• Berita
  • Kelas Liar #8: Kita Adalah Buruh

Kelas Liar #8: Kita Adalah Buruh

Kelas Liar #8 mengajak orang muda untuk berhenti melihat isu perburuhan sebagai persoalan orang-orang di pabrik. Perburuhan adalah persoalan bersama.

Buruh dari serikat pekerja KASBI berpakaian gurita saat aksi unjuk rasa menolak omnibus law di Bandung, 14 Oktober 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Ryan D.Afriliyana 6 Oktober 2025


BandungBergerak -Bandung, yang dikenal sebagai "Kota Pelajar", menyimpan ironi. Tiap tahun kota ini meluluskan ribuan tenaga kerja terdidik. Namun, jumlah itu tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan kerja layak. Lulusan banyak, pekerjaan minim.

Masalah ini dibahas dalam Kelas Liar #8 yang digelar di LBH Bandung, Sabtu, 4 Oktober 2025. Kegiatan ini memotret realitas dunia kerja dari sudut pandang orang muda: apa yang sedang dan akan dihadapi, serta apa yang bisa dilakukan.

Indrasari Tjandraningsih, akademisi dari Universitas Katolik Parahyangan, memaparkan akar persoalan ketenagakerjaan di Indonesia dari sisi administratif, struktural, dan kultural. Menurutnya, ketimpangan pendidikan menjadi akar masalah utama.

“Enam puluh persen penduduk Indonesia berpendidikan SMP ke bawah,” jelas Indrasari, salah satu narasumber Kelas Liar.

Kondisi ini melahirkan angkatan kerja dengan kualitas rendah yang kemudian mudah dieksploitasi. Indrasari mengkritik dunia pendidikan tinggi yang kini tak lagi kritis, melainkan sekadar jalur cepat menuju dunia kerja. Kampus berubah menjadi pabrik pencetak calon pekerja. Namun, dunia kerja pun berubah. Freelance tanpa jaminan sosial, kerja kontrak, dan outsourcing menjadi norma baru. Status "karyawan tetap" menjadi kemewahan.

“Freelance itu kan bahasa kerennya serabutan. Tapi dipoles supaya tampak keren,” ujarnya. Di balik label "kerja fleksibel", kenyataannya adalah ketidakpastian.

Kapitalisme dan Eksploitasi Buruh

UU Cipta Kerja memperparah situasi. Ketidakpastian kerja dilegalkan. Di sisi lain, generasi muda terus dicekoki narasi "kerja keras" dan "kerja cerdas", padahal jebakan struktural makin kuat mencengkeram.

Kapitalisme, kata Indrasari, selalu mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan menekan biaya, termasuk ongkos tenaga kerja. Eksploitasi pun menjadi normal. Setiap orang dituntut kerja seefisien mungkin terlepas dari hasilnya.

"Di sinilah eksploitasi muncul,” tegasnya.

Ia juga menyinggung bagaimana istilah "buruh" pernah dilekatkan dengan stigma politik, terutama pada era Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memiliki Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia. Stigma ini masih membekas hingga kini.

Secara historis, Indonesia pernah didominasi oleh sektor agraris. Namun sejak 1970-an, industrialisasi mengubah orientasi kerja ke sektor manufaktur. Perubahan ini membawa serta logika kapitalisme yang kian dalam.

Menurut Indrasari, secara struktural Indonesia menghadapi dua masalah besar: terbatasnya lapangan kerja dan membesarnya sektor informal yang tidak dilindungi hukum. Akibatnya, pengangguran terdidik pun muncul.

"Lulusan universitas sulit mendapatkan pekerjaan karena perusahaan enggan menggaji mereka lebih tinggi atau khawatir mereka akan lebih sadar akan hak-haknya," katanya.

Data BPS menunjukkan, per Februari 2025, Jawa Barat masih menjadi provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi. Meski turun tipis ke angka 6,74 persen, jumlah pengangguran bertambah 20 ribu orang dibanding tahun sebelumnya.

