota Bandung. Ia memiliki kekuatan untuk memengaruhi berbagai elemen sosial kota agar bersama-sama mendukung berbagai program dan kebijakan untuk menjadikan kota yang lebih baik. Ia tidak boleh kalah dengan local strongmen yang sering kali memaksakan kepentingannya dengan alat kekerasan (misalnya, “ormas”).
Kiprah Parpol
Idealnya, sosok pemimpin yang memenuhi karakteristik di atas adalah pimpinan parpol di tingkat kota. Karena, merekalah yang melakukan edukasi politik secara kontinu, mempraktikkan dan memelihara nilai-nilai demokrasi, memahami dan memperjuangkan masalah-masalah kota, serta menguasai aspek sosial politik kota.
Namun sayangnya, kiprah parpol-parpol dalam melaksanakan fungsi-fungsi itu masih dipertanyakan. Oleh sebab itu, sepak terjang parpo –termasuk tokoh-tokohnya– kurang dikenal oleh warga. Karena itu pula kebanyakan pimpinan parpol tidak memenuhi rumus keterpilihan yang menjadi salah satu pertimbangan utama dalam pemberian tiket.
Masalah lainnya adalah bahwa penentuan tiket calon wali kota ditentukan oleh pimpinan parpol pusat. Pertimbangan politik para elite di tingkat pusat terkadang mengalahkan aspirasi di daerah. Akhirnya, tiket calon wali kota diserahkan kepada figur lain, yang bisa saja populer tapi belum tentu teruji.
Penguatan Pelembagaan Partai Politik
Untuk agenda jangka panjangnya, berbagai elemen masyarakat sipil harus mendorong agar parpol mau memperkuat pelembagaannya. Kuatnya pelembagaan partai politik, salah satunya akan memengaruhi kualifikasi kader-kader yang nantinya akan dicalonkan menjadi pejabat publik dan hal ini diharapkan mampu memperbaiki kualitas demokrasi dan pembangunan politik kita termasuk di aras lokal.
Bila kita mengacu pada Randall dan Svasand (2002), pelembagaan partai politik yang solid akan memberi banyak manfaat bagi publik, seperti para elite yang lebih menaati aturan dan norma demokrasi, mengandalkan platform kebijakan dan atau politik programatik, dan membuat basis massa lebih mengakar. Semua ini akan bermuara pada terpangkasnya praktik politik uang yang menjadi pangkal masalah karut marutnya politik kita saat ini.
Sementara untuk jangka pendek, dengan sisa waktu yang ada, kita harus mendorong partai-partai agar mengusung sosok calon wali kota dengan karakter dan kapasitas yang mumpuni. Karena kuncinya ada di pemilih, kekuatan masyarakat sipil harus bergerak mempromosikan sosok-sosok potensial agar dilirik oleh para elite parpol.
Parpol pun harus mengutamakan nama-nama yang sudah teruji secara rekam jejak, dan nama-nama tokoh itu nantinya harus berusaha lebih keras lagi untuk memperkuat basis-basis konstituen dengan mengenalkan platform-platform kepartaian.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Ari Ganjar Herdiansah, atau artikel-artikel lain tentang politik