• Opini
  • Dari Balas Budi ke Politik Nilai, Menakar Harapan untuk Kabinet Prabowo

Dari Balas Budi ke Politik Nilai, Menakar Harapan untuk Kabinet Prabowo

Presiden Prabowo Subianto harus segera menyadari bahwa politik balas budi dan kompromistis hanya akan memperlebar jarak antara pemerintah dan rakyat.

Ari Ganjar Herdiansah

Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran (Unpad)

Prosesi Pisah-Sambut Presiden Republik Indonesia dari Joko Widodo (Jokowi) ke Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Minggu, 20 Oktober 2024. (Foto: Humas Setkab/Agung)*

30 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Nilai adalah sesuatu yang kita anggap berharga, yang tidak bisa kita pertukarkan atau bahkan dikompromikan dengan hal lain. Contoh umum dan sederhana dari nilai adalah mencintai dan menghormati kedua orang tua. Kita tidak akan berani mengorbankan atau menukarkan nilai tersebut dengan apa pun yang mencederai rasa cinta dan hormat kita kepada orang tua.

Sementara itu, konsep yang sering kali dianggap berdekatan dengan nilai adalah kepentingan. Kepentingan merujuk pada posisi atau prioritas yang harus dilakukan demi mencapai tujuan tertentu, apakah dalam kehidupan sehari-hari, sosial, ekonomi, dan politik.

Nilai dan kepentingan ibarat dua sisi mata uang. Nilai tidak dapat diraih atau dipertahankan tanpa usaha atau kepentingan. Demikian pula sebaliknya. Sebagai contoh, meraih pendidikan tinggi adalah suatu nilai, tetapi untuk mencapainya diperlukan banyak hal yang berkaitan dengan kepentingan, salah satunya dukungan finansial. Meraih dukungan finansial adalah kepentingan, namun harus dilakukan dengan cara-cara yang benar, sesuai normal sosial yang berlaku.

Apa yang diuraikan di atas adalah kondisi ideal. Dalam kenyataannya, nilai dan kepentingan terkadang berada pada posisi yang berseberangan. Pada kehidupan politik, akhir-akhir ini kita semakin menyaksikan nilai dan kepentingan berada pada posisi yang tidak sinkron, di mana kepentingan lebih diutamakan ketimbang nilai.

Kita pernah memiliki harapan tentang menguatnya politik nilai dalam kehidupan politik. Waktu itu adalah Pilpres 2014. Slogan “revolusi mental” bertalian dengan janji-janji politik manis seperti koalisi ramping, tanpa bagi-bagi kursi, dan kabinet profesional keluar dari mulut Jokowi.

Publik sangat terpikat. Namun tak berlangsung lama, di periode pertama pemerintahannya (2014-2019), koalisi partai pendukung pemerintah terus bertambah. Posisi-posisi di kabinet, badan, lembaga pemerintahan dan BUMN dibagi-bagi untuk para pendukungnya, termasuk kepada tokoh-tokoh relawan Jokowi.

Di era baru pemerintahan Prabowo, janji manis serupa juga bergaung dengan slogan “Kabinet Zaken”, yakni konsep kabinet yang terdiri dari para profesional. Hal ini demi memaksimalkan kinerja para menteri yang berujung pada prioritas kepentingan publik.

Namun pada kenyataannya, kabinet Prabowo-Gibran (yang bernama resmi “Kabinet Merah Putih”) malah berpostur tambun. Mereka menunjuk 48 menteri dan 56 wakil menteri, ditambah lima pejabat setingkat menteri. Kabinet anyar ini menjadi yang tergemuk di era Reformasi, bahkan lebih gemuk dibanding kabinet-kabinet di era pemerintahan Soeharto. Seolah belum cukup, Prabowo juga menyediakan jabatan lain: utusan khusus dan penasihat khusus.

