• Opini
  • Politik Mbajingisme

Politik Mbajingisme

Kita sebut saja mbajingisme. Paham yang berakar dari kebusukan politisi untuk mengatur regulasi sesukanya tanpa berlandaskan keadilan dan kesetaraan.

Farouq Syahrul Huda

Alumni Program Studi Hukum Pidana Islam UIN Surakarta. Koordinator Departemen Kaderisasi Pagar Nusa Padepokan Jabalahad Karanganom.

Ilustrasi anak dan penggusuran. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

9 September 2024


BandungBergerak.id – Saya mungkin akan memulai dari sebuah pemikiran yang agak radikal, tetapi radikal secara akademis. Berangkat dari keadaan politik yang makin jauh dari akal sehat dan sebagaimana mestinya. Sistem politik yang sangat mbajing, kita sebut saja sebuah ideologi mbajingisme. Paham atau ideologi yang berakar dari kebusukan politisi untuk mengatur regulasi sesuai kepentingan mereka tanpa berlandaskan pada keadilan dan kesetaraan antar warga negara. Indonesia adalah negara yang paling keras teriak-teriak tentang demokrasi, NKRI Harga Mati, kesejahteraan dan apa pun itu yang menurut saya adalah suatu paradoks yang berkelanjutan.

Kita mencetuskan paham tersebut untuk sebuah refleksi panjang yang sudah hampir 10 tahun ini mengintai kedamaian kita. Kehilangan jati diri sebagai bangsa, tak punya prinsip dan selalu menjadi entitas lain dan menirunya. Bahkan perilaku mbajing kita sebagai bangsa menjadi hal yang lumrah, seolah-olah kita memulai ini untuk diikuti dan agar ditiru bangsa lain. Legasi buruk yang ditinggalkan penguasa adalah simbol pelecehan terhadap akal sehat bangsa, seandainya revolusi terbangun dari alam bawah sadar masyarakat mungkin tak sampai 3 hari kita berhasil mengubah apa pun.

Liberte, Egalite, Fraternite. Slogan tersebut terbentuk dari konsekuensi panjang terhadap pertimbangan yang mengharuskan masyarakat Prancis bertindak secara radikal untuk menentang sistem monarki yang tiran. Semua itu tidak bisa diperoleh hanya dengan aksi damai dan penuh negosiasi, langkah keras yang ditempuh harus dengan cara chaos. Tidak ada revolusi didunia ini yang terjadi dengan ketenangan dan tanpa kemarahan. Revolusi Prancis adalah salah satu contoh bagaimana kemarahan rakyat yang terkubur bertahun-tahun akhirnya mulai bangkit dan memuncak pada pemenggalan kepala Raja Louis ke-16 dengan guillotine. Mengakhiri penderitaan rakyat Prancis berabad-abad lamanya, vox populi vox dei.

Suara rakyat adalah suara Tuhan, kehendak rakyat adalah kehendak Tuhan. Keyakinan religius inilah yang memungkinkan bahwa rakyat tahu Tuhan akan berpihak pada mereka. Sedangkan Raja Louis ke-16 meyakini mahkota yang ia pakai sebagai simbol kekuasaan adalah mahkota yang diberi oleh Tuhan untuk menjadi penguasa di tanah Prancis. Saat guillotine menyentuh kulit lehernya, tidak hanya mahkotanya yang lepas dari kepalanya, tetapi juga kepalanya yang ikut lepas dari badannya. Bagi rakyat Prancis klaim Raja Louis ke-16 tentang mahkota rajanya yang diberikan oleh Tuhan adalah klaim palsu, harga yang harus dibayar terhadap dampak kekuasaannya.

Indonesia merupakan negara yang menikmati hasil dari jerih payah rakyat Prancis yang menumbangkan sistem monarki dan melahirkan sistem demokrasi melalui kedaulatan Republik. Sehingga keseriusan dalam mengelola negara adalah hal yang paten bagi Indonesia, dan memang seharusnya seperti itu. Dengan kondisi yang terjadi sekarang, apakah demokrasi sudah tidak cocok dengan kultur politik di Indonesia? Perpolitikan yang semakin hari semakin mbajing. Politik adalah jalur menempuh kepada keadilan, melalui partai politiklah aspirasi rakyat ditampung dalam visi dan misi menuju keadilan.

Di Indonesia justru memiliki definisi lain bahwa politik adalah perilaku untuk memperoleh kekuasaan dan memperkaya diri beserta dinastinya, sedangkan partai politik tak lebih hanya sekedar perusahaan untuk beternak uang dan jabatan politik untuk berkuasa. Partai politik seharusnya memiliki kurikulum pendidikan politik kepada para kadernya. Proses kaderisasi anggota dan kader partai seharusnya berpegang pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, sehingga bisa membuat regulasi dan kebijakan yang berlandaskan pada value dan substansi. Bukan berlandaskan pada akumulasi dan kapitalisasi, bahkan ideologi dalam konteks ekonomi di Indonesia juga tidak begitu jelas dan bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila. Secara rasional sistem ekonomi Indonesia adalah sosialis jika bersumber pada sila ke-5, tetapi pada praktiknya justru ekonomi Indonesia adalah praktik ekonomi kapitalis.

