• Opini
  • Mengelola Politik Identitas

Mengelola Politik Identitas

Salah satu risiko terbesar kegagalan mengelola politik identitas adalah berkembangnya tatanan sosial yang diskriminatif dan terpolarisasi.

Ari Ganjar Herdiansah

Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran (Unpad)

Ilustrasi intoleransi dan diskriminasi. Indonesia sebagai negara bhineka (beragam) belum terhindar dari praktik-praktik intoleransi dan diskriminasi terkait kebebasan beragama berkeyakinan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

21 Mei 2025


BandungBergerak.id – Apa yang terlintas dalam benak Anda ketika mendengar istilah “politik identitas”? Bagi sebagian orang, frasa ini sepertinya mengingatkan pada peristiwa-peristiwa seperti Aksi Bela Islam 212, di mana narasi dan simbol keagamaan digunakan untuk memobilisasi dukungan politik. Sebagian lainnya mungkin membayangkannya terkait dengan politisi yang memanfaatkan isu-isu sensitif terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) untuk meraih simpati pemilih. 

Memang, dalam pemahaman awam, politik identitas sering kali diasosiasikan dengan praktik-praktik negatif seperti eksploitasi agama atau isu SARA dalam kontestasi politik. Pemahaman ini tidak sepenuhnya salah, tetapi menjadi keliru jika kita hanya membatasi perspektif kita pada aspek-aspek negatifnya. Politik identitas sejatinya memiliki dimensi yang lebih luas dan kompleks, mencakup tidak hanya dampak buruk tetapi juga potensi positif yang patut diapresiasi. 

Secara konseptual, politik identitas menunjuk pada perjuangan atau upaya-upaya politis yang mengatasnamakan identitas sosial tertentu. Identitas ini bisa mencakup gender, usia, etnis, agama, hingga kelompok-kelompok minoritas. Dalam konteks ini, politik identitas tidak selalu berkonotasi negatif. Sebaliknya, ia bisa menjadi alat untuk memperjuangkan hak-hak kelompok yang mengalami perlakuan tidak adil atau terpinggirkan. 

Contoh nyata dari dampak positif politik identitas adalah perjuangan kaum wanita untuk mendapatkan kesetaraan di ranah sosial dan politik. Gerakan perempuan berhasil mendorong kebijakan afirmatif yang mewajibkan partai politik mencalonkan minimal 30 persen perempuan dalam daftar calon legislatif, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan diperkuat dalam peraturan pemilu berikutnya. Meskipun implementasinya belum sepenuhnya ideal, kebijakan ini merupakan capaian penting yang menunjukkan bagaimana artikulasi identitas gender dalam politik dapat menciptakan perubahan menuju demokrasi yang lebih inklusif dan representatif.

Demikian pula gerakan-gerakan feminis yang mengusung isu kesetaraan gender telah berhasil mendorong perubahan signifikan, seperti penghapusan diskriminasi di tempat kerja dan pengesahan undang-undang yang melindungi hak-hak perempuan.

Politik identitas juga hadir dalam perjuangan masyarakat-masyarakat adat atas hak-hak mereka di tengah-tengah gempuran eksploitasi sumber daya alam yang merusak tatanan hidup mereka. Di berbagai daerah, seperti masyarakat adat Dayak di Kalimantan, Orang Rimba di Jambi, atau masyarakat adat Papua, politik identitas menjadi strategi resistensi terhadap ketidakadilan struktural dan sebagai upaya memperkuat posisi tawar mereka dalam relasi dengan negara dan korporasi.

Selain itu, politik identitas juga dapat menjadi sarana bagi anak-anak muda untuk memperjuangkan hak mereka agar lebih terlibat dalam dunia politik. Di banyak negara, termasuk Indonesia, generasi muda sering kali dianggap kurang berpengalaman atau tidak memiliki kapasitas untuk memimpin. Namun, mereka mampu membangun narasi kolektif yang menuntut pengakuan dan ruang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan politik. Saat ini, tidak sedikit anak-anak muda yang mengambil peran dalam proses perpolitikan kita.

Tanpa politik identitas, suara kaum perempuan, kelompok minoritas, dan kalangan generasi muda mungkin tidak akan terdengar dan perubahan-perubahan positif tidak akan terwujud. 

Meskipun memiliki potensi positif, politik identitas juga bisa menimbulkan dampak negatif jika tidak dikelola dengan baik. Salah satu risiko terbesar adalah berkembangnya tatanan sosial yang diskriminatif dan polarisasi.

Ketika identitas tertentu dijadikan alat untuk memecah belah masyarakat, hal ini dapat memicu konflik antarkelompok. Misalnya, penggunaan narasi keagamaan atau etnis dalam kampanye politik sering kali menciptakan ketegangan antara kelompok yang berbeda, bahkan berpotensi memicu kekerasan. 

