Pilkada Tidak Langsung via DPRD, Maslahat atau Mudarat?
Benarkah mengembalikan pilkada ke DPRD merupakan solusi biaya pemilihan lebih murah? Atau malah memperparah oligarki dan mengurangi akuntabilitas kepala daerah?
Ari Ganjar Herdiansah
Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran (Unpad)
13 Februari 2025
BandungBergerak.id – Dalam acara puncak perayaan HUT Partai Golkar ke-60, Presiden Prabowo mengusulkan wacana mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD). Alasan yang dikemukakan adalah biaya pemilihan langsung yang dinilai terlalu mahal, baik dari sisi penyelenggaraan maupun pembiayaan partai dan kandidat.
Usulan pilkada via DPRD sebenarnya bukanlah hal baru. Pada tahun 2014, Prabowo juga pernah menyatakan bahwa pemilihan langsung tidak cocok dengan budaya Indonesia dan lebih merefleksikan nilai-nilai Barat. Baginya, seperti merokok, pemilihan langsung menyerupai kebiasaan buruk yang terlanjur dilanggengkan.
Pernyataan itu dianggap serius oleh Koalisi Merah Putih, koalisi partai yang mendukung kandidasi Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014. Mereka mengadvokasi penghapusan pilkada secara langsung dengan merevisi UU No. 22 Tahun 2014. Revisi ini mulanya berhasil disahkan oleh DPR sebelum akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2014 untuk membatalkan UU tersebut.
Hari ini, seperti dekade lalu, wacana pilkada via DPRD masih memicu polemik tajam. Di satu sisi, ada yang berargumen bahwa pilkada langsung adalah amanat reformasi yang tidak boleh dikurangi. Di sisi lain, sebagaimana disuarakan oleh Golkar dan PKB selaku partai pro pemerintah, pemilihan melalui DPRD dianggap sebagai solusi efisiensi biaya.
Memang benar, biaya pilkada langsung sangat tinggi. Survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2022 memperkirakan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau wali kota sebesar 20-30 miliar rupiah, sementara pada level gubernur rata-rata diperlukan lebih dari seratus miliar rupiah.
Angka itu tidak masuk akal jika dibandingkan dengan pendapatan yang akan mereka peroleh selama lima tahun menjabat. Bahkan kalaupun kita berasumsi bahwa pendapatan gubernur secara keseluruhan mencapai satu miliar rupiah per bulan, mereka masih membutuhkan dua periode jabatan tanpa menggunakan pendapatan tersebut sama sekali untuk bisa “balik modal”.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah berupaya mengurangi beban ini dengan menyediakan alat peraga kampanye (APK). Namun kenyataannya, partai dan kandidat tetap berlomba-lomba mengeluarkan dana besar untuk menarik perhatian pemilih. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa praktik politik uang di Indonesia masih—dan bahkan semakin—mengakar.
Pada Pemilu 2024, studi Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa sebesar 46,9% pemilih bersifat transaksional, dengan 35% di antaranya mengaku memilih karena imbalan uang. Angka ini meningkat dibandingkan Pemilu 2019, di mana hanya 29% pemilih yang terpapar politik uang.
Terlepas dari itu, benarkah mengembalikan pilkada ke DPRD merupakan solusi yang tepat? Benarkah pilkada tidak langsung dapat menjadikan biaya pemilihan lebih murah?
Baca Juga: Masyarakat Patriarki dan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan
Begal Demokrasi dan Amarah Kelas Menengah
Dari Balas Budi ke Politik Nilai, Menakar Harapan untuk Kabinet Prabowo
Mudarat bagi Demokrasi
Untuk saat ini, kembali ke sistem DPRD bukanlah solusi melainkan langkah mundur. Sistem ini justru membuka celah bagi praktik oligarki dan transaksi politik di antara elite partai. Bisa jadi langkah ini hanya akan mengganti satu masalah dengan masalah lain yang lebih besar. Dengan kata lain, mengembalikan pilkada ke DPRD berpotensi mendatangkan lebih banyak mudarat bagi demokrasi kita.
Pertama, secara konstitusional, kita menganut sistem presidensialisme di mana presiden dipilih langsung oleh rakyat. Sebaliknya, negara-negara yang disebutkan oleh Presiden Prabowo sebagai sistem yang “lebih efisien” (Malaysia, Singapura, dan India) semuanya menganut sistem parlementer. Alhasil, rakyat di ketiga negara tersebut mengetahui bahwa ketika mereka memilih wakil rakyat, para anggota parlemen tersebut akan secara langsung memengaruhi pembentukan pemerintahan.
Tidak hanya itu, Putusan MK No. 85/PUU-XX/2022 juga telah menetapkan bahwa sistem pilkada dan pemilu haruslah sama. Dengan demikian, ketika pemimpin lokal dipilih oleh DPRD, akan menjadi polemik konstitusional apakah sistem tersebut linear dengan sistem presidensialisme yang kita anut. Perubahan yang satu harus diikuti oleh perubahan yang lain.
Di atas segalanya, pilkada via DPRD tidak serta-merta menjadikan pemilihan lebih murah.
Studi Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia beberapa tahun lalu menunjukkan bahwa pilkada via DPRD pada masa-masa awal reformasi justru lebih diwarnai manipulasi dan korupsi daripada pemilihan langsung. Di banyak daerah, kandidat yang tidak mampu memenangkan jabatan publik melalui pemungutan suara dapat berkuasa hanya dengan membayar uang suap sebesar-besarnya kepada anggota DPRD.