Selain jumlahnya, komposisi Kabinet Merah Putih juga menjadi sorotan. Sebagaimana telah diprediksi sejak jauh hari, Prabowo tampaknya menghamparkan karpet merah untuk mereka yang telah berkeringat mengantarkannya ke tampuk kekuasaan. Dari 48 menteri yang ditunjuk, 17 di antaranya merupakan menteri lama yang kebanyakan dikenal sebagai loyalis Jokowi –dan signifikansi peran Jokowi dalam pemenangan Prabowo sudah menjadi rahasia umum.

Wacana Kabinet Zaken juga jauh panggang dari api.

Hampir separuh komposisi Kabinet Merah Putih merupakan politisi, dan bahkan di antara non-politisi pun terdapat beberapa yang berasal dari kalangan militer/polisi. Ringkasnya, Kabinet Merah Putih sebagian besar diisi menteri lama Jokowi (terutama bidang yang berhubungan dengan ekonomi), lingkaran kepercayaan Prabowo (misalnya Menteri Luar Negeri, Sugiono), serta perwakilan parpol dan relawan yang berjasa dalam pemenangan Paslon 02.

Apakah mengherankan jika kemudian publik menyindirnya sebagai “Kabinet Gemoy” dan “Kabinet Balas Budi”?

Kabinet berpostur tambun dan berciri balas budi seperti itu berpotensi memiliki konsekuensi yang serius. Pembentukan dan pemisahan kementerian yang berimbas pada bertambahnya 14 kementerian baru akan menghasilkan proses birokrasi yang pelik. Para menteri harus berbenah terlebih dahulu sebelum benar-benar dapat bekerja (dan bukan untuk waktu yang singkat).

Berbagai persoalan yang harus segera dituntaskan berisiko terbengkalai. Belum lagi mata rantai koordinasi antar-kementerian yang semakin panjang akan membuat kabinet ini kurang lincah dalam bekerja.

Kabinet balas budi juga artinya berfondasi pada asas kompromistis. Kepentingan para elite pendukung pemerintahan, baik dari kalangan parpol maupun non-parpol, akan lebih mendapatkan prioritas demi menjaga stabilitas rezim pemerintahan. Ujung-ujungnya, kepentingan publik yang dikorbankan.

Baca Juga: Politik Mbajingisme
Transformasi Politik dan Peran Generasi Muda, Tinjauan Menjelang Masa Pemerintahan Prabowo-Gibran
Indonesia di Bawah Prabowo-Gibran, Kabinet Gemuk Dikhawatirkan Melemahkan Semangat Oposisi dan Kritik

Mengembalikan Politik Nilai, Mungkinkah?

Mengembalikan politik nilai memang bukan perkara mudah, terutama di tengah realitas kabinet yang gemuk dan lamban serta kuatnya kepentingan elite dalam setiap kebijakan. Namun, itu bukan berarti tidak ada harapan sama sekali.

Presiden Prabowo harus segera menyadari bahwa politik balas budi dan kompromistis hanya akan memperlebar jarak antara pemerintah dan rakyat, menciptakan ketidakpuasan, serta meruntuhkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan.

Sebagai langkah awal, Presiden Prabowo harus mengarahkan kabinetnya pada prioritas kebijakan yang benar-benar berorientasi pada kesejahteraan rakyat, bukan sekadar memuaskan kepentingan para elite penyokong rezim pemerintah.

Apabila terjadi reshuffle, sebagaimana yang dijanjikan Presiden Prabowo dalam mengevaluasi kinerja menteri-menterinya, jadikan itu momen penting untuk mewujudkan kabinet zaken yang mengutamakan profesionalisme. Transparansi, akuntabilitas, dan konsistensi dalam menjalankan kebijakan juga harus menjadi nilai utama yang dijunjung oleh setiap anggota kabinet.

Jika kabinet ini berhasil menunjukkan komitmen terhadap politik nilai, hasilnya tidak hanya akan berdampak positif bagi kinerja pemerintah, tetapi juga menjadi langkah kecil nan berarti dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Prabowo.

Karena, pada akhirnya, politik nilai adalah tentang keberpihakan kepada rakyat, bukan kepada kepentingan pragmatis yang sempit, terlebih hanya melayani kepentingan para elite.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Ari Ganjar Herdiansah, atau artikel-artikel lain tentang politik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//