Baca Juga: Dilema Demokrasi dan Menilik Peran Partai Politik
Politik Baperan: Personalisasi Politik dan Warisan Feodalisme
Masa Depan Politik Indonesia dalam Bayangan Politik Dinasti, Mahasiswa Menjadi Oposisi

Paradoks Indonesia

Kita pada akhirnya menemukan banyak paradoks di Indonesia, politik serta ekonomi yang mbajing dan jauh dari kata sejahtera. Apalagi polemik didunia pendidikan yang sangat miris, padahal sektor pendidikan adalah jantung dari sebuah keutuhan negara. Pendidikan yang baik dan berkualitas menentukan sumber daya manusianya. Jejak sejarah suatu bangsa adalah jejak intelektual yang melekat pada identitas bangsa, jika suatu bangsa tidak mempunyai karakter pendidikan yang jelas serta filosofi pendidikan yang terpelihara maka bangsa tersebut akan jatuh pada kegelapan dan kerusakan. Pendidikan di Indonesia sayangnya hanya menjadi ladang komersial, hanya mencetak pelajar/mahasiswa untuk kebutuhan pasar kerja. Bukan mencetak pemikir dan intelektual dibidangnya masing-masing.

Sektor pendidikan kita memang sangat mbajing, biaya pendidikan yang mahal akibat dari pengelolaan APBN yang ngawur dan mengabaikan perintah konstitusi. Dibidang kesehatan fasilitas yang sulit tercapai membuat masyarakat akhirnya sulit berobat akibat biaya perawatan yang mahal. Apalagi disektor alam dan lingkungan yang rusak hari demi hari karena aktivitas tambang dan yang lebih lucunya lagi ketika ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah menerima konsesi tambang yang diberikan oleh penguasa, keputusan kedua ormas ini akan berbenturan dengan perjuangan anggota mereka diarus bawah yang pro pada kelestarian alam dan keutuhan masyarakat adat. Maka akan muncul persepsi buruk yang akan menyasar para aktivis dan masyarakat yang kontra terhadap aktivitas tambang bahwa siapa pun yang menghalangi aktivitas tambang kedua ormas ini sama saja “melawan Islam”.

Agama pada akhirnya dijadikan tameng politik demi melindungi ambisi penguasa, penerimaan konsesi tambang oleh kedua ormas ini paradoks terhadap nilai etis sebuah ormas agama yang fokus pada pemberdayaan umat dan menjaga kelestarian budaya serta berperan dalam melindungi lingkungan hidup. Dampak panjangnya tidak hanya kerusakan lingkungan tetapi juga konflik horizontal berkepanjangan antara ormas dan masyarakat yang terkena dampak aktivitas tambang. Sumberdaya alam di Indonesia adalah simbol bahwa kekayaan alam menghasilkan perebutan kuasa atas tanah dan hasil alam, sejatinya hasil alam tidak didapatkan melalui eksploitasi. Hasil alam cukup diambil sedikit untuk kebutuhan secukupnya, selebihnya adalah timbal balik terhadap alam seperti reboisasi dan menghidupkan kembali fungsi alam.

Jangan-jangan kita memang tidak cocok dengan demokrasi, atau lebih tepatnya demokrasi di Indonesia belum cukup dewasa dan matang. Masih tahap puber, seperti analogi kenakalan remaja yang masih mencari jati dirinya dengan mbajing sana-sini, bahwa untuk ukuran analogi pun kita masih memiliki kultur yang buruk. Harga yang harus dibayar oleh orang baik terhadap ketidakpeduliannya pada urusan publik adalah dipimpin oleh orang jahat, begitu kata Plato. Silakan tidak peduli pada urusan politik dan hanya mementingkan kehidupan sendiri maka diatur oleh orang yang licik adalah konsekuensi terhadap sikap apatis kita pada urusan publik. Diujung pemahaman publik bahwa kita orang kecil hanya bisa apa? Berkali-kali kasih kritik juga tidak mengubah apa pun.

Tapi sebenarnya ini bukan soal mengubah atau harus melakukan sesuatu, tetapi dengan kritik yang kita lakukan menandakan otak kita masih waras. Itu saja! Demokrasi itu berlaku pada seseorang yang menggunakan akal dan terutama sadar akan kehendak untuk membuat masyarakat sejahtera. Menurut Rousseau, demokrasi itu seperti buah yang akan dimakan dan lambung yang baiklah yang mampu mencernanya. Permasalahan di Indonesia adalah terlalu banyak pejabat yang lambungnya tidak sehat sehingga tidak mampu mencerna apa yang dimaksud dengan makna demokrasi. Bagi masyarakat ini hanya menjadi sebuah satire yang tidak ada habisnya, bahkan seperti diksi “dipisahkan oleh qunut, disatukan oleh tambang”, atau “dipisahkan oleh tahlil, disatukan oleh Bahlil”, dan yang lebih lucu lagi adalah “nyamar ma’ruf, nyambi munkar”. Itu semua adalah bentuk satire dan meme yang tidak akan ada habisnya.

Proses mbajingisme yang sangat struktural dan menjadi mbajing yang kultural ini merupakan sebuah metafora dalam dimensi politik yang terhenti pada fanatisme dan oportunisme para elite. Sehingga yang timbul dari kehidupan kelas sosial adalah fatamorgana semu, ilusi yang berkepanjangan dan seolah-olah harapan itu tiba di meja makan mereka. Pada akhirnya mbajingisme mengakar sebagai sebuah ideologi yang akan terbentuk secara historis selayaknya imperialisme, kolonialisme, fasisme maupun kapitalisme yang membiadab-kan diri pada ambisi dan obsesi untuk menguasai dan menindas.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang politik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//