Mekanisme tersebut juga memungkinkan seorang kepala daerah untuk terpilih kembali dengan memanipulasi ratusan anggota DPRD alih-alih memanipulasi seluruh rakyat lewat jajak pendapat. Mereka akan mengembangkan berbagai strategi untuk membujuk atau menggertak anggota DPRD agar mendukung pemilihannya kembali: mengkooptasi para pemimpin partai dengan menawarkan kesepakatan-kesepakatan tertentu, “membeli” partai-partai dengan menyediakan sumber daya patronase bagi mereka, menyuap para anggota parlemen secara perorangan, dan seterusnya.
Tidak kalah pentingnya, pilkada via DPRD dapat menciptakan pola hubungan negatif antara lembaga eksekutif dan legislatif. Ketika “kunci” karier politik seorang kepala daerah dimiliki oleh DPRD, maka dia akan berusaha menyenangkan mereka—bukan dengan menciptakan kebijakan yang menguntungkan rakyat, tetapi dengan berkolusi untuk membagi-bagi aneka proyek di antara mereka sendiri.
Jika kepala daerah menolak berkolusi, anggota dewan dapat memakzulkan mereka, memicu dinamika politik yang tidak stabil di daerah-daerah.
Jadi, alih-alih menyelesaikan masalah, pilkada via DPRD justru akan memperparah oligarki dan mengurangi akuntabilitas pemimpin daerah. Rakyat akan semakin jauh dari proses pengambilan keputusan. Negara seolah menjadi urusan eksklusif partai-partai politik, sementara rakyat hanya menjadi penonton atas keputusan-keputusan politik yang akan menentukan nasib mereka.
Urgensi Penguatan Pelembagaan Partai Politik
Akar masalah dari semua ini adalah lemahnya pelembagaan partai politik. Pelembagaan partai yang kuat merupakan kunci bagi efektivitas pemilihan kepala daerah, baik yang dilakukan secara langsung maupun melalui DPRD. Tanpa partai politik yang solid, transparan, dan berorientasi pada kepentingan publik, sistem pemilihan apa pun akan rentan dimanipulasi oleh elite dan pemodal.
Saat ini, partai politik di Indonesia masih jauh dari ideal. Mereka lebih sering berfungsi sebagai kendaraan politik bagi elite ketimbang sebagai wadah aspirasi rakyat. Mekanisme rekrutmen kandidat seringkali tidak transparan, dan proses pengambilan keputusan didominasi oleh segelintir elite. Akibatnya, partai politik gagal membangun ikatan ideologis dengan pemilih dan lebih mengandalkan politik uang untuk memenangkan pemilu.
Jika pilkada via DPRD diterapkan dalam kondisi pelembagaan partai yang lemah seperti sekarang, yang terjadi justru adalah penguatan politik elitis. Elite partai akan semakin leluasa melakukan transaksi politik di balik pintu tertutup, sementara rakyat hanya menjadi penonton. Ini jelas bertentangan dengan semangat demokrasi yang mengedepankan partisipasi dan akuntabilitas.
Untuk menghindari skenario buruk tersebut, reformasi pelembagaan partai politik harus menjadi prioritas. Beberapa langkah konkret yang dapat diambil antara lain, pertama, transparansi rekrutmen kandidat. Partai politik harus membuka mekanisme rekrutmen kandidat kepala daerah kepada publik. Proses ini harus melibatkan partisipasi anggota partai di tingkat akar rumput, bukan hanya keputusan segelintir elite.
Kedua, pendidikan politik yang berkelanjutan. Partai politik harus mengambil peran aktif dalam mengedukasi pemilih tentang pentingnya memilih berdasarkan program dan visi, bukan imbalan materi. Ini akan mengurangi ketergantungan pada politik uang. Partai politik semestinya menghasilkan kader yang memiliki modal sosial yang kuat dan mengakar di masyarakat. Dengan begitu, kaderisasi dapat memangkas modal ekonomi ketika parpol mengikuti kontestasi politik.
Ketiga, partai politik harus diawasi secara ketat dalam hal pendanaan. Sumber dana harus transparan, dan penggunaan dana harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Keempat, partai politik perlu membangun kader-kader yang kompeten dan berintegritas. Kaderisasi yang baik akan menghasilkan calon pemimpin yang berkualitas dan siap melayani kepentingan publik.
Rekomendasi-rekomendasi ini bertujuan untuk mengatasi politik uang dan juga menjawab keprihatinan Presiden Prabowo terhadap mahalnya pilkada langsung. Dengan memastikan partai politik dan kandidat bertanggung jawab dan transparan kepada publik, mereka dapat termotivasi untuk membuat kebijakan yang relevan dan lebih mewakili aspirasi masyarakat.
Tanpa upaya serius untuk memperbaiki pelembagaan partai politik, wacana pilkada via DPRD hanyalah alasan elite untuk mengakomodir kepentingan mereka. Pelembagaan partai yang kuat adalah kunci untuk memastikan bahwa pemilihan kepala daerah berjalan secara efektif dan demokratis tanpa harus mengubah sistem yang sudah berjalan.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Ari Ganjar Herdiansah, atau artikel-artikel lain tentang politik