Contoh nyata dapat dilihat dalam kondisi politik di India, khususnya di bawah pemerintahan Partai Bharatiya Janata (BJP). Beberapa politisi dari partai ini diketahui menggunakan isu anti-Muslim sebagai alat mobilisasi dukungan mayoritas Hindu, dengan narasi yang menstigmatisasi komunitas Muslim sebagai "pendatang" atau "ancaman" terhadap identitas nasional India. Strategi ini sebenarnya ditujukan untuk memperkuat basis elektoral mereka, tetapi berdampak pada diskriminasi sosial dan kekerasan terhadap minoritas Muslim.

Contoh lain adalah munculnya sentimen anti-minoritas. Dalam beberapa kasus, politik identitas digunakan untuk menguatkan dominasi kelompok mayoritas dengan mengorbankan hak-hak kelompok minoritas.

Di Indonesia, hal ini terlihat jelas dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, ketika sentimen keagamaan digunakan untuk menyerang calon gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang berasal dari kelompok Tionghoa dan non-Muslim. Mobilisasi massa berbasis isu agama tidak hanya ditujukan untuk mengganjal peluang kemenangannya, tetapi juga memperkuat intoleransi dan diskriminasi terhadap minoritas.

Baca Juga: Dari Balas Budi ke Politik Nilai, Menakar Harapan untuk Kabinet Prabowo
Pilkada Tidak Langsung via DPRD, Maslahat atau Mudarat?
Demokrasi Santun: Militerisme dan Minimnya Ruang Oposisi

Mengelola Politik Identitas 

Politik identitas adalah fenomena yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan bernegara, terutama di negara yang memiliki keragaman sosial dan budaya seperti Indonesia. Meskipun sering kali dipandang negatif, politik identitas sebenarnya memiliki potensi besar untuk mendorong perubahan positif, terutama dalam memperjuangkan hak-hak kelompok yang termarginalisasi. 

Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana mengelola politik identitas agar tidak menimbulkan diskriminasi, polarisasi, dan konflik sosial. Hal ini membutuhkan peningkatan kesadaran di kalangan pemerintah, politisi, dan seluruh elemen masyarakat. Untuk mencapai hal ini, diperlukan pendekatan yang inklusif dan holistik. 

Beberapa upaya yang dapat dilakukan, antara lain, pertama, model pendidikan yang inklusif harus menjadi prioritas. Setiap institusi pendidikan perlu memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya menghargai perbedaan dan menghindari stigmatisasi terhadap kelompok tertentu.

Kedua, peran negara sangat krusial dalam mengelola politik identitas. Para pengambil kebijakan harus memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang dirumuskan tidak diskriminatif dan mampu melindungi hak-hak semua warga negara, tanpa memandang identitas mereka.

Pengelola negara juga perlu melakukan langkah antisipatif secara cepat ketika tampak potensi negatif dari politik identitas. Aparat negara perlu menegakkan hukum secara tegas terhadap pihak-pihak yang sengaja memanipulasi isu identitas untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Kita bisa belajar dari pemerintah Singapura yang secara tegas menolak praktik politik identitas dalam pemilu. Perdana Menteri Lee Hsien Loong pada awal Mei 2025 secara terbuka menolak politisi yang mencoba mengajak pemilih Muslim untuk memilih kandidat Muslim semata-mata karena kesamaan agama. Ia menegaskan bahwa pendekatan semacam itu berbahaya karena dapat merusak kohesi sosial dan bertentangan dengan prinsip meritokrasi serta kesetaraan warga negara. Sikap ini menunjukkan bahwa negara harus hadir sebagai penjamin keadilan dan integrasi sosial, bukan sebagai fasilitator polarisasi berbasis identitas.

Ketiga, partisipasi aktif dari masyarakat sipil juga tidak kalah penting. Organisasi-organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan tokoh-tokoh agama dapat berperan sebagai penyeimbang dengan menyuarakan nilai-nilai toleransi dan pluralisme. Mereka juga dapat menjadi agen inklusivitas sekaligus pengawas terhadap praktik-praktik politik identitas yang berpotensi merusak harmoni sosial di lingkungan sosialnya masing-masing.

Di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah merupakan representasi dari organisasi Islam yang konsisten mempromosikan nilai-nilai keberagaman dan toleransi. Di tengah berbagai tantangan, termasuk di tingkat akar rumput mereka, kedua organisasi ini secara aktif mengedukasi masyarakat untuk menolak kekerasan berbasis agama, memerangi ekstremisme, dan mendukung kerukunan antarumat beragama. Melalui berbagai program dakwah, pendidikan, dan advokasi sosial, NU dan Muhammadiyah berupaya mengikis pemikiran dan praktik intoleransi, serta mendorong Islam yang ramah dan terbuka terhadap perbedaan.

Politik identitas ibarat pisau bermata dua. Dia bisa positif dalam makna sebagai alat untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan, terutama bagi golongan minoritas. Di sisi lain, bisa negatif apabila dipergunakan untuk kepentingan politik jangka pendek yang memecah belah masyarakat dan memperkuat eksklusivisme kelompok mayoritas. Oleh karena itu, mengelola politik identitas secara bijak diperlukan agar ia menjadi sarana pemberdayaan demokrasi yang sehat.

 

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Ari Ganjar Herdiansah, atau artikel-artikel lain tentang politik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//