Secara kultural dan psikologis, makna kerja juga berubah. Banyak orang kehilangan kemewahan untuk memilih pekerjaan yang sesuai minat atau latar belakang pendidikan.

"Sadar tidak sadar, pasti memahami. Cuman kita masih bisa memilih enggak? Kita masih punya kemewahan untuk memilih atau tidak," ujar Indrasari.

Ia juga mengkritik lemahnya penegakan hukum ketenagakerjaan. Pengusaha bisa jahat karena ada celah dan hukum tidak ditegakkan.

Mengapa Harus Berserikat

Salah satu jalan melawan ketidakadilan adalah berserikat. Heri Pramono, Direktur LBH Bandung, menyebut serikat buruh adalah alat perjuangan kolektif: untuk melindungi hak, memperjuangkan kesejahteraan, dan menyuarakan aspirasi.

"Kata serikat itu adalah kata-kata yang ditakutin, karena itu lahir pada zaman orde baru," kata Heri, pemateri berikutnya di Kelas Liar.

Menurut Heri, serikat tidak harus selalu dalam bentuk formal. Bisa juga dalam bentuk komunitas atau kelompok diskusi. Yang penting, ada wadah bersama untuk menyusun kekuatan.

Heri juga menyoroti kekuatan aksi buruh, seperti mogok kerja yang bisa menghentikan produksi. Termasuk dalam soal THR.

“THR itu bukan kebaikan pemerintah atau perusahaan. Itu hasil perjuangan buruh,” tegasnya.

Baca Juga: Kelas Pekerja di Bandung Tidak Baik-baik Saja
May Day 2025 di Bandung, Menyorot Kerentanan Kaum Buruh dan Ancaman Regulasi Represif

Kita Semua Buruh

Laila Nur Saliha, guru dari Lingkar Literasi Cicalengka, mengangkat persoalan buruh dari sudut pandang guru TK. Ia juga seorang operator sekolah.

Laila menyoroti bagaimana kata “buruh” sering diartikan sempit, hanya untuk pekerjaan kasar. Ia mengingat pengisian Dapodik yang mencantumkan “buruh harian lepas”, seolah hanya itu definisinya.

Menurutnya, semua orang adalah buruh, hanya beda bidang. Bahkan ibu rumah tangga pun bekerja, meski sering tidak diakui.

“Padahal mereka bekerja juga,” katanya.

Ia juga menyentuh isu upah rendah. Gaji guru TK di wilayahnya hanya 10-20 persen dari UMR. Status TK yang kebanyakan swasta nonprofit membuat guru terabaikan.

“Pemerintah kayak enggak terlibat banyak,” keluhnya.

Untuk mengatasi ini, ia mendorong sekolah menaikkan upah. Namun keterbatasan dana selalu jadi alasan. Ia berharap ada insentif lebih besar dari pemerintah.

Keterasingan dan Strategi Advokasi

Salma Rizkya Kinasih dari Sindikasi Bandung mengangkat sisi emosional dari menjadi buruh hari ini: keterasingan.

"Aku ngerasa aku terisolasi, aku ngerasa asing sama diriku sendiri dan juga aku tuh ngerasa kayak aku enggak tahu nih teman-teman aku siapa," ujarnya.

Banyak pekerja merasa sendirian saat menghadapi persoalan. Akibatnya, mereka memilih diam.

Salma menekankan pentingnya strategi advokasi, baik litigasi maupun non-litigasi. Jalur litigasi seperti bipartit, tripartit, hingga Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) penting, namun melelahkan. Sementara non-litigasi meliputi kampanye, pendidikan, dan penyusunan kontrak kerja bersama.

"Kalau PKB itu kan harus ada serikat buruhnya kan," tegasnya.

Ia percaya PKB bisa menjadi alat negosiasi yang kuat, terutama bagi pekerja lepas.

Diskusi dalam Kelas Liar #8 mengingatkan bahwa buruh bukan sekadar status formal di kartu identitas. Buruh adalah siapa saja yang hidup dari menjual tenaga, pikiran, atau waktunya untuk bertahan hidup. Perjuangan buruh adalah perjuangan semua orang.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//